c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

21 Februari 2024

11:15 WIB

LPEM FEB UI: Ekonomi Stabil, BI Bisa Tahan BI Rate 6%

LPEM FEB-UI menyebutkan BI dapat mempertahankan suku bunga BI-Rate di level 6% untuk Februari 2024.

Penulis: Khairul Kahfi

LPEM FEB UI: Ekonomi Stabil, BI Bisa Tahan BI Rate 6%
LPEM FEB UI: Ekonomi Stabil, BI Bisa Tahan BI Rate 6%
Logo Bank Indonesia. Shutterstock/dok

JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB-UI menyebutkan bahwa BI dapat mempertahankan suku bunga BI-Rate di level 6% untuk Februari 2024. Hal ini diperkuat dengan melihat dari dinamika terkini, ketahanan perekonomian domestik dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed yang lebih rendah dalam waktu dekat.

“Kami memandang, BI perlu mempertahankan BI Rate pada level 6,00% pada rapat dewan gubernur BI bulan ini,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam keterangan pers, Jakarta, Selasa (20/2).

Dari sisi internal domestik, sejalan dengan ekspektasi pasar, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,04% (yoy) pada kuartal terakhir 2023, sehingga perekonomian secara keseluruhan tumbuh sebesar 5,05% (yoy) pada 2023. Pertumbuhan PDB pada 2023 lebih rendah ketimbang pertumbuhan 5,31% (yoy) pada 2022, karena masih menikmati sedikit efek low-base pada 2022. 

“Namun, mengingat perlambatan ekonomi Tiongkok, meningkatnya ketegangan geopolitik, penurunan harga komoditas, dan pengetatan moneter global, tingkat pertumbuhan pada 2023 merupakan sebuah pencapaian bagi Indonesia,” ujarnya.

Kemudian, dia memaparkan, inflasi umum tahunan turun tipis dari 2,61% (yoy) menjadi 2,57% (yoy) pada Januari 2024. Tingkat inflasi bulan ini merupakan inflasi umum tahunan terendah dalam tiga bulan terakhir, dan mendekati titik tengah target inflasi baru 1,5-3,5% pada 2024.

Pelambatan inflasi bulan tersebut terjadi seiring meredanya efek musiman libur Natal dan Tahun Baru. Didorong oleh penurunan kenaikan harga pada kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau yang sebesar 5,87% (yoy), serta kelompok pengeluaran transportasi  di level 1,11% (yoy). 

Meski berkurang, fenomena cuaca El-Nino masih berdampak pada harga beras. Rata-rata harga eceran beras di pasar tradisional meningkat sebesar 15,82% (yoy) pada Januari 2024, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 16,64% (yoy). 

“Kenaikan harga beras berkontribusi sebesar 0,57 poin persentase terhadap inflasi bulan ini. Untuk mengelola dampak kenaikan harga beras, distribusi beras bantuan sosial seberat 10 kg telah diperpanjang oleh pemerintah Indonesia hingga Juni 2024,” paparnya.

Dalam beberapa bulan mendatang, tekanan inflasi akan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran akibat adanya beberapa libur panjang pada Februari 2024 dan harga pangan menjelang momen Ramadan akibat naiknya permintaan masyarakat. 

Selain pangan, kenaikan permintaan diperkirakan akan terjadi pada kelompok pengeluaran untuk pakaian dan mobilitas masyarakat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. 

“Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Daerah (TPID) akan lebih krusial dalam mengendalikan inflasi, terutama tekanan dari komoditas pangan. Mengingat komoditas pangan saat ini memiliki porsi yang lebih besar dari total konsumsi di Survei Biaya Hidup (SBH) 2022,” jelasnya.

Lalu, pada Januari juga, Indonesia tercatat, membukukan neraca perdagangan positif sebesar US$2,01 miliar, meski lebih rendah dibandingkan US$3,29 miliar di bulan sebelumnya. Capaian ini  juga menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. 

Ekspor Januari 2024 mengalami penurunan sebesar 8,06% (yoy) menjadi US$20,52 miliar, atau mengalami kontraksi yang lebih besar dibandingkan penurunan sebesar 5,76% (yoy) pada Desember 2023. 

“Penurunan ekspor disebabkan oleh melemahnya permintaan global dan turunnya harga komoditas global, sehingga berdampak pada penurunan ekspor migas dan nonmigas,” trerangnya.

Di sisi lain, impor sedikit meningkat sebesar 0,36% (yoy) menjadi US$18,51 miliar pada Januari 2024, ditopang kenaikan impor nonmigas sebesar 1,76% (yoy) sedangkan impor migas turun 7,15% (yoy). 

Sebagai tambahan, Teuku menilai, penurunan impor berpeluang terkait dengan bagaimana dunia usaha menghentikan pengeluaran sambil menunggu pemilu selesai. Secara keseluruhan, meski berada pada teritori positif sejak Mei 2020, neraca perdagangan berada dalam tren menurun selama 22 bulan berturut-turut atau sejak April 2022. 

“Mempertahankan surplus perdagangan pada tahun 2024 akan menjadi tantangan di tengah melemahnya permintaan global, ketidakpastian penurunan suku bunga global, dan pasca pemilu,” bebernya.

Eksternal
Dari sisi eksternal, laju inflasi tahunan AS turun menjadi 3,1% (yoy) pada Januari 2024, atau menjinak dari 3,4% (yoy) pada Desember 2023. Mengingat inflasi masih di atas target 2%, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakannya pada kisaran 5,25-5,50% pada pertemuan FOMC Januari 2024. 

“(Dengan begitu), The Fed telah mempertahankan suku bunga kebijakannya tidak berubah selama empat bulan berturut-turut,” sebutnya. 

Harga hunian yang berkontribusi terhadap sepertiga bobot CPI naik melambat dari 6,2% menjadi  6% (yoy) pada Januari 2024. Hal yang sama juga terjadi pada harga pangan yang naik melambat sebesar 2,6% (yoy). 

Di sisi pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran di AS dilaporkan sebesar 3,7% pada Januari 2024. Tingkat yang sama selama tiga bulan berturut-turut setelah penambahan 353.000 pekerjaan pada Januari 2024.

Selain itu, rata-rata upah riil per jam naik sebesar 1,4% (yoy) antara Januari 2023 dan Januari 2024. Meskipun inflasi secara bertahap menurun, terdapat harapan akan terjadinya soft landing pada perekonomian, karena pasar tenaga kerja yang terus kuat membuat perekonomian tetap bertahan. 

Selama konferensi persnya, Ketua the Fed Jerome Powell mengindikasikan, penurunan suku bunga pada Maret 2024 tidak mungkin terjadi. Kecuali, ada jaminan keberlanjutan menuju target inflasi 2%. 

Bank sentral utama lainnya, seperti Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England, juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakannya masing-masing sebesar 4,5% dan 5,25%. “Meningkatnya inflasi di kedua wilayah dalam beberapa bulan terakhir adalah penyebab utama tertundanya penurunan suku bunga,” tambahnya. 

Sementara ini, Indonesia masih mencatatkan aliran modal masuk. Meski dihadapkan pada ketidakpastian Pemilu yang membayangi pasar RI, begitu pula keputusan The Fed yang menahan suku bunga acuannya serta mengisyaratkan tidak terburu-buru menurunkan suku bunga.

Aliran modal masuk dalam jumlah kecil ke obligasi dan pasar saham tercatat sebesar US$150 juta, didorong oleh arus masuk saham sebesar US$770 juta. Sementara terdapat arus keluar obligasi sebesar US$230 juta, antara pertengahan Januari 2024 hingga pertengahan Februari 2024. 

Dengan mayoritas hasil hitung cepat memproyeksikan satu putaran pemilu presiden, ketidakpastian berkurang dan memicu aliran modal masuk ke pasar saham. 

“Lebih lanjut, arus modal keluar dari pasar obligasi domestik telah mendorong naik imbal hasil Surat Utang Pemerintah Indonesia tenor 10-tahun dari 6,66% pada pertengahan Januari 2024 menjadi 6,70% pada pertengahan Februari 2024,” bebernya. 

Terjadinya arus modal keluar ini kemungkinan dipengaruhi bergesernya konsensus pasar akan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed. 

“Di sisi lain, penurunan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 1 tahun dari 6,30% menjadi 6,21% di periode yang sama, didorong oleh akumulasi kepemilikan Surat Utang Pemerintah Indonesia oleh BI, yang mendorong terjadinya pelebaran imbal hasil antara surat utang pemerintah jangka pendek dan jangka panjang,” ungkapnya.

Sejalan tren historis, Rupiah cenderung melemah menjelang pemilu ditambah dengan mengecilnya kemungkinan penurunan suku bunga The Fed dalam beberapa bulan mendatang. Rupiah terdepresiasi sebesar 1,69% (ytd) menjadi Rp15.655 per dolar AS pada 16 Februari 2024. 

Melihat mata uang negara-negara tetangga terdepresiasi terhadap dolar AS pada pertengahan Februari 2024, Rupiah menunjukkan kinerja yang kurang baik, lebih buruk dibandingkan Rupee India, Peso Filipina, dan Yuan Tiongkok. 

Cadangan devisa Indonesia menyusut 0,87% (mtm), dari US$146,38 miliar pada akhir 2023 menjadi US$145,05 miliar pada Januari 2024. Penurunan cadangan devisa didorong oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia. 

Posisi cadev saat ini setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional untuk tiga bulan impor. 

“Tingkat cadangan devisa terkini dianggap cukup untuk memberikan bantalan bagi Rupiah terhadap potensi guncangan, termasuk pembalikan arus masuk modal secara tiba-tiba,” ucapnya.

Meskipun sedikit terdepresiasi sebulan terakhir, Rupiah kini berada pada kisaran Rp15.650 per dolar AS setelah pemilu. Dari sisi eksternal, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan dan mengindikasikan penurunan suku bunga kemungkinan akan ditunda. 

Meski tidak ada tekanan dari inflasi, menjaga perbedaan imbal hasil yang memadai antara obligasi pemerintah Indonesia dan obligasi negara AS sangat penting. Untuk mencegah arus keluar modal dan menjaga nilai tukar Rupiah tetap terkendali. 

“Mempertahankan BI Rate mungkin merupakan sikap paling bijak dalam Rapat Dewan Gubernur mendatang,” pungkasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar