DAVOS - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengingatkan semua pihak, bahwa Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) mampu menjadi solusi nyata, bagi perekonomian dunia yang dilanda inflasi tinggi saat ini.
Spesifik, kondisi tersebut diakibatkan oleh hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang. Begitu pula tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mestinya.
“Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik,” tegas Lutfi dalam diskusi 'The Biggest Trade Deal in the World', Jakarta, Jumat (27/5).
Ia melanjutkan, tingginya harga komoditas dunia hari ini adalah peluang bagi petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia, India, Brasil dan China untuk menikmati keuntungan lebih. Ini juga menjadi titik keseimbangan (ekuilibrium) baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia.
“(Jadi) jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara misal Tiongkok, karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda,” terangnya.
Hal yang dimaksud standar ganda oleh Mendag Lutfi adalah negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia. Manakala posisi dagang mereka kurang diuntungkan terhadap suatu negara tertentu, misal China.
Padahal dahulu, ia mengingatkan, ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasarnya.
“Harus ada kebersamaan dan kesetaraan kesempatan dalam perdagangan bebas dunia,” cetusnya.
Mendag Lutfi sempat berdebat cukup tegang dengan panelis lain yaitu CEO Suntory Holdings Tak Miinami, salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di dunia asal Jepang.
Miinami menyatakan pesimistis dengan situasi perdagangan dunia saat ini, khususnya karena China yang saat ini menutup pasarnya karena kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China Xi Jin Ping. Sehingga China, menurut Miinami, perlu dibatasi perannya dalam perdagangan dunia.
Mendag Lutfi menyayangkan pandangan tesebut, apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju. Dunia harus mengakui, faktanya ketika China mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.
“Kami di Indonesia sangat merasakan betul manfaatnya. Apalagi, Tiongkok juga menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini,” jelasnya.
Padahal, lanjutLutfi, Tiongkok baru bergabung dengan WTO di 2001. Tapi, manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan empat puluh tahun lebih sejak perdagangan dunia didominasi oleh kapitalisme Barat.
“Biarkan harga pangan tinggi saat ini menjadi sinyal agar petani dan peternak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia meningkatkan produksi. Sehingga nantinya harga akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,” ujarnya.
RCEP Peluang dan Katalis
Selanjutnya, Mendag Lutfi mengatakan, RCEP berpotensi memperbaiki tata niaga perdagangan dunia. Dari yang sebelumnya berbasis akumulasi dan konsentrasi kemakmuran, menuju tata niaga baru yang meratakan kemakmuran dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Bila dievaluasi secara jujur, kondisi tersebut adalah akibat dari kompetisi atau persaingan bebas, yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro. Karenanya, tata niaga dunia baru harus berbasis kolaborasi yang bermanfaat, tanpa adanya diskriminasi atau bersifat inklusif.
“Bila seluruh dunia sibuk berkolaborasi, maka tidak ada ruang untuk kompetisi yang sering kali berujung kepada konflik antarnegara,” sambungnya.
RCEP sebagai perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia diikuti oleh kesepuluh negara ASEAN ditambah Australia, Selandia Baru, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. RCEP merupakan kerja sama perekonomian pertama di dunia yang memiliki China, Jepang, dan Korea Selatan sama-sama menjadi anggota.
“Perdagangan bebas tidak harus berdasarkan persaingan bebas. Melainkan bisa juga dicapai melalui kolaborasi yang nondiskriminatif atau inklusif. Sudah ada bukti keberhasilannya yaitu ASEAN,” bilang Mendag.
Lutfi menekankan, model komunitas ekonomi bersama yang inklusif dan kolaboratif sudah dibuktikan keberhasilannya oleh ASEAN yang kini merupakan perekonomian terbesar kelima di dunia, dengan total PDB mencapai US$3,3 triliun dan total populasi masyarakat 630 juta orang.
Padahal kesepuluh negara ASEAN memiliki latar belakang, bentuk pemerintahan, bahkan sistem perekonomian yang sangat beragam. Dirinya juga membandingkan kondisi tersebut, berbeda yang terjadi di belahan dunia lain yang justru menciptakan pertentangan bahkan perang dingin.
“Di ASEAN, kami merajutnya menjadi persatuan, kesejahteraan bersama, dan kolaborasi untuk berperan lebih bagi perekonomian dunia,” tambahnya.
Sepuluh negara ASEAN terdiri atas satu kerajaan (absolute monarchy), dua pemerintahan junta militer, dua negara komunis, dan lima demokrasi dengan rasa lokal yang kuat.
“Lewat RCEP, kami berharap struktur dan model ASEAN yang terbukti relevan dan berhasil akan menjadi contoh yang diadopsi oleh banyak negara di seluruh dunia,” pungkasnya.