23 Desember 2024
15:32 WIB
Mendag Sebut Harga Minyakita Mulai Berangsur Turun
Meski sudah alami tren penurunan harga, Kemendag bersama satgas pangan dan beberapa kementerian/lembaga terkait akan terus berkoordinasi memastikan agar MinyaKita tidak naik lagi di beberapa daerah.
Editor: Khairul Kahfi
Mendag Budi Santoso (tengah) harga MinyaKita yang sebelumnya menembus Rp17.000 per liter saat ini mulai berangsur turun, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (23/12/2024). Antara/Rubby Jovan
BANDUNG - Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, harga minyak goreng rakyat atau MinyaKita yang sebelumnya menembus Rp17.000 per liter, saat ini mulai berangsur turun. Pemerintah juga mengklaim harga MinyaKita di pasaran sudah berangsur normal.
“Tadi saya cek sudah ada yang di harga Rp15.700. Ini sudah mulai normal,” kata Budi melansir Antara, Jakarta, Senin (23/12).
Budi menjelaskan, kenaikan harga MinyaKita sebelumnya disebabkan oleh keterlambatan pasokan dan rantai distribusi yang panjang.
Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya mengandalkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, yang memungkinkan pengawasan distribusi minyak goreng dari pusat hingga ke daerah secara tepat.
Baca Juga: Kemendag Akui Minyak Curah Dorong Harga Minyak Goreng Nasional Mahal
“Kita memiliki SP2KP untuk memantau dari pusat secara nasional ke daerah-daerah, jadi kelihatan mana yang harga naik segera kita konfirmasi penyebabnya apa, misal dari sisi pasokan,” katanya.
Meski sudah alami tren penurunan harga, namun Kemendag bersama satgas pangan dan beberapa kementerian/lembaga terkait akan terus berkoordinasi untuk memastikan agar MinyaKita tidak naik lagi di beberapa daerah.
“Dinas serta satgas pangan terus memantau dan berkomunikasi setiap hari untuk memastikan distribusi (MinyaKita) lancar,” ungkapnya.
Pantauan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag mencatat, harga MinyaKita di tingkat nasional bertengger di kisaran Rp17.200 per liter.
Dengan demikian, harga MinyaKita masih cenderung lebih tinggi Rp1.500 dari HET yang dipatok dalam Permendag 18/2024 sebesar Rp15.700 per liter.
Adapun, harga MinyaKita nasional sudah bertahan di level Rp17.200 per liter sejak 16 Desember 2024. Sebelumnya, harga MinyaKita nasional sempat dibanderol sebesar Rp17.100 per liter selama 25 November-13 Desember 2024. Malah, harga MinyaKita nasional sempat dibanderol lebih rendah sekitar Rp17.000 per liter sebelum 25 November 2024.
Provinsi dengan harga MinyaKita tertinggi berada di Papua Tengah dengan selisih harga Rp1.800 dengan harga rata-rata nasional saat ini, sebesar Rp19.000 per liter; disusul Maluku Utara Rp1.300 (Rp18.500/liter); Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua Selatan, dan Papua masing-masing masih di atas Rp800 (Rp18.000/liter).
Sementara itu, harga MinyaKita terendah berada di Kep. Bangka Belitung dengan selisih harga lebih rendah Rp1.400 dengan harga rata-rata nasional saat ini, sebesar Rp15.8000 per liter; disusul Sulawesi Barat Rp1.300 (Rp15.900/liter); Kepulauan Riau Rp1.200 (Rp16.000/liter); serta DI Yogyakarta dan Sulawesi Tengah yang masing-masing Rp1.100 (Rp16.100/liter).
Baca Juga: Harga MinyaKita Melonjak Karena Panjangnya Rantai Distribusi dan Tingginya Permintaan
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Rusmin Amin mengungkapkanm kenaikan harga MinyaKita diindikasikan karena rantai distribusi yang terlalu panjang. Akibatnya, harga yang sampai ke tangan konsumen menjadi lebih tinggi.
Dia mengatakan, dengan distribusi yang panjang juta, tidak menutup kemungkinan adanya transaksi di antara pengecer, sehingga harga jual komoditas terkait di masyarakat menjadi lebih tinggi.
“Jadi kalau kami lihat terlalu banyak perpindahan tangan. Jadi kenaikan harga itu yang pada akhirnya di konsumen tidak Rp15.700 sebagai harga eceran tertinggi (HET),” kata Rusmin.
Rusmin mengidentifikasi, harga MinyaKita di tingkat distributor utama (D1 dan D2) masih sesuai HET. Namun, harga MinyaKita cenderung naik signifikan saat melewati rantai distribusi pengecer dan grosir.
Menurutnya, banyak pengecer menjual kembali minyak kepada pengecer lain atau grosir, sebelum sampai ke konsumen akhir.
“Maka harga nilai di konsumen ya pastilah jadi naik tidak sesuai dengan HET-nya. Ini satu model distribusi yang kami pelajari,” jelasnya.