06 Juni 2022
18:16 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
MEDAN – Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian menilai, penurunan NTP Mei 2022 tidak terlepas dari dinamika harga Tandan Buah Segar (TBS) beberapa waktu terakhir.
Penurunan harga tersebut sebagai dampak kebijakan yang sempat dijalankan Indonesia, yakni melarang ekspor CPO-turunan sebulan lalu. Secara umum, kondisi tersebut membuat penurunan bagi keseluruhan Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor Perkebunan Rakyat.
“Penurunan NTP perkebunan yang selama ini tumbuh, disebabkan dampak dari penurunan harga TBS sawit di berbagai sentra sawit ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor CPO,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (6/6).
BPS mencatat, NTP Mei 2022 menurun 2,81% dibandingkan bulan sebelumnya ke level 105,41 poin. Penurun ini disebabkan Indeks Harga yang diterima Petani (lt) turun sebesar 2,37%, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) mengalami kenaikan sebesar 0,46%.
Pelemahan di atas dipengaruhi oleh turunnya performa dua subsektor yakni NTP subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (-9,29%) dan Tanaman Pangan (-0,32%). Sementara itu, tiga subsektor lainnya mengalami kenaikan seperti Hortikultura (2,75%); Peternakan (0,77%); dan Perikanan (0,26%).
Spesifik untuk subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat, terjadi penurunan indeks harga diterima petani (It) sebesar 8,82%; berbanding indeks dibayar petani (Ib) yang justru mengalami kenaikan sebesar 0,51%.
Mujahid melanjutkan, pihaknya masih menerima laporan harga TBS di beberapa sentra yang belum kembali normal seperti sebelum pemberlakuan kebijakan larangan ekspor CPO, mencakup Sumatra Utara, Jambi, Riau, dan Sumatra Barat.
Saat ini, harga TBS di tingkat petani bervariasi mulai dari Rp1.600-1.800/kg; sementara di tingkat PKS lebih tinggi sedikit, tapi di kisaran Rp1.900-2.000/kg. Diakuinya, kondisi ini masih menyulitkan para petani.
“Karena, di saat yang sama harga pupuk mengalami kenaikan yang tinggi, bisa dilihat dari indeks biaya produksi dan tambahan modal. Ini yang memberatkan petani perkebunan rakyat," tambahnya.
SPI juga menyoroti NTP subsektor Tanaman Pangan yang menurun 0,32% dibanding bulan sebelumnya. Kendati terjadi kenaikan pada sisi lt sebesar 0,15%, namun masih lebih rendah dari kenaikan lb yang sebesar 0,93%.
Dalam pengamatannya, NTP Tanaman Pangan berada di bawah standar impas selama tiga bulan belakangan, yang mengindikasi kekhawatiran. Khusus Mei 2022, laporan anggota SPI di berbagai wilayah menyebut harga gabah (GKP) relatif stabil dan cenderung naik untuk beras.
“Di beberapa wilayah seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, faktor cuaca menjadi momok. Curah hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan tanaman banyak yang lembap dan terancam gagal panen,” terangnya.
Indeks Diterima Petani Cenderung Melemah
Sementara itu, NTP subsektor Hortikultura mengalami kenaikan cukup besar yakni 2,75%. Kondisi pertumbuhan ini terdorong indeks yang diterima petani (It) sebesar 3,23%; lebih tinggi dari peningkatan indeks yang dibayar (Ib) sebesar 0,46%.
Kenaikan subsektor Hortikultura dapat dimaklumi akibat naiknya harga kelompok sayur-sayuran cabai, khususnya komoditas cabai merah ataupun rawit.
“Untuk cabai merah, kenaikan harganya cukup tinggi. Semisal di Kampar, Provinsi Riau dan Kepahiang, Provinsi Bengkulu, harga di kisaran Rp50.000-60.000/kg," jelasnya.
Sementara, untuk kelompok buah-buahan, informasi dari anggota SPI di Ogan Ilir, Provinsi Sumatra Selatan, menyebutkan harga nanas dan semangka justru turun.
Mujahid menyebut, hal yang dicermati dari laporan BPS terkait NTP tersebut adalah kenaikan indeks harga yang dibayarkan oleh petani atau lb. Hal ini berkaitan dengan situasi global, di mana sedang terjadi kenaikan harga pangan maupun energi.
Kondisi naiknya harga itu juga memengaruhi It, pengeluaran petani meningkat sementara untuk penerimaan justru stagnan bahkan turun. Hal ini sejalan dengan laporan BPS, konsumsi masyarakat tumbuh 4,34% (yoy) pada kuartal I-2022.
“Di tingkat nasional, kenaikan harga pangan bisa kita lihat sejak awal tahun lalu, misalnya di komoditas minyak goreng. Belum lagi pangan yang bahan bakunya tidak berasal dari dalam negeri, seperti terigu,” paparnya.
Selanjutnya, laporan SPI di subsektor peternakan dan perikanan, pada bulan yang berada dalam tekanan karena kenaikan harga pakan pabrikan yang bahan bakunya mengikuti harga internasional.

Bikin Kebijakan Strategis
Pemerintah, menurut Mujahid, harus segera mengambil kebijakan, baik di jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengatasi keadaan terkini.
Untuk jangka pendek, pemerintah harus memastikan berbagai subsektor pertanian yang sedang turun dapat bangkit lagi. Dalam konteks sawit, misalnya, kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas utama sehingga harga pangan dapat stabil.
Dirinya juga menggarisbawahi, kenaikan NTP perkebunan beberapa bulan lalu belum menjamin kenaikan pendapatan petani-petani perkebunan anggota SPI.
Selain itu, pemerintah melalui BUMN juga dapat mengambil peran yang lebih sentral. Seperti yang mengurus turunan strategis produksi sawit, untuk memproduksi minyak goreng atau kepentingan strategis lainnya.
“Hikmah dari krisis harga minyak goreng, adanya kesadaran kembali akan lebih pentingnya penguasaan hulu-hilir persawitan oleh petani via koperasi," sebutnya.
Sementara untuk jangka panjang, SPI lagi-lagi menekankan mendesaknya prinsip-prinsip kedaulatan pangan dalam dasar pertanian di Indonesia. Yang dimulai dari terpenuhinya hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya.
“(Mencakup) faktor-faktor produksi seperti tanah dan air, akses terhadap benih lokal, akses terhadap pasar, dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh,” tegasnya.