30 Oktober 2023
15:03 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Sadarkah Sobat Valid? Hari ini pada 30 Oktober setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Keuangan Nasional loh! Singkatnya, Indonesia memperingati merdekanya mata uang Indonesia, yakni Rupiah dari tangan dan kekangan para penjajah di Nusantara.
Namun, Sobat Valid mesti tahu perjalanan rupiah yang biasa dipergunakan sebagai alat jual-beli saat ini melalui tahapan yang panjang. Masih belum tahu sejarahnya? Tenang, Validnews sudah merangkum bagaimana sejarah uang rupiah bisa tercipta hingga bisa diedarkan pertama kali di tanah air.
Menurut catatan dalam buku ‘Sejarah Bank Indonesia Periode I (1945-1959)’, meski sudah mengumandangkan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi beberapa masalah domestik. Pertama, datangnya tentara sekutu untuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang karena kekosongan kekuasaan di Indonesia akibat kekalahan Jepang.
Kedua, perundingan-perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia. Yang pada akhirnya, membuat Belanda datang dan membonceng sekutunya di akhir September 1945 dengan tujuan untuk menguasai kembali negara jajahannya, dalam hal ini Indonesia.
Kondisi ini berdampak pada pemberlakuan tiga mata uang kolektif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia (RI), yakni uang De Javasche Bank, uang Hindia-Belanda dan uang Jepang. Hal ini terlapor dalam majalah ‘Rupiah Menelusuri Tantangan Jaman Peringatan Oeang Republik Indonesia (ORI) 50 Tahun (1946-1996)’.
Adapun Kementerian Keuangan muncul sebagai salah satu dari 12 lembaga pemerintahan yang lahir pada 19 Agustus 1945, pasca Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UU Dasar Negara. Saat itu, Menkeu A.A Maramis mengeluarkan Dekrit dengan tiga keputusan penting yang disahkan pada 29 September 1945.
Pertama, tidak mengakui hal dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara.
Kedua, terhitung mulai 29 September 1945, hak dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan.
Ketiga, kantor-kantor kas negara dan semua instansi yang melakukan tugas kas negara (kantor pos) harus menolak pembayaran atas surat perintah membayar uang yang tidak ditandatangani oleh Pembantu Bendahara Negara.
Setelah dekrit itu terbit, berakhirlah masa ‘Nanpo Gun Gunsei Kaikei Kitein’ atau Peraturan Perbendaharaan Pemerintah Bala Tentara Angkatan di Daerah Selatan. Hal ini juga menandai mulainya babak baru pengurusan keuangan negara yang merdeka.
Setelahnya, pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI yang menetapkan, bahwa uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Kemudian, Maklumat Presiden Republik Indonesia 3 Oktober 1945 yang menentukan jenis-jenis uang yang sementara masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.
Pertama, sisa zaman kolonial Belanda yaitu uang kertas De Javasche Bank. Kedua, uang kertas dan logam pemerintah Hindia-Belanda yang telah disiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia yaitu DeJapansche Regering dengan satuan gulden (f) keluaran tahun 1942.
Ketiga, uang kertas pendudukan Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia yaitu Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah. Keempat, Dai Nippon Teikoku Seibu, emisi 1943 bergambar Wayang Orang Satria Gatot Kaca bernilai 10 rupiah dan gambar Rumah Gadang Minang bernilai 5 rupiah.
Bersamaan dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk ‘Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas RI’ pada 7 November 1945.
Panitia pencetakan uang tersebut diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI), beranggotakan Kemenkeu yaitu H.A. Pandelaki, R. Aboebakar Winagoen, dan E. Kusnadi; Kementerian Penerangan M. Tabrani; BRI S. Sugiono; dan wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan yaitu Oesman dan Aoes Soerjatna.
Mencetak ORI Pertama
Tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta selaku tim pencari data, mencari percetakan dengan teknologi yang relatif modern di Jakarta dengan mengusulkan G. Kolff di Jakarta dan percetakan Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang, sebagai calon percetakan yang memenuhi persyaratan.
Sebagai pembuat desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca dipercayakan kepada percetakan Balai Pustaka Jakarta. Kerja yang rumit ini dilakukan oleh Bunyamin Suryohardjo, sedangkan pelukis pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah Abdulsalam dan Soerono.
Proses pencetakan berupa cetak offset dilakukan di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta yang berada di bawah naungan Kementerian Penerangan. Upaya pencetakan mata uang pertama Nusantara ini terekam jelas dalam buku ‘Bank Indonesia dalam Perjalanan Pembangunan Ekonomi Indonesia 1953-2003’
Akhirnya, pada Januari 1946, proses pencetakan ORI dikerjakan setiap hari, mulai pukul 07.00 sampai 22.00 WIB. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta ini mesti dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.
Sebagai konteks, Belanda bersama sekutunya menyerbu dan makin gencar menyerang pemerintah di Jakarta, sehingga pusat pemerintah Indonesia berpindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Hal ini mengakibatkan Indonesia terpecah menjadi dua wilayah, yaitu wilayah yang dikuasai pemerintah Indonesia dan Belanda.
Wilayah Belanda berada di bawah administrasi NICA yang membentuk negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overlaag (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal, atau lebih dikenal dengan negara boneka bentukan Belanda.
Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis, meskipun sejak November 1945 dirinya sudah tidak lagi menjabat sebagai Menkeu. Pada waktu ORI beredar, yang menjadi Menkeu adalah Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III.
Melalui Keputusan Menkeu tertanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946 menetapkan penerbitan ORI.
Pada detik-detik diluncurkannya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberi pidato pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.
“Besok, tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu, ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara,” tegas Hatta.
Usaha penerbitan uang sendiri memperlihatkan hasil dengan diterbitkannya Emisi Pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya ORI.
ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia oleh presiden, berdasarkan lahirnya emisi pertama ORI.
Peredaran ORI Pertama Kali
Pada ORI penerbitan pertama, yang berlaku mulai 30 Oktober 1946, tercantum tanggal emisi 17 Oktober 1945. Rentang waktu setahun ini menunjukkan, cukup panjangnya proses yang harus ditempuh dalam mempersiapkan penerbitan ORI sebagai salah satu identitas negara.
Sebelum mengedarkan ORI, pemerintah Indonesia melakukan tindakan penarikan uang invasi Jepang dan uang pemerintah Hindia-Belanda dari peredaran. Penarikan kedua uang tersebut dilakukan berangsur-angsur, melalui pembatasan pemakaian uang dan larangan membawa uang dari satu daerah ke daerah lain.
Momen ini juga tercatat dalam buku ‘Bank Indonesia dalam Perjalanan Pembangunan Ekonomi Indonesia 1953-2003’.
Kala itu, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan larangan membawa uang tunai lebih dari Rp500/orang atau Rp1.000/keluarga ke kota Jakarta dan Bogor, atau sebaliknya harus seizin Menteri Keuangan.
Uang invasi Jepang dan uang NICA tidak boleh dikeluarkan dari Jawa dan Madura, serta tidak boleh dimasukkan ke daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.
Nilai ORI melalui Undang-Undang tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan, bahwa 10 rupiah ORI sama dengan 5 gram emas murni. Adapun kurs ORI terhadap uang Jepang sebesar 1:50 untuk Pulau Jawa dan Madura, dan 1:100 untuk daerah lainnya.
Penerbitan ORI selain ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik Indonesia juga bertujuan untuk menyehatkan ekonomi yang tengah dilanda inflasi hebat. Pada awal beredarnya ORI, setiap penduduk diberi Rp1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946.
Namun, patut digarisbawahi, peredaran ORI saat itu belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, selain faktor perhubungan, masalah keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah kedudukan Belanda.
Kedua hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan moneter. Bahkan, mulai tahun 1947, pemerintah terpaksa memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Uang tersebut bersifat sementara dan kebanyakan dinyatakan oleh penguasa setempat sebagai alat pembayaran yang hanya berlaku di tempat tertentu. Contohnya, ORIDABS-Banten, ORIPS-Sumatera, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu.
Jenis ORIDA tersebut berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat.
Dalam kondisi perang, jumlah uang beredar di wilayah RI sulit dihitung dengan tepat. Kesulitan melakukan pemisahan data juga terjadi dalam memperkirakan indikator-indikator perekonomian lainnya, seperti neraca perdagangan, posisi cadangan devisa, hingga keuangan negara.
Jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat, menjadi Rp6 miliar pada akhir 1949.
Selain itu, penyebab kesulitan penghitungan lainnya adalah karena uang De Javasche Bank dan Pemerintah Hindia-Belanda belum ditukarkan atau belum disimpan pada bank berdasarkan ketentuan Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946.
Pada tahun pembukuan 1949-1950, De Javasche Bank membuat data perkembangan uang beredar. Pada waktu itu deposito berjangka juga dihitung masuk dalam komponen uang giral.
Penyusunan statistik uang beredar dilakukan dengan mengonsolidasikan neraca De Javasche Bank dengan neraca dari tujuh bank komersial, yaitu Nederlansche Handel Maatschappij; Nederlandsch Indische Handelsbank; Escomptobank; Chartered Bank of India, Australia and China; Hongkong and Shanghai Banking Corporation; Bank of China; dan Overseas Chinese Banking Corporation.
ORI dan berbagai macam ORIDA, hanya berlaku sampai 1 Januari 1950, dan dilanjutkan dengan penerbitan uang Republik Indonesia Serikat.