30 September 2024
11:42 WIB
Menag Pastikan Kaji Ulang Produk Yang Tak Seharusnya Dapat Sertifikat Halal
Muncul keluhan masyarakat yang menemukan sejumlah nama produk yang tidak memenuhi unsur halal, tetapi muncul dalam aplikasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), seperti bir, rum, dan wine
Ilustrasi. Kuasa hukum Sumadi Atmadja saat melaporkan produk minuman anggur (wine) merek Nabidz ke Polda Metro Jaya, Rabu (23/8/2023). Antara/ Ilham Kausar
TOKYO - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas akan mengkaji kembali produk yang dinilai tidak layak mendapatkan sertifikasi halal, tetapi mendapatkan nomor sertifikasi halal. “Saya belum tahu, kalau begitu kita cek dulu ya, benar tidak seperti itu,” kata Menag Yaqut saat ditemui di Tokyo, Minggu (30/9).
Pernyataan itu menyusul seiring keluhan masyarakat yang menemukan sejumlah nama produk yang tidak memenuhi unsur halal, tetapi muncul dalam aplikasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), seperti bir, rum, dan wine.
Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, suatu produk bisa diberi label halal apabila tidak memenuhi unsur yang diharamkan baik dari segi kandungan maupun penamaan.
Pada saat berita ini dibuat, nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH. Menag juga mengimbau Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) yang sudah diakui oleh BPJPH untuk lebih menyeleksi produk-produk luar negeri yang akan disertifikasi halal. “Tugas LHLN yang menilai, kalau tidak halal ya tidak bisa,” kata Menag.
Menag menargetkan peningkatan 200% sertifikasi produk halal, terutama dari Jepang pada Oktober mendatang. Target itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Untuk diketahui, UU Ciptaker telah mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mengatur produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal dan berlaku mulai 17 Oktober 2024.
Saat ini terdapat 150 lembaga halal di luar negeri yang sudah mendapat pengakuan BPJPH Kemenag. Sejak dibentuk pada 2017 BPJPH Kemenag telah menerbitkan dua juta sertifikasi halal atau lima juta produk bersertifikat halal hingga saat ini.
50 Negara
Sebelumnya, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) RI Dzikro menyebutkan, hingga kini terdapat lebih dari 50 negara berminat untuk bekerja sama dengan Indonesia di bidang jaminan produk halal (JPH).
"Terbukti sejak regulasi jaminan produk halal pada UU No. 33 Tahun 2014, sampai saat ini terdapat lebih dari 50 negara yang berminat untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam hal jaminan produk halal," kata Dzikro.
Dia menjelaskan, beberapa negara tersebut di antaranya Singapura, Vietnam, Arab Saudi, Korea Selatan, Uruguay, dan lain sebagainya, yang juga semakin bertambah setelah diresmikannya Undang-Undang (UU) No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dzikro mengungkapkan, saat ini terdapat lebih dari 17 negara yang melakukan perjanjian kerja sama dengan Indonesia, dengan 28 lembaga agama luar negeri yang sedang dilakukan asesmen untuk menjalin kerja sama di bidang jaminan produk halal tersebut.
Dia menilai hal tersebut menunjukkan antusiasme yang tinggi dari para pelaku usaha dunia terhadap jaminan produk halal di Indonesia. Kondisi ini, menurut Dzikro, dipengaruhi dengan semakin meluasnya perkembangan gaya hidup halal lifestyle di seluruh dunia.
"Halal lifestyle tidak hanya berlaku untuk manusia yang beragama Islam, tapi juga untuk seluruh manusia lainnya, tanpa memandang agama, suku, bangsa, dan tinggal di mana seorang manusia," ujarnya.
Dzikro juga menyebutkan, aturan wajib halal yang tercantum pada UU No. 33 Tahun 2014 menjadi titik penting dalam perubahan situasi dan kondisi penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia. Menurutnya, jaminan produk halal pada saat ini sudah mengalami pergeseran makna, tidak lagi sebagai layanan keagamaan, namun meluas fungsinya sebagai nilai tambah suatu produk yang berpengaruh di bidang ekonomi.
"Secara logika, produsen perlu nilai tambah untuk konsumen tersebut. UU ini memiliki cita-cita mulianya yaitu memberi kemanan, kenyamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat," pungkasnya.