c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

19 Januari 2023

20:40 WIB

Mengelola Komplain, Strategi Jitu Gaet Konsumen

Komplain konsumen bisa menjadi pisau bermata dua; menaikkan merek atau bahkan bisa menghancurkan citra. Perusahaan harus bisa memanfaatkan komplain jadi keuntungan

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi

Mengelola Komplain, Strategi Jitu Gaet Konsumen
Mengelola Komplain, Strategi Jitu Gaet Konsumen
Ilustrasi. Pekerja melayani konsumen melalui layanan call center di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (18/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Keluhan konsumen alias komplain, bisa menjadi sarana pengingat jika sebuah produk atau jasa tidak akan selalu sempurna di mata konsumen. Bahkan, kehadiran komplain bisa menjadi pisau bermata dua; dapat menjadi ajang promosi jika diatasi dengan baik atau justru menghancurkan nama baik merek jika kepleset dalam meng-handle-nya.

J Paul Peter dan Jerry Olson dalam bukunya Consumer Behaviour and Marketing Strategy (2005) menyebutkan jika kepuasan pelanggan tercapai, konsumen biasanya akan melanjutkan pembelian. Bahkan memberitahu orang lain mengenai pengalaman positifnya dengan produk tersebut (word of mouth).

Sebaliknya jika konsumen merasa tidak puas, mereka akan beralih ke produk atau merek lain. Bahkan mereka juga berpeluang menyebarluaskan sentimen negatif terhadap produk tersebut kepada orang lain.

Di Indonesia, cerita soal komplain atau ketidakpuasan terhadap suatu produk barang dan jasa sendiri, sudah acap kali mencuat. Tentu masih segar diingatan, ketika seorang pengguna Twitter @Gandhoyy menulis pendapat mengenai produk minuman Esteh Indonesia yang menurutnya terlalu manis.

Saat itu, ia men-cuit produk minuman Chizu Red Velvet seperti mengandung gula 3 kg. Cuitan itu lantas ditanggapi beragam oleh netizen, dari yang setuju maupun yang tidak sependapat.

Alih-alih menangani dengan ramah, cuitan tersebut justru mendorong Esteh Indonesia mengeluarkan surat somasi. Pihak Es teh pun menuntut pemilik akun untuk memberi klarifikasi dan menghapus unggahannya. Dalam somasinya, Esteh Indonesia menilai konsumen tersebut telah mencela produk yang dimaksud dan menyebabkan kerugian.

Seketika, perusahaan tersebut banjir kritikan di media sosial. Hujatan demi hujatan diterima Esteh Indonesia karena langsung memberi somasi kepada konsumennya. Menurut publik, Esteh Indonesia terlalu sembrono dalam menangani komplain konsumen.

Banyaknya hujatan, bahkan umpatan untuk tidak akan membeli produk Esteh Indonesia pun meluas. Power of netizen di media sosial tidak terbendung. Akhirnya, Esteh Indonesia mencabut somasi dan meminta maaf.

Jika ditarik lagi ke belakang, kelalaian produsen dalam menangani konsumen juga pernah terjadi pada PT Eigerindo Multi Produk Industri. Saat itu, pengguna Twitter bernama Dian Widiyanarko yang mengaku menerima surat terbuka dari produsen alat olahraga itu setelah mengunggah review-nya di YouTube.

Eiger beranggapan kualitas video ulasan produk kacamata sepeda buatan Dian kurang bagus, sehingga diminta untuk menghapus video tersebut. Padahal, konten ini tidak diendorse oleh Eiger sebagai produsen, meski Dian sendiri mengulas positif produk tersebut.

Pada akhirnya, Dian menolak untuk menghapus kontennya. Setelah perkara surat keberatan itu viral, Eiger menyampaikan permintaan maaf baik ke Dian maupun publik.

CEO Eiger Ronny Lukito mengakui, apa yang dilakukan pihaknya tidak tepat. Mereka bermaksud memberi saran kepada konsumen yang mengulas produk, tetapi caranya salah.

Tak melulu respons negatif, publik sempat disuguhkan respons positif brand atas keluhan konsumennya. Seperti yang dilakukan Looké Cosmetics terhadap keluhan produk sponge cushion yang hancur dan tak bisa dipakai. Looké sendiri langsung meminta maaf dan mengambil keputusan menarik semua produk cushion, hingga menawarkan skema retur kepada konsumen.

Looké pun berjanji untuk melakukan improvement sesegera mungkin terhadap kualitas sponge yang digunakan di dalam cushion.

“Bagi Goddess yang mengalami masalah dengan cushion kami, silakan untuk mengisi form untuk masuk ke dalam waitlist retur kami. Kami akan berusaha memproses retur sesegera mungkin setelah proses improvement selesai,” Brand Director dari Looké Cosmetics Nurtaqi Irzalia.

Hal yang sama juga terjadi pada Edwin Achmad yang melakukan komplain kepada PT Indofood Sukses Makmur Tbk via media sosial pada awal 2023. Keluhan terjadi lantaran produk mi instan Indomie yang dibelinya tidak dilengkapi bumbu penyedap.

Tak disangka, setelah mengajukan komplain, Edwin mendapat kiriman satu dus mi instan dari Indomie. Dalam unggahannya, Edwin memperlihatkan satu dus Indomie yang diterimanya lengkap dengan resi.

Tren Pengaduan Konsumen Nasional
Menanggapi ramainya aduan konsumen di media sosial, Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Rolas Sitinjak menyebutkan pengaduan konsumen yang viral di medsos merupakan hal yang lumrah. Sebab, saat ini salah satu kiblat kegiatan masyarakat sehari-hari ada di dunia maya alias internet.

“Dalam hal bertransaksi juga itu sudah mulai menggunakan fasilitas e-commerce, kira-kira  di bidang internet, dan menurut saya itu mempermudah, lah,” ujar Rolas kepada Validnews, Rabu (18/1).

Saat ini tingkat keberdayaan konsumen untuk melakukan pengaduan, sudah berada pada tataran cerdas. Hanya saja, menurutnya, keberdayaan konsumen tersebut bisa dibilang belum merata di setiap daerah. Pengaduan konsumen di Jakarta, diakuinya sudah lebih maju.

Misalnya saja, jika dilakukan survei, dari 10 konsumen yang merasa dirugikan, kesemua konsumen tersebut melakukan komplain. Namun yang sudah menggunakan haknya untuk melakukan penindakan belum mencapai optimal hingga 100%, baru mencapai di atas 50%.

“Jadi kalau masalah konsumen itu, ya banyak faktor-faktor, (tapi) mereka sudah lebih aware,” sebutnya.

Berdasarkan data BPKN, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, perkara pengaduan konsumen yang berhasil dihimpun dan ditangani BPKN mencapai sekitar 1.500-an kasus/tahun. Penanganan pengaduan tersebut meliputi pemanggilan pihak-pihak terkait, dokumentasi, pemberian berita acara pemeriksaan (BAP) dan seterusnya.

Dia mengklaim, tingkat keberhasilan BPKN dalam memulihkan hak dan komplain konsumen mencapai sekitar 70% dari pengaduan yang diajukan. Sebelum pandemi covid-19 terjadi, Rolas menyebut, perkara pengaduan konsumen paling banyak berada pada sektor perumahan.

“(Namun) setelah covid-19, baru (pengaduan konsumen) di bidang e-commerce, karena sebagian banyak terjadi transaksi digital kan,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo menerangkan, catatan YLKI dalam lima tahun didominasi pengaduan terhadap sektor jasa keuangan. Setidaknya, sektor ini di tiap tahunnya selalu masuk dalam top 3 pengaduan konsumen yang masuk ke YLKI.

Spesifik, pengaduan itu terutama pada industri digital, seperti fintech dan pinjaman online yang marak akhir-akhir ini terkait dengan investasi bodong untuk trading serta asuransi. Tren pengaduan ini juga sudah bergeser dari pengaduan kepada perbankan pada periode sebelumnya.

“Itu menjadi tren. Kita lihat beberapa tahun terakhir, khususnya di lima tahun terakhir, sektor jasa keuangan masih mendominasi pengaduan konsumen di YLKI,” terang Rio kepada Validnews, Jakarta, Senin (16/1).

Quality Control
PT Mayora Indah Tbk melalui perwakilannya menyatakan, hingga kini perusahaan tidak pernah mendapat komplain konsumen terkait produk yang dibuat dan didistribusikan di pasaran. Sejauh ini, perseroan juga terus menjaga layanan bisnis dari hulu sampai hilir dapat prima hingga bisa sampai ke tangan konsumen.

Namun jika ditanya tentang keluhan, itu pun tidak jauh-jauh dari komplain konsumen terkait promo yang sudah ketinggalan. Di mana, pengaduan itu pun sudah tidak bisa diganggu gugat lagi, karena sudah diatur lewat kebijakan perusahaan yang ketat.

“Kebanyakan (keluhan) ketinggalan promo, yang gitu-gitu udah enggak bisa karena itu internal policy. Misal promo sampai 30 januari, padahal konsumen beli 31 januari, (konsumen minta keringanan), kan cuma telat sehari,” sebut Mayora kepada Validnews, Rabu (19/1).

Namun secara keseluruhan, perseroan terus berbenah dalam menyiapkan produk yang berkualitas dan melayani pengaduan konsumen. Pihaknya juga terus menghendaki agar layanan Suara Konsumen yang dipersiapkan ‘tidak terlalu sibuk’.

“Ya semakin banyak komplain, kan bahaya, kalau begitu kan ada masalah tapi enggak diberesin,” ungkapnya.

Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo menuturkan, pengaduan konsumen sangat bermanfaat sebagai quality control bagi sebuah perusahaan yang menyediakan produk berupa barang/jasa. Dari situ, perusahaan dapat mengecek bisnis proses yang dilakukan pekerja.

Saluran pengaduan konsumen juga bisa menjadi alat konsultasi gratis pemilik perusahaan. Perusahaan dapat memperbaiki dan menganalisa kekurangan produk yang dihasilkan, sampai menjadi tolok ukur dalam menjaga keberlanjutan usahanya.

Rio menekankan, konsumen adalah orang yang paling jujur dalam memberikan ulasan, karena terdampak langsung, sekaligus tidak memiliki tendensi terhadap perusahaan. Jadi, ada potensi perusahaan mendapatkan konsumen loyal lewat kesediaan dan kesempatannya menanggapi keluhan konsumen.

“Itu sangat baik. Oleh sebab itu, saya pikir pengaduan konsumen itu banyak manfaat dan seharusnya dibuka kanal dengan seluas-luasnya, lebih banyak akses, sehingga konsumen bisa mengadu,” sebut Rio.

Mengamini itu, perwakilan Mayora menjelaskan, secara langsung komplain konsumen dapat berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Perusahaan profesional mesti dapat menangani komplain sekecil apapun dari konsumen dengan benar, karena taruhannya adalah reputasi.

Dia mencontohkan, tidak ada alasan perusahaan profesional untuk dapat menyepelekan keluhan konsumen yang hanya mendapat 3 pieces produk, dari yang tertera di kemasan sebanyak 4 pieces. Bahkan, perusahaan mesti berterima kasih karena konsumen secara terbuka menyampaikan isu di sisi produksi.

“Kalau kita sebagai pengusaha diamkan itu (keluhan), komplainan orang makin lama, akan semakin besar. Ujungnya orang enggak beli lagi dan enggak percaya,” jelas Mayora.

Meski begitu, keluhan tentang rasa dan selera segelintir kecil konsumen, tidak bisa dijadikan patokan bagi perusahaan untuk berbenah sedemikian rupa. Pasalnya sebelum diluncurkan ke publik, perusahaan telah melakukan serangkaian pengembangan produk hingga trial ke sebagian besar pangsa pasar.

Karena itu, produk yang bergantung pada cita rasa akan lebih bergantung pada menjaga kualitas dan konsistensi produk.

“(Komplain) rasa kurang asin, manis, terlalu manis, kurang banyak porsinya itu sesuatu yang wajar. Karena memang preference rasa yang saya suka, belum tentu anda suka. Selama kita bisa menjaga kualitas, ujung-ujungnya konsumen akan memilih sendiri,” tuturnya.

Pendeknya, Mayora menilai perlakukan terhadap keluhan konsumen bergantung isu yang terjadi dan tidak bisa digeneralisir. Karena itu, Mayora telah menyediakan semua kanal pengaduan konsumen dengan sarana yang baik dan saksama.

“Jadi cara meng-handle konflik dan feedback dari konsumen itu customized lah, enggak ada satu (patokan) yang fit to all,” sebutnya.

Utamakan Diskusi
Sementara itu, Rolas Sitinjak juga menilai, setiap pengaduan dan keluhan harus masuk dalam perspektif perusahaan sebagai masukan yang baik untuk kemajuan usaha. Hal ini juga berlaku bagi konsumen yang mengadukan keluhannya lewat medsos.

Hanya saja, perlu ditelusuri suara pengaduan tersebut memang komplain organik atau upaya dari kompetitor menjadi urusan lain yang dapat ditelusuri nantinya.

“Setiap keluhan, pengaduan, atau komentar buruk atau kurang baik tentang produk perusahaan, kami pikir ditanggapi dengan bijak saja. Hukum pasar akan berlaku, market gimana maunya,” terang Rolas.

Karena itu, langkah somasi perusahaan kepada konsumen merupakan tindakan yang Rolas rasa berlebihan. Apalagi. Saat ini sangat mungkin buat publik secara berjamaah menghabisi perusahaan itu karena menjadi sentimen buruk.

Sekali lagi, dia menyampaikan, tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan diskusi. Hasil penyelesaian sengketa konsumen-perusahaan secara baik-baik pun paling banter akan berdampak pada rasa kecewa semata.

“(Kalau) ternyata (pengaduan) itu cuma fake account dan lainnya, tinggal perusahaan bikin rilis. Nah, kalo masih ribut lagi, baru sikat. Semua bisa diselesaikan dengan diskusi,” ucapnya.

YLKI beranggapan, pengaduan konsumen via jagat maya medsos sudah tidak bisa dielakkan lagi, mengingat masyarakat berada pada zaman yang serba digital. Rio menyebutkan fenomena pengaduan konsumen ini bisa mengindikasikan dua hal krusial.

Pertama, ada indikasi konsumen tidak bisa mengakses kanal pengaduan eksisting. Kedua, aduan konsumen kepada pelaku usaha tidak menggubris dan merespons sesuai yang diharapkan.

Karena itu, hendaknya sebuah perusahaan tidak takut dalam menerima aduan konsumen. Pada dasarnya, dia mengingatkan, hak mengadu seorang konsumen sudah dijamin oleh hukum dan undang-undang.

“(Maka) ketika pengaduan konsumen itu salah atau tidak disampaikan dengan benar, dengan dilapor polisi itu terlalu jauh. Perusahaan bisa melakukan mediasi dulu secara internal, bisa diselesaikan,” sebut Rio.

Nantinya, penyelesaian bisa melibatkan pihak ketiga apabila terjadi deadlock sengketa yang sudah dimaksimalkan rampung secara internal. Dengan begitu, keinginan konsumen bisa terakomodir, tidak berlama, serta lebih efektif dan efisien.

Lebih lanjut, internalisasi pengaduan juga bisa meredam potensi konsumen dalam mengadu ke pihak ketiga lainnya dan menyaring pengaduan via medsos. “Bagaimana pun konsumen nantinya bisa menjadi satu market yang baik bagi perusahaan dan untuk perusahaan sendiri tumbuh besar,” jelasnya.

Tren Pengaduan ke Depan
Sebagai bentuk antisipasi, Rio Priambodo memproyeksi, beragam pengaduan konsumen pada 2023 akan cukup banyak terjadi melalui saluran digital. Fenomena ini mengikuti pergeseran pola transaksi dan konsumsi masyarakat dari sebelumnya konvensional menjadi lebih digital.

Pemerintah pun dinilai juga sudah menyiapkan beberapa regulasi yang mengatur transaksi ekonomi digital. Secara khusus, dalam UU perlindungan data pribadi dan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang dapat mengakomodasi kepentingan konsumen di era digital, mencakup kegiatan jual-beli dan lainnya.

“Di 2023 maupun ke depan, saya pikir komoditas digital ini makin marak dan naik. Oleh sebab itu, ke depannya, penting juga konsumen bisa teredukasi pada informasi-informasi elektronik, sehingga pemahaman konsumen (makin) terliterasi,” papar Rio.

Edukasi dari beragam stakeholder dapat dilakukan demi meningkatkan literasi, khususnya konsumen digital. Diharapkan, konsumen dapat mengetahui product knowledge dan bisnis proses yang berlaku dalam era digital. Targetnya juga, misinformasi dan miskomunikasi dapat ditekan.

Dirinya juga menyoroti peran iklan produk dalam setiap pengaduan-pengaduan konsumen. Tak sedikit iklan membuat banyak konsumen tergiur dan terjebak, yang akhirnya berujung menjadi sengketa karena produk yang ditawarkan berbeda jauh.

“Sebab informasi itu sangat penting disampaikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Misinformasi itu sangat rentan,” serunya.  

Sekali lagi, YLKI mengimbau agar konsumen tidak takut melakukan pengaduan kepada pelaku usaha, sepanjang disampaikan dengan benar, fakta, dan dikonsumsi sesuai jalurnya. Undang-undang menjamin hak konsumen untuk mengajukan komplain.

“Komplain tentu harus disampaikan dengan baik dan benar. Baik juga harus benar, benar juga harus baik dengan jalur yang sudah ditetapkan buat para pelaku usaha, pihak ketiga, maupun pemerintah,” terangnya.

Trust itu harus dijaga. Semua orang kan bikin usaha pengen lancar, pengen lama, dikenal, dan dipercaya, harusnya setiap perusahaan menjawab konsumennya dengan baik dan benar,” imbuh Rolas.



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar