c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

17 Juni 2023

17:35 WIB

Mahalnya Biaya Akibat Rasa Manis

Laporan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2022 menyebut, Indonesia menjadi negara dengan penderita diabetes tipe 1 terbanyak di ASEAN

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Mahalnya Biaya Akibat Rasa Manis
Mahalnya Biaya Akibat Rasa Manis
Ilustrasi alat pengukur gula darah untuk penderita diabetes. Shutterstock/Maya Kruchankova

JAKARTA – Sejak 2016 lalu, tepatnya sejak divonis diabetes melitus tipe 2, Tri Nugroho terpaksa mengalokasikan anggaran lebih untuk belanja kesehatan. Setidaknya setiap bulan dia harus menyediakan dana berkisar Rp2 juta sejak usia menjejak di angka 38 tahun. 

Belakangan, ada biaya laboratorium untuk mengecek HbA1c atau hemoglobin A1C test yang harus dipikirkan sebagai suatu kewajiban. Ini dilakukan untuk mengetahui rata-rata jumlah sel darah merah yang berikatan dengan gula darah atau glukosa selama tiga bulan terakhir. Tes ini untuk memantau perkembangan kondisi tubuhnya. 

“Tiga bulan sekali itu ada tes HBA1c, itu kira-kira Rp220.000 sekali tes. Cuma HbA1c, belum kalau pas ngecek kolesterol sama asam urat yang sekali cek bisa di atas Rp500.000. Kemarin tes HbA1c tapi lagi tinggi, hampir 8. Padahal udah sempat 6,” kata pria yang keseharian berprofesi sebagai makelar mobil ini saat berbincang dengan Validnews, Jumat (16/6), di kediamannya di Solo, Jawa Tengah.

Padatnya aktivitas yang dilakoni membuat dia kesulitan mengalokasikan waktu untuk berolahraga. Makan pun tak pilah pilih. Apalagi ketika ada mobil yang ia buru atau ada pesanan yang harus diantar ke luar kota. Alhasil, kadar HbA1c memburuk. 

Asal tahu, dengan kadar Hba1c di kisaran 5,7-6,4%, seseorang sudah dinyatakan prediabetes. Lalu, di atas 6,4%, seseorang sudah resmi diabetes. Semakin tinggi angkanya, berarti semakin tak terkontrol kondisi diabetesnya. 

Selain laboratorium, masih ada biaya obat dan biaya kontrol dokter yang harus dia keluarkan di kisaran Rp900 ribu sampai Rp1,2 juga. Lalu, ada biaya pembelian strip alat pengukur gula di kisaran Rp130.000.

Lalu, masih ada belanja vitamin dan suplemen. Atas saran dokter, dia mengonsumsi suplemen magnesium untuk membantu mengontrol gula darah. Dia juga mengonsumsi ekstrak ikan gabus, yang membantu mengurangi peradangan dalam tubuh.

“Katanya, karena diabetes itu, badan jadi radang. Makanya makan kapsul ikan gabus. Sama satu lagi ada minyak ikan juga,” imbuhnya.

Dana itu dia penuhi dari kantong pribadi. Dia mengaku kurang sabar mengantre untuk memanfaatkan fasilitas BPJS. Sementara itu, untuk asuransi, dia mengaku “terlambat”. 

“Salah sih, bukannya dari dulu beli asuransi. Setelah terlanjur diabetes, ditolak sama asuransi jadinya,” katanya. 

Andalkan Asuransi
Berbeda dengan Tri, Eva (53) juga punya masalah kesehatan sama. Tetapi, dia mengandalkan asuransi untuk membiayai pengobatan sejak dinyatakan sebagai penyandang diabetes melitus tipe 1 pada usia 51 tahun. 

Ibu dari tiga anak ini telah mengalami berbagai kondisi akibat diabetes. Kepada Validnews, Jumat (16/6), dia menuturkan penyakit diabetes melitus mulai ketahui pada saat mengalami stroke sebelah kanan. Padahal, tidak ada gejala maupun keluhan sebelumnya. 

