18 Juni 2024
09:49 WIB
Legislator: Bansos Bisa Perparah Judi Online Di Indonesia
Selain anggota DPR, FITRA juga menolak ide pemberian bantuan sosial (bansos) kepada pelaku judi online (judol). Ada beberapa rekomendasi yang diberikan FITRA untuk mengatasi judi online.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Warga mengakses situs judi online melalui gawainya di Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/5/2024). Sumber: AntaraFoto/Yulius Satria Wijaya
JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Wisnu Wijaya Adiputra menolak usulan Wakil Ketua Satgas Pemberantasan Perjudian Online Muhadjir Effendy yang akan memberikan bantuan sosial (bansos) kepada pelaku judi online (judol). Alih-alih memberantas, usulan tersebut akan cenderung memperparah keadaan.
Pasalnya, kebijakan kontroversial tersebut malah membuat candu pejudi daring serta merangsang munculnya pejudi-pejudi baru. “Mereka (para pejudi online) tentu akan berpikir, ‘wah enak dong main judi online. Kalau menang dapat uang, kalau kalah dapat bansos’” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (17/6).
Mestinya, pemerintah dapat menyadari bahwa pemain judi online merupakan kegiatan tindak pidana, bukan korban, sehingga bisa atau harus diberikan bansos. Parahnya, usulan Menko PMK ini akan memasukkan pejudi online dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar mendapatkan bansos.
“Padahal, saat ini praktik perjudian online makin merajalela,” ungkapnya.
Sepanjang Juli-September 2022, Polri berhasil membongkar 2.236 kasus perjudian, yang 1.125 di antaranya merupakan kasus judi daring alias judol.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan perputaran uang judol selama 2023 mencapai Rp327 triliun. Adapun pada kuartal I/2024, perputaran untuk kegiatan haram ini saja sudah menyentuh angka Rp100 triliun.
Baca Juga: KYC Perbankan Sebagai Barikade Menelisik Judi Online
Menurutnya, angka perputaran uang judol tersebut begitu fantastis. Hal ini belum mencakupkan dampak judi online yang sangat meresahkan, mulai dari merusak ekonomi keluarga, hingga menimbulkan tindak kriminal turunan seperti pencurian, perampokan bahkan pembunuhan.
“Contohnya kasus terbaru di Mojokerto di mana ada seorang polisi wanita membakar suaminya yang juga polisi hingga mati akibat sang suami terjerat judi online,” tegas Politisi PKS ini.
Oleh karena itu, Wisnu berharap, Satgas Judi Online yang baru saja dibentuk Presiden melalui Keppres 21/2024 itu bisa bekerja tegas, cepat, efektif dan solutif. Bukan bertindak blunder dengan memberi usulan bansos untuk pejudi online.
“Satgas harus tegas dalam penegakan hukum sesuai tugasnya sebagaimana Pasal 1 Keppres tersebut. Satgas dibentuk sebagai upaya percepatan pemberantasan perjudian daring secara terpadu,” paparnya.
Percepatan tersebut, sambungnya, bisa dilakukan dengan membabat habis para pelaku judol. Tidak sekadar para pemain, tapi lebih dari itu adalah para bandar, jaringan bisnis judol, serta oknum yang membekingi bisnis haram ini.
“Kami berharap, di bawah komando Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto sebagai ketua, Satgas Judi Daring bisa secepatnya memberantas perjudian online di Indonesia hingga ke akar-akarnya,” ucapnya.
Patut Masyarakat Tolak
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Gurnadi Ridwan mengajak semua pihak untuk menolak gagasan Menko PMK atas pemberian bansos untuk keluarga korban judol. Dia menilai, rencana kebijakan ini berpeluang memberikan dampak ganda.
“Di satu sisi, kebijakan ini berusaha menyelesaikan masalah bagi keluarga korban judi online. Namun di sisi lain, kebijakan pemberian bansos akan memicu kecemburuan dan bertambahnya pelaku judi online baru, khususnya bagi masyarakat dengan ekonomi menengah-bawah yang sebelumnya tidak mendapatkan bansos,” jelas Ridwan, kepada Validnews, Minggu (16/6).
FITRA juga menilai, ada banyak tantangan yang patut dipertimbangkan apabila kebijakan tersebut dijalankan. Begitu pula rencana bahwa tidak semua korban judol bisa dimasukkan ke Daftar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sebagai pintu masuk mendapatkan bansos.
Menurutnya, verifikasi kriteria sasaran penerima bansos untuk keluarga korban judol akan sulit secara teknis dan berpeluang besar salah-sasaran. Bahkan, uang dari bansos tersebut juga berpeluang dijadikan modal untuk berjudi lagi.
Belum lagi, jika terjadi penambahan kuota bansos akibat masuknya kriteria korban judi, tentu akan memicu pembengkakan anggaran. Hal ini berpotensi memakan alokasi layanan publik lainnya, seperti kesehatan dan pembangunan.
“Alokasi anggaran bansos dari APBN tahun 2024 saja sudah mencapai Rp152,30 triliun,” urainya.
Baca Juga: MUI Heran Korban Judi Online Diusul Jadi Penerima Bansos
Tambahan saja, realisasi belanja bansos hingga 30 April 2024 Kemenkeu catat mencapai Rp55,46 triliun atau 36,42% dari pagu. Realisasi belanja bansos ini turun sebesar 2,90% (yoy), terutama disebabkan oleh penyaluran bantuan PKH tahap II di 2024 yang belum sepenuhnya tersalurkan.
Realisasi belanja Bansos antara lain dimanfaatkan untuk penyaluran bantuan PKH bagi 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM); penyaluran bantuan program kartu sembako bagi 18,7 juta KPM; dan penyaluran bantuan iuran bagi 96,7 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Lalu, penyaluran bantuan PIP bagi 9,4 juta siswa dan bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi 778,0 ribu mahasiswa; serta pelaksanaan tanggap darurat bencana oleh BNPB.
Ridwan kembali menekankan, bansos untuk korban keluarga judol bertentangan dengan 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 (ayat 2). Beleid mengatur, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Begitu juga bertentangan dengan UU 1/2023 tentang KUHP, pasal 426 ayat 1b-c yang menerangkan ‘menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian’.
“Di sisi lain praktik judi dilarang secara hukum, tetapi dampak judinya mendapatkan bantuan negara (lewat gagasan bansos judol). Hal ini berpotensi tidak memberikan efek jera bagi pelaku,” jelasnya.
Rekomendasi
Untuk itu, FITRA merekomendasikan sejumlah hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memberangus masalah ini. Pertama, mendorong penegak hukum untuk menindak dan memberantas judi, baik online lewat situs/web dan offline langsung.
Kedua, memaksimalkan peran Kemensos untuk melakukan pembinaan kepada korban judol yang mengalami gangguan psikososial. Sejauh ini, akses atas rekomendasi ini masih sangat terbatas.
Ketiga, alih-alih memberi bansos keluarga korban judi online, lebih baik pemerintah membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menjerat korban judi online.
“(Lapangan kerja) terutama masyarakat ekonomi menengah-bawah yang merupakan kategori masyarakat yang rentan dan mudah terbuai dengan iklan judi,” bebernya.
Keempat, pemerintah mesti menyadari bahwa masih ada banyak masyarakat yang belum mendapat bansos karena keterbatasan kuota PKH. Ridwan pun mendorong pemerintah untuk lebih baik memberikan bansos bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan agar tidak terjebak pada judi online.
“Pemerintah perlu memperbaiki data yang ada, agar dampak bansos bisa benar-benar dirasa dan berdampak secara sosial-ekonomi,” katanya.
Kelima, mempertimbangkan kebijakan bansos untuk korban judi online secara masak, “Karena, akan menimbulkan kecemburuan sosial dengan masyarakat yang taat hukum atau tidak ikut berjudi,” pungkasnya.