27 September 2023
16:20 WIB
Penulis: Al Farizi Ahmad
JAKARTA - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menargetkan proyek kereta ringan atau light rail transit (LRT) di Pulau Bali, dapat dilakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunannya pada awal 2024. Percepatan ini sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi terkait studi pembangunan LRT yang perlu diperpanjang.
"Kita harap groundbreaking early next year, awal tahun depan, kita bisa groundbreaking karena itu studinya sudah lama dilakukan, tapi karena terbentur covid-19, tadi kita hidupkan lagi," kata Luhut setelah rapat terbatas Integrasi Transportasi Publik di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/9).
Luhut menuturkan, presiden juga memutuskan agar dilakukan studi lanjutan untuk LRT di Bali yakni dari Lapangan terbang sampai Seminyak atau sampai Canggu 20 Km.
Luhut mengatakan jika LRT di Bandara Ngurah Rai Bali tidak dibangun, akan terjadi penumpukan (stuck) penumpang mengingat pada 2026, bandara tersebut diproyeksikan akan melayani sekitar 24 juta penumpang per tahun.
“Nanti kita sedang pertimbangkan memasukkan harga tiket US$1-US$2, setiap penumpang pakai tidak pakai sehingga dengan pembiayaan publik juga akan bisa jalan," tuturnya.
Bawah Tanah
Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) sebelumnya mengungkapkan, moda lintas raya terpadu (LRT) di Bali akan dibangun di bawah tanah. Menurut Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Ervan Maksum, jalur bawah tanah dipilih karena ada banyak aturan pembangunan di Pulau Dewata. Misalnya, di Bali bangunan tidak boleh dibangun lebih tinggi dari pohon kelapa.
"Tidak boleh ke atas. Dan kalau mau pelebaran jalan, di sana banyak Pura. Bagaimana? Harus ke bawah (underground) satu-satunya cara," ucap Ervan dalam Seminar Nasional Strategi Green Financing Sektor Transportasi untuk Daya Saing Perkeretaapian Berkeadilan yang dipantau secara daring, Rabu (20/9).
Dia pun mengungkapkan untuk tahap awal proyek ini akan dibangun sepanjang 5,3 kilometer (km). Lintasan sepanjang itu akan menghubungkan Beranda I Gusti Ngurah Rai dengan Extended Terminal dan area parkir di Kuta Central Park.

| Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Mensesneg Pratikno (kiri) memimpin rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/9/2023). Ratas itu membahas integrasi moda transportasi publik. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay |
Namun, karena berada di bawah tanah, Ervan menyebut biaya pembangunan LRT biayanya bisa tiga kali lipat dari pembangunan normal. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan yakni mencapai US$596,28 juta atau setara Rp9,17 triliun (asumsi kurs Rp15.388 per dolar AS).
Untuk pembiayaan, ia menyebut, pemerintah daerah harus membuat Special Purpose Vehicle (SPV) antara PT Angkasa Pura I dan BUMD sebagai implementing agency. Pembiayaan juga bisa didapat dari pinjaman lunak kepada pemerintah daerah.
Selain itu, dia juga mengatakan rencana pemerintah untuk membuat regulasi passanger service charge (PSC) penumpang pesawat untuk pembiayaan LRT.
"Kita punya potensi besar namanya tourism, sehari datangnya 58 ribu orang, saya diskusi dengan Menhub bagaimana kalau kita aplikasikan PSC pak?" kata Ervan.
Tak hanya itu, pemerintah juga bakal menerapkan Transit Oriented Development (TOD) (sewa, parkir, dan iklan) dari bandara. Menurutnya, pendapatan dari PSC dan TOD itu bisa untuk pengembalian pinjaman.
Belajar Dari Jakarta
Soal pembiayaan dan perhitungan lainnya, Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali sendiri mengaku belajar dari DKI Jakarta sebagai percontohan. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali IGW Samsi Gunarta mengakui, Bali tidak memiliki pengalaman dalam memprediksi biaya yang dibutuhkan dalam proyek tersebut, sehingga Pemprov Bali melakukan kerja sama dengan MRT Jakarta agar dapat menghitung dengan baik.
“Yang punya pengalaman itu DKI Jakarta dan kita tidak punya pengalaman sama sekali, karena itu tidak ada salahnya berbagi pengalaman supaya kita bisa melakukan penghitungan, analisis teknis, keuangan, maupun bisnisnya,” kata Samsi.
Sejauh ini, berdasarkan hasil perhitungan yang Pemprov Bali lakukan bersama investor mengenai kondisi tanah dan kesulitan di Pulau Dewata, ditemukan angka sekitar Rp10 triliun untuk mewujudkan LRT. Biaya tersebut untuk membangun LRT dengan jalur sepanjang 9,4 km dari Bandara I Gusti Ngurah Rai menuju Sentral Parkir Kuta, dan Seminyak.
Akan tetapi, menurut Samsi, biaya ini belum kembali dikoreksi. Dilihat teknis secara detil dan ditentukan model bisnis apa yang paling tepat untuk diterapkan.
Selain DKI Jakarta yang membagikan pengalamannya kepada Bali, lanjutnya, Korea Selatan juga menawarkan bantuan yaitu berupa pembiayaan yang saat ini sedang dihitung detilnya.
Pembangunan LRT sendiri, dinilai menjadi yang paling tepat jika melihat permintaannya ke depan. Apalagi jalanan di Bali tidak lagi dapat dibangun lantaran terlalu sempit.
“Kemudian sulit membangun infrastruktur lewat atas atau menggunakan fly over terlalu panjang, penerimaannya di masyarakat masih belum. Nah, LRT ini pilihan yang kira-kira akan bisa menyelesaikan masalah dari sekian banyak pilihan yang ada,” tutur Kepala Dishub Bali itu.
Pemerintah daerah juga melihat lalu lintas di Bali kian padat, terutama saat musim liburan, bahkan wisatawan kerap memilih menyewa kendaraan karena keterbatasan transportasi publik.
Hingga saat ini Dishub mencatat ada 4,4 juta kendaraan roda dua dan roda empat yang terdaftar di Bali, di mana jumlah ini meningkat dari sekitar 2,6 juta unit saat masa pandemi covid-19.