c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

EKONOMI

27 Juli 2021

21:00 WIB

Menanti Geliat ‘Kapal Induk’ Riset Indonesia

Persoalan administrasi hingga ego sektoral dinilai bisa jadi aral utama

Penulis: Rheza Alfian, Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi,

Editor: Fin Harini

Menanti Geliat ‘Kapal Induk’ Riset Indonesia
Menanti Geliat ‘Kapal Induk’ Riset Indonesia
Aktivitas di Balitbangtan, BPTP Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (8/4/2021). ANTARAFOTO/Adiwinata Solihin

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melebur Kementerian Riset dan Teknologi ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekaligus menjadikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga tersendiri.

Pendirian BRIN sebagai lembaga tersendiri bukan tanpa alasan. Jokowi ingin agar semua fungsi penelitian dan pengembangan (litbang) pada kementerian/lembaga berada dalam satu atap. Harapannya, agar anggaran dan pelaksanaan riset serta inovasi terpusat dan terkonsolidasi di dalam satu lembaga saja.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, saat pelantikan mengatakan, pihaknya akan melakukan konsolidasi sesegera mungkin untuk menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang lebih baik.  

BRIN ingin menjadi penggerak riset dan inovasi bagi kalangan di luar institusi ini, termasuk perguruan tinggi dan industri. Hal yang ingin diraih, berbagai riset ini mendukung perekonomian negara dalam jangka panjang.

Pada saat yang sama, BRIN ingin memberikan dampak ekonomi dari berbagai aktivitas riset dan inovasi itu yang tujuannya memicu investasi baru ke sektor iptek. Layaknya sebuah kapal induk, BRIN akan menaungi semua kegiatan riset negara.

“Kami tentu akan bekerja sangat erat dengan Kemendikbud Ristek dan Kementerian Investasi karena kami juga ditargetkan untuk mampu mendapatkan investasi terkait sektor iptek, khususnya yang berbasis biodiversitas dan sumber daya alam yang memiliki potensi yang selama ini belum tereksplor,” tuturnya dalam Konferensi Pers beberapa waktu lalu.

Kepada Validnews di Jakarta pada Selasa (27/7), Laksana mengatakan, riset bisa meningkatkan dampak ekonomi kalau BRIN mampu menjadi fasilitator.

“Jadi kita itu harus jadi enabler, jadi fasilitator. Tugasnya pemerintah kan memang jadi fasilitator ya. Jadi kalau terkait ekonomi, pelaku utama ya pasti pelaku usaha karena mereka yang menggerakkan, menciptakan nilai tambah ekonomi, dan seterusnya, pemerintah itu fasilitator,” katanya.

Dalam konteks riset, sambung ia, kehadiran pemerintah sebagai fasilitator melalui BRIN. Masalahnya, selama ini riset dan inovasi masih dilakukan masing-masing kementerian/lembaga secara mandiri, menurutnya hal tersebut yang membuat riset dan inovasi sulit berkemang.

Ia menambahkan, BRIN dapat memfasilitasi riset melalui inisiatif open platform yang nantinya semua infrastruktur riset boleh dipakai bersama-sama oleh para pelaku usaha dan yang lain-lain.

“Nah itu kan salah satu yang paling mudah dan riil untuk memudahkan, misalnya para pelaku usaha khususnya industri untuk masuk ke research and development (RnD) industri yang bisa memberi nilai tambah untuk produknya,” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dunia usaha dapat melakukan riset di open platform tersebut. Misalnya saja pengusaha yang ingin membuat obat herbal dari kencur yang dijadikan suplemen atau lainnya.

Menurutnya, untuk mencapai tersebut langkah tersebut dibutuhkan riset. Masalahnya, riset dan penelitian memerlukan biaya yang besar alias mahal, dan investasi yang mahal pula, sementara hasilnya pun belum jelas.

“Nah dengan kita membuka opsi open platform itu dia bisa memakai periset kami, bisa pakai infrastruktur kami. Jadi dia tidak perlu investasi. Itu yang paling mudah ya, yang langsung bisa dirasakan oleh semuanya,” jelas Laksana.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan BRIN sudah mempunyai blueprint bagaimana lembaga ini berkontribusi terhadap perekonomian dalam negeri. Ia bilang, BRIN mempunyai Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) hingga tahun 2045.

“Kami tetap speed dengan itu karena itu kan bagus ya. Jadi ya justru itu kan memberi guidence yang lebih jelas ya terkait stage-nya dan kita akan menuju ke mana,” sambungnya.

Berdasarkan RIRN yang diterima Validnews, target jumlah peneliti per 1 juta populasi sebanyak 8.600 pada 2045 yang saat ini masih 1.600 peneliti.

Sementara, pengeluaran anggaran pemerintah atau alokasi untuk penelitian dan pengembangan (GBOARD) ditargetkan sebesar 1,26% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2045 yang saat ini masih 0,21%. Sedangkan Pengeluaran domestik bruto untuk R&D ditargetkan 5,04% dari PDB, yang saat ini masih 0,84%.


Dorong Keterlibatan Swasta
Laksana menjelaskan, pembentukan BRIN juga untuk mendorong keterlibatan swasta dalam riset dan inovasi. Adapun targetnya jangka panjangnya, keterlibatan swasta mencapai 80%, sementara sisanya bagian dari pemerintah yakni 20%.

“Itu target ultimate-nya kan itu. Karena standar UNESCO dan negara lain kan seperti itu. Kita ini kan malah terbalik, pemerintah masih 80%,” katanya. Menurut Laksana, saat ini keterlibatan swasta masih rendah, untuk itulah BRIN dibentuk.

Ia melanjutkan, saat ini tidak bisa lagi dengan cara biasa jika ingin mempercepat peningkatan kontribusi riset dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang fundamentalnya berbasis riset.

Lebih lanjut, Laksana mengatakan banyak swasta dan industri yang sangat berharap. Ia bilang, hal itulah yang menjadi tantangan BRIN ke depannya.

“Karena sebenarnya yang kita rencanakan ini kan sebenarnya sudah kami lakukan di LIPI ya selama tiga tahun terakhir. Jadi sebetulnya sudah diujicobakan. Jadi bukan hal baru sih sebenarnya. Jadi ya memang waktu itu, saya waktu kepala LIPI, melakukan itu memang sebagai simulasi awal ya untuk setelah nanti di BRIN pada saat itu,” jelasnya.

Saat ini pun ia mengatakan sudah ada swasta dan industri yang melirik BRIN. Mereka, katanya, sudah banyak yang tahu bagaimana proses bisnis dan model bisnis yang BRIN kembangkan untuk kemitraan dengan industri.

“Jadi bagaimana itu tetap bisa proses model bisnisnya itu bisa saling menguntungkan. Karena kan itu penting supaya berkesinambungan,” ujarnya.

Cita-cita BRIN berkontribusi pada perekonomian negeri dinilai belum tentu mulus. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia melihat iklim investasi di sektor iptek akan tergantung banyak hal. 

Menurut Peneliti Senior CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet, sumbangsih BRIN untuk menarik investasi tentu juga bisa dilakukan dengan peningkatan dukungan pendanaan riset. Bagaimanapun juga dana untuk melakukan riset tidaklah murah. Proses balik modalnya juga tidak sebentar.

“Tentu semua ini akan terbentuk jika didukung dari sisi politik artinya pemerintah memberikan dukungan penuh untuk riset di Indonesia,” katanya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (27/7).

Lebih lanjut, Yusuf mewanti-wanti, riset dan inovasi tidak bisa terjadi secara instan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang saat ini berhasil menjadi negara dengan output riset yang sangat baik. Tentunya kemudian hasilnya diadaptasi oleh industri dan dijual ke seluruh dunia.

Namun, sebelum sampai ke tahap ini, sambungnya, Korea Selatan sudah mempersiapkan hal tersebut dari tahun 1960-an. Pemerintah dan swasta disebut saling bekerja sama untuk meningkatkan pendanaan riset. Hasilnya pun baru dirasakan 20 tahun setelahnya.

“Dan saat ini Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan persentase dana riset dan pengembangan terbesar di dunia. Jadi kalau belajar dari kisah Korea Selatan kolaborasi pemerintah dan swasta merupakan salah satu kunci dalam mendorong investasi baru di iptek,” jelas Yusuf.

Belum Optimal
Lembaga riset ini menilai, beberapa litbang di kementerian/lembaga (K/L) belum optimal. Ada faktor dana, pelibatan dan lainnya yang menyebabkan demikian. Proses koordinasi antara K/L di Indonesia pun belum berjalan lancar. Ini bisa jadi menjadi dasar pembentukan BRIN.

“Saya kira kedua masalah dasar inilah yang mendorong pemerintah untuk mendorong munculnya BRIN ini,” imbuhnya. 

Diakui, secara teoretis memang ada aturan terkait proses koordinasi antara K/L mengenai riset. Akan tetapi menurutnya, K/L harus memiliki sense of urgency mengenai pentingnya sebuah riset dalam proses pembangunan suatu negara.

Peran BRIN yang akan menjadi induk semua riset ditanggapi beberapa litbang kementerian/lembaga. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan penyatuan semua litbang ke dalam BRIN akan memberikan manfaat.

Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi mengatakan, kepada Validnews di Jakarta, Senin (26/7), kegiatan litbang akan semakin terkoordinasi dengan baik dari sisi penentuan prioritas maupun efisiensi anggaran. Hal ini membuat litbang menjadi fokus dan lebih terarah.

“Dengan demikian semua sumber daya litbang yang ada (SDM Peneliti, perekayasa, tenaga pendukung peneliti dan perekayasa, sarana prasarana litbang, dan anggaran) dapat dioptimalkan dan diefisiensikan untuk menghasilkan litbang berskala nasional dan global sehingga dapat mendorong daya saing perekonomian nasional, khususnya sektor industri,” ujarnya.

Ia menceritakan, Kemenperin punya divisi penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) yang kini berubah menjadi BSKJI. 

BPPI telah banyak menghasilkan litbangyasa yang dimanfaatkan oleh dunia industri. Bahkan, sudah banyak yang didaftarkan sebagai paten dan hak cipta. Kini, kegiatan badan itu dihentikan, menunggu koordinasi oleh BRIN.

“Sejak terbentuknya BRIN, maka sejak tahun 2021 semua kegiatan litbangyasa yang dilakukan oleh Kemenperin melalui BSKJI dan Balai Besar/BRSI/BPPSI sudah disetop dan sudah tidak ada lagi kegiatan litbangyasa,” ucap Doddy. .

Dari sisi fungsi, BSKJI/POPTIKJI, diyakini Doddy, akan berada di sisi demand untuk melakukan beberapa langkah strategis berupa perumusan kebutuhan teknologi industri. Yakni, jangka pendek yang bersifat problem solving dan jangka panjang untuk kebutuhan teknologi masa depan; dan penyampaian kebutuhan teknologi kepada BRIN. 

Misalnya, pemilihan teknologi dari hasil litbangyasa yang sudah ada. Atau, pelaksanaan litbangyasa yang baru jika belum tersedia, yang dikoordinasikan oleh BRIN.

“Juga penilaian kelayakan teknologi tersebut dengan menggunakan alat manufacturing readiness level (MRL) apakah teknologi tersebut layak dimanfaatkan oleh industri; serta meminta penjaminan risiko terhadap pemanfaatan teknologi tersebut kepada penyedia teknologi,” ujarnya.

Pada pos kementerian lain, yaitu Kementerian Pertanian (Kementan) meyakini, kebijakan pengindukan ke BRIN, membuat tata kelola penelitian akan lebih jelas karena ada lembaga yang mengaturnya. Nantinya, tidak akan ada lagi tumpang tindih riset di berbagai lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Penelitian yang sejenis akan dilakukan bersama (sinergi/kolaborasi).

Kehadiran BRIN juga diyakini akan melahirkan merek besar hasil invensi anak bangsa yang bisa menjadi trademark Indonesia seperti misalnya Korea dengan LG-nya. Hal ini karena invensi dan inovasi yang telah didukung oleh ekosistem yang baik.

“Tidak lagi ada ego sektoral dari setiap lembaga riset. Semuanya demi pencapaian tujuan kemajuan iptek,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjry Djufry kepada Validnews di Jakarta, Senin (27/7).

Kementan sendiri, Balitbangtan telah melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk semua komoditas pertanian dan elemen pendukungnya, seperti alat dan mesin, pascapanen, sumberdaya lahan, hingga rancangan kebijakannya. 

Ratusan varietas unggul baru dari semua komoditas, mulai tanaman pangan, perkebunan, hortikultura ataupun galur baru ternak telah dihasilkan. Sebagai contoh adalah komoditas padi. Hingga saat ini, Balitbangtan telah melepas 308 varietas unggul dari berbagai agroekosistem.

“Hasil invensi Balitbangtan terbagi menjadi dua jalur, yaitu public domain dan lisensi. Khusus yang melalui jalur lisensi adalah invensi yang menerapkan teknologi tinggi, sehingga perlu industri yang siap untuk memasarkannya. Seperti yang terakhir adalah produk eucalyptus yang dilisensi oleh sebuah perusahaan nasional,” katanya.

Prioritas litbang Kementan kini adalah menghasilkan produk yang dapat menjawab kebutuhan pertanian, di tengah isu-isu utama terbatasnya lahan pertanian subur, belum optimalnya pemanfaatan lahan marginal, dan perubahan iklim. 

Tantangan dari Internal
Meski demikian, berbagai badan riset kementerian ini juga meramalkan beberapa tantangan yang akan dihadapi BRIN. Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi menekankan masalah administrasi. 

Berdasarkan pengalamannya, penyatuan atau penggabungan satu ditjen/kementerian ke kementerian lain membutuhkan waktu untuk transisi paling cepat sekitar 6 hingga 12 bulan.

Masalah administrasi ini mencakup kepegawaian, seperti perpindahan SDM, gaji, tunjangan kinerja, pengukuran kinerja, juga pengalihan aset meliputi barang milik negara/BMN. 

Pada saat sama, soal relokasi anggaran karena berubahnya nomenklatur suatu lembaga dan penyesuaian mindset pegawai dengan budaya organisasi yang baru, bukan hal yang mudah dan cepat bisa dikonsolidasikan.

Sementara, Kepala Balitbangtan Kementan Fadjry Djufry menggarisbawahi persoalan besarnya organisasi yang berdasar dari penyatuan itu. 

Dia berharap besarnya organisasi tak berdampak pada kelambatan dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis 2 sampai dengan 3 tahun ke depan. Jika ini terjadi, pemanfaatan teknologi oleh sektor pasti tertunda.

Pembagian tugas, sambungnya, dapat dilakukan. BRIN fokus pada riset frontier dan lebih ke hulu, sedangkan pengembangan teknologi untuk sektor publik. 

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri juga menanggapi ini. Dia mengatakan, SDM yang berstatus tenaga fungsional peneliti otomatis akan bergabung juga ke dalam BRIN.  Format dan struktur serta fungsi menjadi pertanyaan buatnya. 

“Lalu, unitnya seperti apa? Ya unitnya juga sama, karena unit yang tugas fungsinya litbang harus di BRIN, gitu,” katanya kepada Validnews di Jakarta, Senin (26/7). 

Dari banyaknya pertanyaan di atas, memang belum lah ada jawaban pastinya.  Rencana BRIN yang ditargetkan per 1 Januari 2022 akan melakukan konsolidasi, akan menjadi jawabannya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER