30 Oktober 2025
21:00 WIB
Menarget E10 Di Tengah Roadmap Abu-Abu Dan Masalah Bahan Baku
Program mandatori E10 banyak peroleh dukungan optimisme. Di saat sama, persoalan bahan baku, mulai dari petani singkong dan tebu, hingga industri etanol masih menghantui.
Penulis: Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Seorang pekerja mengawasi produksi bioetanol di pabrik PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur. Antara/HO-PTPN X
JAKARTA - Rencana pemerintah yang mewajibkan penggunaan atau mandatori BBM beretanol 10% (E10) pada bensin di 2027 kian ramai jadi perbincangan. Berbagai kementerian teknis turut menggaungkan program ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, hingga Kemenko Bidang Pangan turut meramaikan agenda ini lewat beragam kesempatan
Dari beragam pernyataan, tersimpul bahwa program mandatori ini berangkat dari keinginan pemerintah agar bisa mengurangi ketergantungan impor minyak mentah untuk BBM, sedkaligus didorong keinginan menerapkan energi bersih dan rendah emisi, serta menghidupkan industri tebu, singkong, dan jagung selaku bahan baku pembuatan etanol. Meski E10 sudah santer disampaikan sejumlah pejabat pemerintah dan ditargetkan mulai berjalan di 2027, ternyata program yang memerlukan waktu persiapan 2-3 tahun ini belum memiliki peta jalan (roadmap) yang pasti.
Beberapa waktu lalu, Mentan Amran Sulaiman menyampaikan, pihaknya bersama Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi untuk menyiapkan lahan bahan baku etanol untuk implementasi program E10, yakni 1 juta hektare (ha) untuk singkong dan 500 ribu ha untuk tebu.
“Kami koordinasi dulu dengan Menteri ATR/BPN lahannya... Itu perintah Bapak Presiden,” ucap Amran pada Townhall Meeting 'Satu Tahun Kemenko Pangan: Setahun Bekerja, Pangan Swasembada, Negara Berdaya' di Ballroom Graha Mandiri, Jakarta, Selasa (21/10).
Baca Juga: Bertolak Ke Brasil, Bahlil Ingin Tiru Pengembangan Bioetanol
Namun hingga berita ini Validnews tayangkan, baik Kementan maupun Kementerian ATR/BPN belum memberikan keterangan lainnya yang lebi[h jauh, terkait kelanjutan koordinasi lahan untuk dua komoditas tersebut. Informasi lainnya mengenai E10 juga masih minim.
Saat ini diketahui, campuran etanol yang beredar di masyarakat masih di kisaran 5% (E5) yang dipasarkan oleh PT Pertamina dengan merek Pertamax Green 95. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan, penggunaan etanol pada BBM bukan sesuatu yang mutakhir di dunia. Berdasarkan penuturannya, beberapa negara di benua Amerika ada yang sudah menggunakan etanol pada BBM hingga 85%. India dikabarkan sudah implementasi etanol 20%. Negara terdekat, Thailand juga sudah lebih progresif dengan penggunaan BBM beretanol 20%.
Untuk mencapai E10, Bahlil mengaku, pemerintah masih memerlukan waktu untuk uji coba produk dan menyiapkan ketersediaan bahan baku seperti lahan untuk menanam singkong, tebu, dan jagung, serta pabrik produksi etanol.
Berbagai pihak menyetujui dan mendukung penuh program yang dianggap baik ini. Namun di balik potensi tersebut, masih ada segudang permasalahan mendasar yang dialami petani dan industri sebagai pihak yang nantinya berperan dominan dalam menyukseskan realisasi program mandatori E10.
Transparansi Serapan Etanol di E5
Salah satu yang mengemuka, misalnya pada komoditas tebu. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyampaikan, pihaknya sangat menyetujui dan mendukung program pemerintah untuk mewajibkan E10 karena dianggap bisa mengurangi polusi udara. Akan tetapi, dia juga menegaskan agar pemerintah bisa ikut menjamin bahwa etanol yang digunakan untuk E10 berasal dari produksi petani lokal.
“Apakah keputusan pemerintah menerapkan E10 dari tebu dalam negeri sudah tepat? Ya tepatlah. Asal ini tidak omong doang. Ngomongnya pakai etanol kita (produksi lokal), tapi kenyataannya (malah) enggak,” tegas Soemitro melalui sambungan telepon dengan Validnews, Jumat (24/10).
Keraguan petani tebu beralasan, karena pemerintah belum bisa menjamin harga molases atau tetes tebu di tingkat petani dengan harga yang layak. Hal ini terjadi karena industri etanol di dalam negeri diketahui lebih memilih menggunakan etanol impor langsung daripada memproduksi sendiri melalui penyerapan tetes tebu petani lokal.
Baca Juga: BBM Etanol E10 Butuh 1,2 Juta KL! ESDM Andalkan Molases Tebu Lokal
Padahal di saat yang sama, pemerintah pun sudah menerapkan E5% sebagai Pertamax Green 95 yang sudah terjual di 104 SPBU se-Indonesia. Oleh karena itu, sebagai dukungan penggunaan etanol pada BBM yang lebih tinggi nantinya, Soemitro menagih transparansi penggunaan etanol pada E5 yang sudah berjalan tersebut.
“Tahun ini petani tebu sedang gundah gulana karena molases kita tidak laku. Molases kita tahun lalu harganya di Rp2.500-3.000/kg, bahkan di awal tahun 2025 masih ada molases Rp4.000/kg, namun hari ini turun jadi tinggal sekitar Rp1.000/kg. Itu per ton tebu, kita mengalami penurunan pendapatan sekitar Rp60.000. Tinggi itu,” keluhnya.
Petani Kolombia memuat bagalnya dengan tebu untuk dibawa ke pabrik gula. Shutterstock/Maurotoro
Dia juga menuturkan, penurunan harga jual molases ikut berdampak pada penurunan harga tebu. Menurut Soemitro, harga jual tebu saat ini sekitar Rp80 ribu/kuintal. Atau, turun dibandingkan tahun lalu yang bisa dijual lebih kompetitif sekitar Rp90-100 ribu/kuintal atau hampir sekitaran Rp1 juta/ton.

Jangan Buru-Buru, Benahi Tata Niaga Dulu
Tak berbeda jauh, unek-unek serupa juga disampaikan Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) yang mengaku setuju penuh dengan rencana pemerintah yang akan menyerap singkong sebagai bahan baku E10. Menurut Ketua PPUKI Dasrul Aswin, langkah ini strategis untuk menstabilkan harga jual singkong atau ubi kayu yang ambles karena menurunnya serapan produsen tapioka jagung yang lebih mendahului impor.
Adapun petani singkong juga mempertanyakan kesiapan industri pengolahan etanol dari singkong di dalam negeri untuk kebutuhan E10. Jauh sebelum itu, pemerintah juga harus bisa memberikan kepastian harga jual pada komoditas singkong yang sudah dikeluhkan petani sejak awal tahun ini.
“Sekarang kan pabriknya belum ada. Maksud kami, tetapkan dululah harga etanolnya berapa, harga untuk singkong di tingkat petani berapa. (Urusan) mau dibuat apa saja terserah. Tapi memang betul, itu (E10) bagus kalau ada produk lain (hilirisasi jagung) selain diolah jadi tapioka, jadi tidak dimonopoli lagi,” beber Daswin saat dihubungi Validnews, Selasa (28/10).
Baca Juga: Kemenperin Ungkap Sagu Sebagai Bahan Baku Etanol Termurah E10
Dia juga menekankan, pemerintah tak perlu jauh-jauh menggarap 'etanolisasi' .Banyaknya masalah tata niaga singkong yang tak kunjung beres, sehingga banyak petani yang lebih memilih beralih menanam komoditas lain, harus lebih utama diatasi.
Untuk mengatasi ini pun, pemerintah baru sekadar menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) singkong sesuai keputusan pemda, dalam hal ini provinsi melalui Peraturan Gubernur (Pergub). Aturan tersebut nantinya menetapkan HET singkong petani senilai Rp1.350/kg, dengan pemotongan harga berdasarkan kualitas (rafaksi) maksimal 15%. Namun hingga kini, Pergub tersebut tak kunjung terbit. Aklibatnya, harga singkong masih tertekan di Rp1.350/kg dengan rafaksi 50%. Padahal menurutnya, potongan maksimal bagi petani untuk harga tersebut sebaiknya di 10%.
Meninjau kesiapan industri etanol domestik, Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman pun mengungkapkan, mayoritas industri etanol untuk kebutuhan bahan bakar (fuel grade) sekarang ini masih terpusat berada di Pulau Jawa. Padahal, sebagian besar potensi bahan baku etanol khususnya molases berada di luar Jawa.
Ia membeberkan, total kapasitas industri etanol sekarang mencapai sekitar 303 ribu kl/tahun. Dari jumlah ini, 64 ribu kl di antaranya atau sekitar 21,15% masuk kategori fuel grade dan mayoritas berada di Pulau Jawa. Sementara, sebagai indentifikasi, total produksi molases berkisar 1,6 juta ton, dengan sekitar 600-700 ribu ton di antaranya ada di Jawa.
“Saat ini bingung pasarnya dan mungkin bisa dijadikan energi di luar, daripada etanol yang ada di Pulau Jawa yang sudah digunakan untuk kepentingan industri (lain),” terang Izmirta kepada Validnews, Jumat (24/10).
Baca Juga: Toyota Investasi Pabrik Etanol Di RI? BKPM: Brasil Juga
Melihat distribusi bahan baku yang belum dekat dengan industri etanol, ditambah ketersediaan bahan baku terutama molases yang masih minim untuk industri etanol fuel grade, membuat Izmirta meyakini program mandatori E10 tidak akan mencukupi jika dilakukan mendadak. “Siap enggak nanti kalau kita program E10? Ya kalau tiba-tiba E10, suplainya pasti kurang. Tapi kan rencana pemerintah bertahap, mungkin diawali dengan non-Public Service Obligation (PSO) dulu, kemudian regional,” imbuh dia.
Implementasi Bertahap E10
Menurut Izmirta, penerapan berkala E10 sebaiknya dilakukan di Pulau Jawa terlebih dahulu dengan mengoptimalkan kapasitas industri etanol 64 ribu kl yang telah ada. Melalui cara ini, selang 2-3 tahun ke depan diyakini industri etanol berbahan baku molases tebu maupun singkong akan tumbuh.
Ia mengingatkan, pemerintah juga perlu melakukan revitalisasi pabrik etanol berbahan dasar molases terutama yang ada di luar Pulau Jawa. Hal ini tentu saja untuk meningkatkan produktivitas dan utilisasi pabrik sehingga molases yang jumlahnya jauh lebih besar di luar Pulau Jawa bisa terserap optimal.
Petani memanen ubi kayu dari hasil pertanian, menggiling akar ubi kayu untuk membuat tepung tapioka. Shutterstock/Quality Stock Arts
Lebih lanjut, Izmirta juga menyoroti ketersediaan bahan baku energi di dalam negeri. Ia mengambil contoh Thailand dan India, sebagai negara yang memproteksi ketat bahan baku energi untuk tidak diekspor. Langkah sama juga bisa ditempuh RI untuk melindungi kepentingan domestik dan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.
Sayangnya, dia mengakui bahwa petani lokal Indonesia masih lebih doyan mengekspor molases, khususnya menuju Filipina. Pada 2023, APSENDO mengestimasi, sekitar 50%-an molases produksi Indonesia dikapalkan ke berbagai negara. “Tahun 2023, (sekitar) 819 ton dari 1,6 juta ton molases kita itu diekspor... Nah Filipina ini adalah negara yang menjadikan molases untuk kepentingan energinya, dari bahan baku tetes yang diimpor dari Indonesia,” tutur Izmirta.
Baca Juga: RI Garap Ekosistem Bioetanol! Toyota Jadi Inti, Koperasi Jadi Plasma
Oleh karena itu, APSENDO juga setuju meminta pemerintah untuk serius membenahi tata niaga molases, terlebih jika ingin menerapkan E10. Pengaturan tersebut bisa melalui penerapan Domestic Market Obligation (DMO), pengenaan bea keluar ekspor, atau kebijakan restriktif lainnya yang bisa menjaga kepentingan industri dalam negeri.
Pemerintah juga bisa mulai menjajaki E10 dengan mula-mula menentukan harga keekonomiannya dengan petani, kemudian bisa memetakan teknisnya dengan Pertamina dan pelaku bahan bakar utama lainnya dari sektor swasta maupun BUMN
"Ayo pemerintah orkestrakan, kalau kesepakatan itu dibuat, maka kita jangan sampai tergantung negara lain. Karena kalau bicara energi, kita itu harusnya swasembada, kita harusnya have sufficiency (memiliki kecukupan)” ucap dia.

Penuhi Kemauan 'Petani Etanol'
Berdasarkan permasalahan yang dialami petani singkong, PPUKI mengusulkan beberapa hal untuk menjajaki optimalisasi etanol lokal. Pertama, pemerintah patut memasukkan komoditas singkong sebagai komoditas strategis nasional, sejajar dengan padi, jagung, dan kedelai. Kedua, Daswin meminta agar pemerintah tak segan memasukkan singkong ke dalam Undang-Undang (UU) Pangan. Ketiga, pemerintah juga perlu memasukkan singkong ke dalam UU Energi Terbarukan.
“Sekarang ini, akomodir dulu (masalah) yang ada. Kita tingkatkan dulu produksinya, sambil menciptakan itu (program E10). Mudah itu, PPUKI siap memfasilitasinya, kami siap jadi stakeholder karena akan terbuka lapangan-lapangan pekerjaan,” imbuh dia.
Adapun total luas lahan singkong yang tergabung dalam PPUKI saat ini mencapai 900 ribu hingga 1 juta ha yang seluruhnya berada di Lampung dengan kapasitas produksi sekitar 30 ton/ha. Jumlah tersebut berpotensi turun, bila pemerintah terus-terusan abai terhadap permasalahan yang dirasakan petani singkong.
Namun, Daswin juga meyakini produksi singkong bisa loncat dua kali lipat, asalkan pemerintah segera membenahi dan merealisasikan usulan petani singkong.
Idealnya, Soemitro juga menilai, petani tebu tak perlu sampai merasakan amblesnya harga molases di pasar. Karena, sekali lagi, Indonesia setidaknya sudah mulai mengimplementasikan 'E5' yang bisa menyerap molases petani lokal dengan ketersediaan tebu lokal yang sangat mencukupi untuk pemenuhan etanol.
Baca Juga: E10 Jadi BBM Wajib? Bahlil Siapkan Peta Jalan Etanol 10%
Menukil data Kementan, Soemitro melanjutkan, saat ini produksi tebu nasional diestimasi bisa mencapai sekitar 38-39 juta ton yang berasal dari luas lahan sekitar 540 ribu ha. Dari situ, diperkirakan tanah air bisa memproduksi molases sekitar 1,95 juta ton; dengan asumsi 50kg molases per ton tebu. Yang jika diolah lagi bisa menghasilkan etanol sebanyak 487.500 kiloliter (kl) etanol.
“Pertamax yang kita gunakan sekarang itu, pemerintah menyediakan 5 juta kl Pertamax. Kalau E5, berarti 5%-nya harus etanol. 5% dari 5 juta kl (Pertamax) ya berarti 250 ribu kiloliter (etanol). Balik lagi ke atas, kalau (sekarang bisa memproduksi) 487.500 kl etanol, lalu dipakai 250 ribu kiloliter (untuk E5), masih ada lebih," jabarnya mencontohkan.
Adapun, dia mengusulkan, pasokan molases tebu yang kelebihan itu bisa dioptimalkan untuk bermacam produk bernilai tinggi lain di luar etanol. Misalnya untuk bahan pembentuk kosmetik, farmasi, alkohol, spiritus, pakan ternak, sampai ragi.
"Maka, ini seharusnya dapat menyerap produksi molases kita, (bahkan) kalau Pertamina diharuskan beli etanol produksi dalam negeri,” urainya.
Nyatanya, harga molases di lapangan hari ini masih anjlok di kisaran Rp500-800/kg. Ia berharap harga molases bisa naik minimal di Rp1.500/kg. Dia pun menegaskan agar pemerintah bisa benar-benar menyejahterakan dan memanjakan petani, sehingga bersemangat meningkatkan produktivitas tanpa perlu diperintah.
APTRI yang mendukung program ini, menyerukan, agar pejabat pemerintah tidak hanya mengumbar janji untuk menaikkan citra politik dengan mengatasnamakan E5 maupun E10 yang diperoleh dari etanol dalam negeri. Asosiasi mengingatkan, rakyat dan khususnya mereka yang ada dalam jejaring industri etanol ini, betul melihat apa yang dikerjakan penyelenggara negara.
“Kerja, buktikan 'Alhamdulillah kita sudah meningkat (produksinya), atau Insyaallah kita enggak impor', kan gitu aja. Jangan jadi blunder kalau mengeluarkan pernyataan-pernyataan, hanya untuk pencitraan... Pak Prabowo sudah saatnya mengevaluasi siapa yang senang pencitraan, siapa yang senang kerja,” pungkas Soemitro.