Riwayat diabetes di keluarga membuat Eva rentan terkena penyakit ini, meski sudah sudah mempraktikan gaya hidup yang cukup sehat. Selain menjalankan gaya hidup vegetarian, Eva juga membatasi asupan manis. Tidak seperti diabetes tipe 2, diabetes tipe 1 memang bukan disebabkan oleh gaya hidup yang kurang sehat melainkan ketidakmampuan pankreas menghasilkan insulin sehingga gula dalam darah tidak bisa masuk dalam sel.

Hasil CT Scan menunjukkan terdapat penyumbatan darah di otak. Diabetes memang menjadi faktor penyebab terjadinya stroke. Kadar gula yang tinggi bisa menyebabkan munculnya timbunan lemak, hingga menimbulkan penyumbatan. 

Berbarengan dengan stroke, terdapat luka selulitis yang muncul di lengan kanan Eva yang kemudian dioperasi. Lagi-lagi, kondisi diabetes membuat tubuh Eva susah pulih. Penyembuhan luka pascaoperasi perlu waktu lama untuk sembuh. 

Selang tiga bulan berlalu, stroke kembali kambuh untuk kedua kali hingga Eva menjadi pasien tirah baring. Kala itu, sempat ada juga beberapa luka dekubitus di punggung, tetapi dokter yang menangani tak berani melakukan tindak operasi. Takut-takut kejadian yang sama dengan saat operasi selulitis bakal terulang. 

"Sempat juga dokter ambil tindakan biopsi buat mastiin aja kalau di dalam tubuh ada hal lain yang membahayakan atau enggak, tapi untungnya aman," kata Eva dengan napas lega. 

Diabetes tipe 1 yang diderita Eva membuat kadar gula darahnya naik turun secara tiba-tiba. Oleh karena itu, sampai saat ini, dia harus sering melakukan cek gula dan tidak setiap hari disuntik insulin. 

Bagi Eva menyandang diabetes melitus sangatlah tidak mudah. Dia sempat kesulitan untuk mendapatkan dokter diabetes yang cocok untuk dirinya. Berulang kali berganti dokter dan rumah sakit. Dari rumah sakit di Bandung, Bogor, hingga akhirnya menemukan yang cocok di sebuah rumah sakit di kawasan Depok. 

Di luar keharusan mencari pola hidup yang lebih sehat untuk menjaga diabetes tak semakin parah, pengobatan diabetes tidaklah mengeluarkan biaya yang sedikit. Dari pemeriksaan dan tes laboratorium untuk membantu dalam mendiagnosis diabetes, seperti tes gula darah. Kemudian, berkonsultasi dengan dokter umum ataupun dokter spesialis. 

Belum lagi, biaya obat-obatan yang diperlukan untuk pengobatan diabetes seperti obat penurun gula darah (antidiabetik) dan insulin. Ditambah perawatan rawat inap jika diperlukan. Semuanya tentu tidak murah.

Biaya pengobatan diabetes bisa merogoh kocek jutaan hingga puluhan juta rupiah. Tentu bisa tekor jika tidak menggunakan asuransi dan hanya mengandalkan dana pribadi. 

Untungnya, biaya pengobatan diabetes Eva, mulai dari pemeriksaan, konsultasi dokter, obat-obatan, hingga rawat inap semua ditanggung oleh asuransi dari tempat suaminya bekerja, yakni asuransi PLN, AdMedika dan PLN Sehat. Namun untuk beberapa bulan ke belakang, Eva memilih untuk menggunakan dana pribadi karena enggan pergi ke rumah sakit. 

"Beli insulin sekarang pakai dana pribadi. Satu pen kisaran Rp200-Rp300 ribu, habisnya sekitaran 2-3 bulan. Kalau biaya lain-lain kayak alat cek gula darah sekitaran Rp80 ribu buat 1-2 bulan. Obat yang dikonsumsi sekarang lebih ke obat-obatan herbal kayak kapsul gabus kisaran Rp100 ribu buat 1-2 bulan dan popok dewasa sebulan kurang lebih Rp300 ribu," papar Eva. 

Namun, tak semua asuransi mengcover penyakit diabetes. Salah satu asuransi swasta yang memiliki program untuk diabetes adalah AXA Mandiri. 

"Kita ada produk kesehatan yang juga mengcover diabetes. Namun tentunya, ada persyaratan masuk dan ketentuan untuk kondisi pre-existing (penyakit yang sudah ada sebelumnya)," ujar Presiden Direktur AXA Mandiri Financial Services Handojo G Kusuma kepada Validnews melalui pesan singkat, Sabtu (17/6). 

Lebih lanjut, dia menguraikan, produk yang dapat mengcover diabetes adalah Mandiri Elite Plan Protection dengan rider atau asuransi tambahan dengan nama Mandiri Criticare. 

Hanya saja, untuk diabetes dan juga penyakit kritis lainnya, akan dikenakan full medical check up (MCU) dan dianalisa oleh underwriter. Sementara untuk premi, disesuaikan dengan usia masuk peserta dan juga hasil MCU serta analisa underwriter.

Kasus Meningkat
Ada kisah lain, diungkap Rudi Santoni (54). Pria yang mulai divonis diabetes saat usia 49 tahun ini menikmati fasilitas penuh BPJS.  

Rudi yang menjadi pecinta kopi manis, terbiasa menghabiskan hingga lima gelas atau setara dengan 1-1,5 liter dengan gula yang cukup banyak saat masih muda. Ditambah kebiasaannya begadang, membuahnya vonis diabetes pada 2018. 

"Pas di tes gula darah sama darah ternyata di atas rata-rata normal, jadi ditunggu hasil tes, pokoknya ngikutin prosedur dari dokter. Setelah itu, baru ketauan hasilnya kalau positif diabetes tapi kering," kenang pria yang menetap di Tebing Tinggi, Palembang itu, saat dihubungi Validnews, Selasa (13/6). 

Kini, badannya yang semula gempal telah susut sebanyak 30 kg. Dari awalnya 80 kg, berat badannya turun menjadi 50 kg. Rudi juga mengaku mudah lelah dan sering sakit-sakitan. 

"Sekarang sakit asam urat juga, sakit-sakit badan. Salah satu yang bikin orang asam urat itu karena terlalu sering minum obat," timpalnya. 

BPJS Kesehatan, sebutnya, menjadi andalan untuk membiayai pengobatannya. Mulai dari pemeriksaan, konsultasi dokter, hingga obat-obatan semua ditanggung BPJS Kesehatan. 

Dia hanya perlu membayar iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp35.000 per bulan untuk kelas 3, dari semula Rp42.000. Iuran ini sendiri telah mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000. 

Di Indonesia, diabetes baik diabetes melitus tipe 1 atau diabetes tipe A dan diabetes melitus tipe 2 yang disebut juga adult-onset alias diabetes yang tidak bergantung pada insulin, menjadi salah satu penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan. Hal itu tertuang di aturan Permenkes Nomor 28 tahun 2008, di mana ada 144 penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan. 

Asisten Deputi Bidang Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan Agustian Fardianto mengungkapkan bahwa dari tahun ke tahun, kasus maupun biaya diabetes melitus cenderung bergerak meningkat.  

Sebagai gambaran jumlah penderita, Laporan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2022, Indonesia menjadi negara dengan penderita diabetes tipe 1 terbanyak di ASEAN, serta peringkat ke-34 dari 204 negara di skala global dengan jumlah penderita diabetes tipe 1 di Indonesia mencapai 41.817 orang. Ini baru diabetes tipe 1, belum menghitung tipe 2. 

Adapun, mayoritas penderita diabetes tipe 1 di Indonesia berusia antara 20-59 tahun, namun penderita yang usianya muda atau di bawah 20 tahun juga cukup banyak. 

Kemudian baru disusul dengan negara Filipina sebanyak 16.443 orang, Vietnam 14.780 orang, Thailand 11.408 orang. Lalu, diikuti Malaysia 7.082 orang, Myanmar 6.984 orang, Singapura 6.187 orang. 

Selanjutnya, ada Kamboja 2.267 orang, Laos 1.038 orang, Timor Leste 199 orang, dan terakhir adalah Brunei Darussalam 98 orang. 

Seiring peningkatan kasus, anggaran BPJS untuk diabetes pun kian membesar. Pada tahun 2018, misalnya, BPJS Kesehatan menggelontorkan sekitar Rp1,34 triliun untuk membayar biaya pelayanan kesehatan 6.379.643 kasus diabetes melitus rawat jalan tingkat lanjutan. 

Sementara, di rawat inap tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp5,24 triliun untuk membiayai 817.730 kasus diabetes melitus. 

Kemudian pada tahun berikutnya, 2019, kasus dan biaya meningkat. BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp1,50 triliun untuk membayar biaya pelayanan kesehatan 7.188.720 kasus diabetes melitus rawat jalan tingkat lanjutan. Sementara, di rawat inap tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp5,68 triliun untuk membiayai 886.045 kasus diabetes melitus. 

Pada 2020, di saat pandemi covid-19 menerpa Tanah Air, kasus dan biaya diabetes melandai. Tercatat, BPJS Kesehatan membayar sekitar Rp1,25 triliun untuk membayar biaya pelayanan kesehatan 5.977.262 kasus diabetes melitus rawat jalan tingkat lanjutan. Sementara, di rawat inap tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp4,37 triliun untuk membiayai 686.798 kasus diabetes melitus. 

Lalu pada tahun 2021, BPJS Kesehatan merogoh kocek sekitar Rp1,38 triliun untuk membayar biaya pelayanan kesehatan 6.524.585 kasus diabetes melitus rawat jalan tingkat lanjutan. Sementara, di rawat inap tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp4,37 triliun untuk membiayai 633.975 kasus diabetes melitus. 

Teranyar, pada tahun 2022, kasus maupun biaya diabetes melitus tercatat meningkat tajam. BPJS Kesehatan menggelontorkan sekitar Rp1,7 triliun untuk membayar biaya pelayanan kesehatan 8.058.188 kasus diabetes melitus rawat jalan tingkat lanjutan. Sementara, di rawat inap tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp6,5 triliun untuk membiayai 966.474 kasus diabetes melitus. 

"Pada tahun 2020-2021, terlihat kasus diabetes tersebut mengalami penurunan, namun hal ini terjadi salah satunya karena pada saat pandemi orang-orang cenderung menghindari kunjungan ke fasilitas kesehatan," ujar pria yang akrab disapa Ardi itu kepada Validnews, Rabu (14/6) malam. 

Menurut Ardi, ada syarat agar biaya pengobatan diabetes bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Pertama, pastikan sudah terdaftar sebagai peserta Program JKN dan status kepesertaannya aktif. 

"Untuk mengetahui status kepesertaan JKN aktif atau tidak, bisa dengan menghubungi BPJS Kesehatan Care Center 165 atau melalui Chat Assistant JKN (CHIKA) di nomor 08118750400," jelasnya. 

Kedua, mereka juga harus mengikuti prosedur yang berlaku, yaitu mengunjungi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terlebih dulu untuk diperiksa dokter dan dirujuk ke rumah sakit jika diperlukan penanganan lebih lanjut. 

Untuk mengakses layanan di fasilitas kesehatan, peserta JKN kini cukup memperlihatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP saja, tidak perlu membawa kartu JKN fisik maupun berkas-berkas fotokopian apapun. 

Ardi menegaskan, selama peserta JKN sudah mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku, serta tindakan medis yang diberikan fasilitas kesehatan sesuai dengan indikasi medis, maka biaya pelayanan kesehatannya dijamin BPJS Kesehatan. 

Adapun, penjaminan untuk penyakit diabetes melitus meliputi pembayaran jaminan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan khususnya di rumah sakit adalah paket pembayaran CBG's dan luar paket CBG's. 

Paket pembayaran CBG's adalah total biaya layanan kesehatan peserta di rumah sakit, baik layanan rawat jalan maupuan rawat inap untuk per episode pelayanan sesuai kondisi atau kebutuhan medis peserta. 

Untuk pelayanan pemeriksaan gula darah, peserta JKN tetap dapat diberikan layanan pemeriksaan tersebut oleh rumah sakit dengan penjaminan oleh BPJS Kesehatan sudah termasuk dalam paket CBG's yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Mengingat paket pembayaran CBG's adalah termasuk layanan pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis di rumah sakit. 

Terkait layanan obat, khususnya insulin, sambung dia, merupakan layanan obat luar paket yang bisa ditagihkan tersendiri oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) kepada BPJS Kesehatan sesuai kondisi medis peserta. Jarum insulin sudah termasuk dalam paket sediaan Insulin yang dibayarkan klaim oleh BPJS Kesehatan. 

"Dalam hal peserta memerlukan tambahan jarum insulin, maka RS dapat memberikan tambahan jarum insulin tersebut kepada peserta yang penjaminannya termasuk lingkup tarif pembayaran CBG's untuk biaya layanan rawat jalannya," terang Ardi. 

Pencegahan Diabetes
Tak ingin biaya untuk merawat penderita diabetes terus membengkak, BPJS Kesehatan membagikan cara mencegah penyakit diabetes. Dimulai dari masyarakat itu sendiri, dengan mengontrol asupan gula harian, termasuk membatasi minuman berpemanis dalam kemasan. Selain mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dan rendah gula, juga jangan lupa berolahraga rutin dan istirahat cukup. 

BPJS Kesehatan sendiri telah mengembangkan upaya pengelolaan penyakit diabetes melitus melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Dalam program ini, peserta JKN dibimbing untuk mengubah perilaku gaya hidupnya agar menjadi lebih sehat. 

Terkait pencegahan, Nanda Fauziy selaku Program Koordinator Aliansi PTM Indonesia mengatakan kepada Validnews, Senin (12/6) bahwa diabetes adalah penyakit yang akan menjadi beban seumur hidup bagi para pasien dan juga bagi keuangan negara.  

Karena itu, International Diabetes Federation (IDF) juga merekomendasikan beberapa poin penting yang harus dijadikan prioritas dalam tata kelola penyakit diabetes di Indonesia. 

Pertama, diperlukan program untuk deteksi dini penyakit Diabetes Tipe 2 yang kuat. Diperkirakan sebanyak 50% dari kasus Diabetes Tipe 2 pada dewasa secara global merupakan kasus yang tidak terdiagnosa dengan baik.  

Namun, proporsi kasus Diabetes Tipe 2 yang tidak terdiagnosa di Indonesia mencapai 73%. Hal ini menandakan bahwa proses skirining awal dari penderita diabetes masih jauh dari harapan. 

Padahal, proses diagnosa awal menjadi sangat penting agar intervensi pengendalian gula darah dapat dilakukan sedini mungkin, sehingga komplikasi lanjut dari penyakit diabetes dapat dicegah. 

Kedua, diperlukan akses yang terbuka, mudah, dan murah untuk kebutuhan fundamental bagi penderita diabetes. Akses terhadap alat dan pengobatan yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan monitoring terhadap kadar gula darah merupakan hal fundamental yang harus dipenuhi agar kondisi penyakit tidak semakin memburuk. 

"Kedua hal yang disebutkan di atas merupakan tata kelola yang bersifat kuratif/kontrol terhadap pasien yang sudah memiliki penyakit diabetes. Namun, hal mendesak yang paling penting untuk dilakukan adalah program preventif yang harus dilakukan agar tren penyakit diabetes tidak semakin terpuruk," papar Nanda. 

Cukai Minuman Berpemanis
Tak sampai di situ, Nanda juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang ramah terhadap lingkungan “manis”. Berbagai industri makanan dan minuman yang tidak sehat tumbuh dan berkembang sangat pesat di Indonesia. 

Dampaknya, Indonesia menempati posisi ketiga dalam konsumsi minuman berpemanis di wilayah Asia Tenggara, yakni sebanyak 20,23 liter per orang. 

Di sisi lain, Nanda menilai belum ada program pencegahan berarti yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan kontrol terhadap tingkat konsumsinya. Program yang dicanangkan masih bersifat edukasi atau promosi hidup sehat, dan selama bertahun-tahun program ini terbukti tidak cukup mengendalikan tren penyakit. 

"Penerapan kebijakan harus dilakukan terhadap pengendalian permintaan dan menciptakan lingkungan kondusif yang selama ini belum diterapkan. Diperlukan tekad dan keseriusan untuk melakukan kebijakan yang bersifat prefentif, diantaranya dengan penerapan cukai, pemberlakuan peringatan/food labelling, dan pembatasan promosi, iklan dan sponsor pada produk-produk makanan/minuman tinggi gula," tegas dia. 

Nanda menambahkan, pengendalian penyakit tidak dapat dilakukan oleh otoritas Kementerian Kesehatan saja. Pada penerapan kebijakan preventif yang disebutkan, dibutuhkan campur tangan Kementerian lain seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian PPN/Bappenas, BPJS, dan otoritas terkait lainnya. 

Menurut Nanda, pola pikir yang harus dibangun adalah bagaimana agar tren yang ada dapat direm. Dengan begitu, anggaran untuk pengobatan dan kontrol terhadap penyakit diabetes tidak semakin membengkak. 

"Jika hanya bicara anggaran, seberapa pun besar anggaran tidak akan cukup. Yang lebih penting adalah memikirkan bagaimana supaya masyarakat jangan sampai jatuh sakit, dan apabila sudah terlanjur sakit, jangan sampai sakit yang dialami menjadi semakin parah atau sampai komplikasi," katanya. 

Untuk mencapai tujuan ini, sambung dia, diperlukan komitmen yang serius dari pemerintah sehingga masyarakat tidak perlu merasakan beban dari penyakit yang sebenarnya sangat bisa dicegah.  

Selain itu, Nanda berpendapat bahwa masyarakat perlu payung hukum yang kuat untuk melindungi hak mereka mendapatkan hak sehat dan derajat kesehatan setinggi-tingginya.   

"Pengendalian konsumsi makanan/minuman manis dan tinggi gula adalah kebijakan yang kurang seksi dan banyak jalan terjalnya bagi pemerintah. Karena kebijakan ini akan mengatur industri yang selama ini sangat bebas untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari konsumen kita, termasuk anak-anak," ujar Nanda. 

Dia mencontohkan, anak-anak sudah sejak dini diperkenalkan pada berbagai macam produk yang tidak sehat dan bahkan disuguhkan dalam berbagai kesempatan seperti pada acara ulang tahun.   

Pemerintah, lanjut Nanda, juga harus berani melakukan pelarangan promosi, iklan, dan sponsor produk-produk tinggi gula yang menyasar anak-anak.  

Senada, BPJS Kesehatan juga menyarankan agar pemerintah dapat lebih bersifat tegas. Menurut Ardi, perlu digalakkan edukasi kepada masyarakat mengenai penyebab diabetes melitus, apa saja dampaknya terhadap tubuh, dan bagaimana cara mencegahnya. 

Selain itu, juga perlu didukung dengan regulasi percepatan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. 

Menghambat Indonesia Maju 2045
Jika tren kasus diabetes tidak ditangani dengan serius, Nanda menilai target Indonesia Maju 2045 bisa menjadi ancaman. Pasalnya, beban tingkat kematian, kesakitan, dan biaya yang harus ditanggung bagi pembiayaan penyakit diabetes dapat menghambat pencapaian program-program pembangunan SDM lain yang dibutuhkan untuk mencapai Indonesia Maju 2024.  

Kualitas SDM yang sejatinya pada tahun itu menjadi potensi untuk bekerja secara produktif dan meningkatkan roda ekonomi Indonesia, akan dipertaruhkan.  

Dia menuturkan, pengendalian tingginya beban biaya kesehatan bagi penyakit-penyakit katastropik seperti diabetes harus dilakukan secara komprehensif. Harus dilakukan pada paradigma pencegahan, sehingga yang dicegah adalah tren peningkatan penyakitnya, bukan hanya mengobati.  

Karena selain biaya, kata Nanda, ada nyawa masyarakat dan anak-anak yang dipertaruhkan di sana. 

Seorang penderita diabetes tidak hanya menanggung tingginya beban biaya untuk pengobatannya, tetapi dia juga harus kehilangan waktu untuk menjadi produktif, bahkan akan berdampak juga bagi keluarga di sekitarnya.  

"Jika dari kebijakan-kebijakan untuk mendukung pencegahan itu dapat memberikan keuntungan terhadap anggaran kesehatan, hal ini merupakan bonus yang bisa dimanfaatkan bagi program-program prioritas lain yang dimiliki pemerintah," tutupnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar