c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

11 Februari 2025

21:00 WIB

Menerka Arah Pemerintah Dibalik Utak-Atik Kebijakan LPG 3 Kg

Gas melon yang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin masih diperdagangkan bebas. Pemerintah mengutak-atik kebijakan, tapi berujung kisruh akibat eksekusi yang kurang dimitigasi.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p>Menerka Arah Pemerintah Dibalik Utak-Atik Kebijakan LPG 3 Kg</p>
<p>Menerka Arah Pemerintah Dibalik Utak-Atik Kebijakan LPG 3 Kg</p>

Warga antre untuk membeli gas elpiji 3 kg saat pelaksanaan operasi pasar di kawasan Legian, Badung, Bali, Kamis (27/7/2023). Antara Foto/Fikri Yusuf/Spt/aa.

JAKARTA - Tiga pekan terakhir, publik heboh dengan fenomena kelangkaan 'gas melon' atau LPG 3 kg. Dimana-mana konsumen mengantre untuk mendapatkan bahan bakar memasak itu.  Bahkan, ada yang meninggal dikabarkan tersebab tak kuat ikut dalam antrean mengular.

Kelangkaan gas melon itu dipicu kebijakan baru pemerintah. LPG 3 kg disinyalir mulai langka, setelah pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melarang pengecer menjual gas bersubsidi mulai 1 Februari 2025. Di ketentuan baru, pemerintah menetapkan bahwa gas melon hanya bisa dibeli di agen resmi Pertamina. Rakyat kelabakan mencari gas bersubsidi itu, mau tak mau harus mengantre hingga berjam-jam di agen.

Sudah tentu yang terdampak bukan hanya rumah tangga. Para pelaku usaha UMKM pun terimbas. Penjual kebab bergerobak, Ammar Sofyan (25) adalah salah satu yang terdampak. Dia mengaku kesusahan mencari keberadaan gas bersubsidi. Dia sampai mendatangi dua lokasi agen Pertamina, di Kodau dan Jati Kramat, Kota Bekasi untuk bisa mendapat LPG 3 kg. Lokasinya jelas tak dekat rumah. Tapi dia berupaya memperoleh gas itu, untuk berusaha dan memasak di rumah.

"Susah banget, sampai harus ke tempat agen dua kali baru dapat. Dari datang sampai dapat gas itu 1 jam lebih, karena antrenya parah," ceritanya kepada Validnews, Senin (10/2).

Ammar menuturkan, biasanya dia membeli gas itu di warung-warung dekat tempat tinggalnya. Namun kali ini, semua warung sudah disambangi, gas yang dicari tak juga diperoleh. Dia pun menempuh perjalanan naik motor kurang lebih 25 menit sampai Kodau dan Jatikramat.

Begitu sampai di agen, dida mendapati barisan pengantre sudah cukup panjang. Tetap dia merasa beruntung, dia masih bisa ikut berbaris.  Dari usahanya ini. Ammar berhasil membawa pulang dua tabung gas melon, seharga Rp20 ribu/tabung. Pembelian gas melon di agen dibatasi maksimal dua tabung per orang. Untuk harga, jauh lebih murah di agen,  ketimbang pengecer yang kisaran Rp24 ribu/tabung.

Saat berita ini diturunkan, Validnews mengontaknya kembali. Dia mengaku bersyukur, pembelian LPG 3 kg hari ini tak sesusah pekan lalu. Beberapa warung sudah bisa kembali menjual LPG 3 kg kendati harganya masih belum bersahabat di kantong. "Buat hari ini sih alhamdulillah sudah gampang (beli LPG 3 kg). Cuma harga belum stabil masih kisaran Rp23-24 ribu (per tabung), tapi sudah enggak (dibatasi), sudah normal," katanya.

Pengalaman sejenis juga diutarakan banyak rumah tangga dan pedagang di pekan lalu. Pertamina Patra Niaga mengidentifikasi, fenomena kelangkaan gas itu dipicu lonjakan penyerapan yang signifikan selama libur panjang 27-31 Januari 2025.

Meski begitu, Celios tetap menganggap, kondisi yang merugikan banyak orang tersebut adalah imbas pemerintah yang gagal menyediakan pasokan barang sesuai permintaan plus mendistribusikannya. Ekonom Celios Nailul Huda mengatakan, Kementerian ESDM, khususnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, harus bertanggung jawab atas kasus LPG 3 kg ini. Tak lupa, Celios mendesak Presiden Prabowo segera mengevaluasi penuh kinerja Menteri ESDM.

Dia pun menyampaikan, pemerintah tidak perlu sungkan apabila ada pihak swasta yang dapat membantu mendistribusikan elpiji bersubsidi kepada masyarakat kurang mampu. Dus, pihak swasta dinilai bisa menjadi salah satu alternatif distribusi. 

"Ketika ada swasta yang dapat membantu untuk mendistribusikan (LPG 3 kg) kepada masyarakat paling bawah, harusnya pemerintah merasa tertolong. Kecuali pemerintah sudah menyiapkan pangkalan di tiap desa/dusun," jelas Nailul kepada Validnews, Senin (10/2).

Memahami Rimba Bisnis Gas Melon
Kritikan senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar. Dia menekankan, perubahan kebijakan yang mengakibatkan kelangkaan gas melon di berbagai wilayah, menandakan pemerintah tidak punya persiapan matang dan kurang kajian mendalam.

Menurutnya, kebijakan meniadakan pengecer, sehingga penyaluran LPG 3 kg hanya melalui agen atau pangkalan tak akan efektif. Dari segi permodalan, banyak pengecer yang nantinya tidak mampu memenuhi syarat menjadi sub-pangkalan.

Asal tahu, modal awal yang diperlukan untuk bisa menjadi agen pangkalan resmi yang menyalurkan LPG 3 kg mencapai Rp100 juta. Adapun biaya itu digunakan untuk pengadaan mobil angkut, pembelian tabung gas, menyewa tempat usaha.  Kemenkeu sendiri mencatat, nilai keekonomian gas melon LPG 3 kg adalah sebesar Rp42.750 per tabung. Adapun pemerintah menyuntikkan subsidi sebesar 70% atau sekitar Rp30.000 per tabung. Nah, sisa harga LPG 3 kg dibayar masyarakat.

Di sisi lain, pengamat energi menilai, jarak lokasi pangkalan juga jauh dari masyarakat atau konsumen. Kondisi ini bakal membuat mereka kesulitan mengakses gas melon. Ia mengingatkan, pengecer ini turut berperan menggerakkan ekonomi masyarakat bawah.

"Tidak bisa efektif, jumlah pengecer terlalu banyak dan skala usahanya kecil sekali dan keterbatasan modal, mereka tidak akan mampu memenuhi persyaratan sebagai sub pangkalan," ujar Bisman kepada Validnews, Senin (10/2).

Dengan harga jual agen ke pangkalan Rp14.500, lalu pangkalan ke konsumen Rp18 ribu, serta pengecer ke konsumen Rp21-22 ribu. Nailul mencermati, keuntungan yang diraup para pelaku ekonomi dalam rantai pasok LPG 3 kg ini tidak terlalu tinggi.

Kalkulasinya, pangkalan meraup untung setidaknya Rp3.500 per tabung. Sedangkan pengecer untung sekitar Rp3-4 ribu, dengan jumlah tabung yang bisa dijual lebih sedikit. Secara bisnis, tidak ada masalah berarti dari proses ini. "(Malah) pangkalan tidak dirugikan dengan adanya pengecer, justru membantu menjual gas LPG 3 kg ke masyarakat," tutur Nailul.

Hanya saja, Nailul menggarisbawahi, harga gas melon senilai Rp22 ribu/tabung di pasaran, atau lebih dari setengah dari harga keekonomiannya bukannya tak bebas masalah. Tak heran, permintaan gas subsidi malah kelebihan alias boncos.

"Barang yang diberikan subsidi atau di bawah harga keekonomian, sudah pasti akan ada excess demand atau kelebihan permintaan," tegasnya.

Volume, Pagu, dan Penggunaan Elpiji Terus Naik
Lebih lanjut, Nailul juga mewaspadai kenaikan kebutuhan gas melon. Utamanya, menjelang bulan puasa Ramadan yang kurang dari sebulan lagi, lalu dilanjutkan dengan adanya momentum hari raya Idulfitri. Sejalan dengan itu, dia meminta pemerintah menjamin ketersediaan energi.

Di Indonesia, LPG 3 kg sudah menjadi kebutuhan mendasar masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah. Yang meliputi rumah tangga, pelaku usaha mikro yang jumlahnya mencapai 60 juta, nelayan, serta petani.

Meski demikian, dia skeptis upaya menjamin kestabilan stok LPG 3 Kg tidak akan mudah karena pemerintah sudah tidak punya anggaran ke depannya, di tengah kebijakan efisiensi anggaran. Alih-alih menjaga, pemerintah ditaksir malah berniat mencabut subsidi LPG 3 kg. "Pemerintah bisa jadi juga tidak punya dana lagi, (jadi) berniat untuk mencabut subsidi gas LPG 3 kg," ungkapnya. 

Kebutuhan elpiji bersubsidi memang meningkat dari tahun ke tahun. Tercermin dari realisasi volume penyaluran LPG 3 kg yang tadinya 6,84 juta ton di 2019, naik menjadi 8,1 juta ton pada 2024. Kementerian ESDM bahkan memproyeksikan, realisasi volume LPG 3 kg bisa mencapai 8,3 juta ton pada 2025. Adapun angka tersebut lebih tinggi dari target dalam APBN 2025 yang sebanyak 8,17 juta ton.

Selain volume, alokasi anggaran negara untuk belanja subsidi energi, termasuk LPG 3 kg, pun cenderung meningkat, meski tergolong fluktuatif.

Kemenkeu mencatat, alokasi pagu untuk subsidi LPG 3 kg paling tinggi terjadi pada 2022 yakni senilai Rp100,4 triliun. Meski di beberapa tahun setelahnya cenderung menurun. Pada 2024, alokasi pagu subsidi gas melon menyentuh Rp80,2 triliun yang tersalurkan untuk 40,3 juta pelanggan. Pemerintah menargetkan dalam APBN 2025, alokasi subsidi LPG 3 kg naik menjadi Rp87,6 triliun.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengamini, kebutuhan masyarakat maupun realisasi volume gas subsidi sama-sama naik. Menurutnya, itu terlihat dari peningkatan alokasi volume gas rumah tangga yang harus disiapkan pemerintah.

"Secara kebutuhan dan alokasi LPG meningkat dari tahun 2024 sebesar 8 juta ton dan tahun 2025 meningkat (menjadi) 8,3 juta ton," ucap Yuliot kepada Validnews, Sabtu (8/2).

Selain volume dan pagu, rasio penggunaan gas rumah tangga juga naik. Ini merujuk pada jumlah rumah tangga yang menggunakan gas sebagai sumber energi untuk memasak dan kebutuhan lainnya, dibandingkan dengan total rumah tangga di suatu wilayah.

Adapun rasio ini menggambarkan seberapa besar ketergantungan masyarakat pada gas. BPS mencatat, rasio penggunaan gas rumah tangga cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 79,9% di 2019 menjadi 86,91% di 2023.

Masalah Klasik Elpiji 3 Kg
Merespons permintaan gas yang naik dari segala sisi, Bisman menilai,  pelaksanaan subsidi LPG 3 kg utamanya masih terjadi seputar ketidaktepatan sasaran penerima. Selain itu, terjadi penyimpangan akibat besarnya selisih antara harga LPG subsidi dan non-subsidi. "Siapa pun bisa mendapatkan LPG 3 kg tanpa seleksi, sehingga bisa saja yang tidak miskin juga dapat," tukasnya.

Berangkat dari sederet persoalan tersebut, Bisman mengatakan, pemerintah perlu menata dan membangun sistem pemberian subsidi dan distribusi LPG, yang bisa memastikan ketepatan pemberian subsidi gas melon. Kemudian, memaksimalkan potensi gas di dalam negeri dengan hilirisasi gas LPG, serta membenahi tata kelola gas dari hulu. Dia menerangkan, sebagian besar gas bumi Indonesia terus diekspor.

Padahal, menurutnya, gas alam tersebut perlu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga perlu menambah jumlah kilang LPG di Indonesia. Dia meyakini, upaya tersebut bisa mengurangi beban subsidi energi sekaligus memastikan ketersediaan pasokan.

"Hasil akhir LPG dapat dipasok dalam negeri dan impor berkurang signifikan, sehingga tidak membebani APBN," ungkapnya.

Di sisi lain, ia menegaskan pentingnya pemerintah maupun pemda secara intensif mengatasi penyimpangan di lapangan. Otoritas bisa menggencarkan pengawasan sekaligus penegakan hukum guna menekan kebocoran, sehingga pembiayaan lebih terkendali.

"Pengawasan untuk pemanfaatan oleh masyarakat dengan melibatkan pemda, karena merekalah yang lebih dekat dengan masyarakat. Penegakan hukum untuk pelaku-pelaku besar penyimpangan dan pengoplosan (LPG 3 kg), tentunya oleh aparat hukum beserta Kementerian ESDM, serta melibatkan asosiasi pengusaha terkait," papar Bisman.

Secara teknis, Nailul pesimistis, pemerintah belum akan mampu memasok gas rumah tangga dari sumber daya domestik untuk memenuhi permintaan pasar sekarang. Imbasnya, pemerintah harus mendatangkan LPG dari negara lain alias impor.

"Sayangnya saya tidak melihat tambahan pasokan di lapangan. Ditambah lagi, dana juga terbatas, maka saya rasa sulit untuk melihat pemerintah memberikan stok yang sesuai dengan permintaan pasar," sebut ekonom Celios itu.

Kementerian ESDM mencatat, produksi LPG domestik cenderung stagnan karena kandungan C3 dan C4 dalam pasokan gas bumi tidak ekonomis untuk dijadikan LPG. Selain itu, tidak ada penambahan kapasitas kilang LPG hingga 2023. Kombinasi stagnasi produksi di tengah permintaan yang naik, memaksa Indonesia untuk mengimpor. Tak heran, angka impor LPG RI cenderung meningkat secara tahunan, dari sekitar 5,71 juta ton di 2019 menjadi 6,90 juta ton di 2023.

Yang juga mesti diingat, pemerintah perlu mewaspadai mewaspadai munculnya banyak spekulan ketika pemerintah mengubah kebijakan penjualan LPG 3 kg hanya lewat agen dan pangkalan, tanpa pengecer. Dia menerangkan, spekulan ini bisa ada di semua tingkatan, baik agen, pangkalan, ataupun pengecer yang masih mendapatkan jatah pasokan dari pangkalan. Mereka akan menahan harga hingga harga di pasar meningkat berkali lipat, karena ada kebijakan pemerintah terbaru.

"Akan semakin sulit mereka mendapatkan barang, dan harga akan melambung tinggi," jelasnya.

Di sisi lain, kewajiban membeli gas hanya di pangkalan pun akan menimbulkan biaya transportasi bagi konsumen. Bahkan jika dibandingkan dengan selisih harga pangkalan ke pengecer, sekitar Rp3-4 ribu, biaya transportasi bisa lebih mahal.

"Dari uang bensin dan biaya parkir saja bisa lebih mahal, belum menghitung opportunity cost yang timbul dari kegiatan 'mengantre'," paparnya.

Strategi Antisipasi Lonjakan Kebutuhan Gas
Melihat kenaikan kebutuhan energi gas tiap tahun, pemerintah pun bersiap untuk mengakomodir hal tersebut. Yuliot menyebut, sedikitnya ada dua upaya antisipasi yang akan dilakukan. Pertama, menyalurkan elpiji bersubsidi secara tepat sasaran. Itu berarti, pemerintah harus memiliki basis data yang lengkap dan tepat mengenai masyarakat sasaran, termasuk rumah tangga miskin, usaha mikro, petani dan nelayan.

"Kebutuhan (energi gas) meningkat setiap tahunnya perlu dijaga, terutama subsidi yang dialokasikan harus tepat sasaran," kata Wamen ESDM itu.

Yuliot mengisyaratkan, pengambilan kebijakan teranyar menyangkut LPG 3 kg harus didasarkan atas data masyarakat sasaran. Dengan begitu, akurasi penyaluran bisa lebih presisi.

"Dengan adanya pendataan pelanggan (secara berjenjang) oleh sub-pangkalan, pangkalan dan agen, kebutuhannya dapat terpenuhi secara presisi berdasarkan wilayah/daerah," imbuhnya.

Kedua, peningkatan kebutuhan LPG bersubsidi harus diantisipasi dengan menggenjot produksi dan ketersediaan pasokan gas di dalam negeri. Salah satu caranya, melalui program jaringan gas bumi atau jargas.

Secara teknis, program jargas yakni menyediakan jaringan pipa yang menyalurkan gas bumi ke rumah tangga. Meski belum masif, sudah ada banyak rumah di beberapa wilayah yang menggunakan jargas sebagai pengganti LPG. Pemasangan pipa tersebut di rumah memungkinkan untuk menekan penggunaan LPG tabung. Masyarakat bisa langsung memakai energi gas tersebut untuk memasak dan memasang pemanas air (water heater).

Meski demikian, Wamen ESDM mengaku masih ada tantangan besar dalam menjalankan program jargas, yakni pembangunan jaring pipa gas. Sayangnya, dia tidak merinci kendala yang dihadapi pemerintah.

"Perlunya percepatan jargas perkotaan baik yang dilakukan oleh badan usaha atau BLU yang ditunjuk pemerintah. Tantangan utamanya adalah percepatan pembangunan jaring pipa gas," ungkap Yuliot.

Soal tantangan ini, Nailul juga mencermati. Sedikitnya ada dua langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelebihan permintaan LPG 3 kg. Pertama, subsidi harus tepat sasaran. Namun, ia mengakui ini paling sulit dilakukan, karena data kemiskinan tidak tersinkronisasi. Padahal, keabsahan data menjadi dasar untuk menyalurkan subsidi, seperti yang dilakukan negara tetangga, India dan Malaysia. Di India, harga gas LPG dijual dengan harga umum di pasaran.

Di India, masyarakat miskin mendapatkan uang secara tunai yang ditransfer ke rekening perbankan sebagai penggantinya. RI bisa saja menerapkan ini. Namun, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi, yakni adanya data keuangan kelompok masyarakat memenuhi syarat (eligible) untuk mendapatkan subsidi. Di saat sama,,pemerintah bisa memberikan jaminan pasokan barang yang memenuhi permintaan.

"Sayangnya saya tidak melihat tambahan pasokan jika melihat lapangan. Ditambah lagi dana juga terbatas, maka saya rasa sulit untuk melihat pemerintah memberikan stok yang sesuai dengan permintaan pasar," sergahnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar