c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

02 September 2025

14:58 WIB

Krisis Legitimasi Fiskal Picu Demo, CSIS: Pemerintah Terlihat Boros

CSIS menilai aksi demonstrasi belakangan terpicu keruntuhan legitimasi fiskal. Saat ini kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola keuangan negara amat rendah.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Khairul Kahfi

<p>Krisis Legitimasi Fiskal Picu Demo, CSIS: Pemerintah Terlihat Boros</p>
<p>Krisis Legitimasi Fiskal Picu Demo, CSIS: Pemerintah Terlihat Boros</p>

Ilustrasi - Sejumlah warga memancing di kawasan permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA - Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menilai, aksi demonstrasi yang belakangan terjadi dipicu krisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal. Menurutnya, saat ini kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola keuangan negara amat rendah.

"Rakyat diminta membayar pajak, membayar iuran, dan menerima efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah, tapi sementara di sisi lain pemerintah tampak boros," jelas Deni dalam media briefing di Jakarta, Selasa (2/9).

Baca Juga: BPS: Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Turun Jadi 23,85 Juta Orang Per Maret 2025

Dia menyorot, beberapa sikap yang menunjukkan pemerintah boros dalam anggaran adalah menambah jumlah kementerian dan lembaga, membiarkan rangkap jabatan di tubuh BUMN, serta menaikkan gaji-tunjangan pejabat dan anggota DPR.

"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh," tegas dia.

Dalam teori ekonomi politik, sambungnya, pajak merupakan kontrak sosial antara rakyat dengan negara. Dalam hal ini, warga negara bersedia membayar pajak ketika yakin bahwa negara akan memberikan timbal balik dalam bentuk pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan. 

Baca Juga: Rasio Gini, BPS: Ketimpangan Kekayaan Kota Lebih Parah Dibanding Desa

Namun, dia menekankan, rasa keadilan itu kian memudar karena adanya kontradiksi kebijakan yang pemerintah lakukan. Selain krisis legitimasi, dia mengungkapkan, kondisi sekarang ini juga merupakan cerminan ketimpangan dan beban ekonomi Indonesia yang makin berat.

"(Ekonomi) kita memang tumbuh dalam beberapa tahun terakhir cukup stabil di kisaran 5%, tapi distribusinya makin timpang, dan itu bias capital intensive sector (sektor padat modal)," terang dia.

Kondisi Masyarakat RI Rawan Miskin
Deni menyampaikan, kondisi itu dibuktikan pada koefisien atau rasio gini Indonesia yang per Maret 2025 bernilai 0,375 poin. Menurutnya, kondisi tingkat ketimpangan kekayaan ini masih belum ideal.

Dia juga mengingatkan, kondisi kemiskinan Indonesia yang masih tinggi, meski persentasenya menunjukkan penurunan. Namun, capaian ini kembali dibayangi oleh kelas menengah RI yang juga menurun.

Baca Juga: BPS: Kelas Menengah RI Berisiko Turun Kelas Ke Kategori Rentan Miskin

Di sisi lain, sebutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan yang rawan jatuh miskin, apabila dihadapkan pada tekanan baru atau inflasi yang sedikit lebih tinggi. 

"Itu padahal kita menggunakan dasar perhitungan garis kemiskinan yang sangat rendah. Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang, mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi," imbuhnya.

Beban Yang Masyarakat Hadapi
Selanjutnya, Deni turut menyoroti tingkat inflasi umum yang belakangan rendah, namun pada waktu tertentu harga pangan bergejolak (volatile food) bergerak sangat tinggi

Dia mencontohkan, harga beras yang saat ini berkisar Rp14.000-18.000/kg, dengan titik tengah Rp16.000/kg sangat membebani masyarakat. Lagi, situasi ini kontradiksi terhadap apa yang pemerintah sampaikan terkait produksi dan stok beras di Bulog yang meningkat.

Begitu pula, masalah tingkat pengangguran nasional yang belum tuntas. Walau tingkat pengangguran Indonesia secara umum rendah, jumlahnya naik di tengah makin maraknya kabar PHK saat ini.

Baca Juga: Data Kemiskinan Dan Pengangguran Usang, Celios Desak Pemerintah Perbarui Metode

Di sisi lain, sambungnya, pekerja juga menghadapi tantangan dengan keterbatasan pekerjaan berkualitas yang bisa menyediakan penghasilan layak.

"Tingkat (pekerja) informal sector kita itu hampir 60%, itu dasarnya kalau menurut BPS. Kalau menurut ILO itu hingga 80%," tambah dia.

Dia melanjutkan, tingkat pendapatan yang juga relatif stagnan makin lama tidak mampu mengimbangi biaya hidup. 

"Maka kenaikan pajak yang sedikit saja itu akan terasa menyesakkan di tengah beban hidup yang semakin meningkat. Jadi permasalahannya, secara ironis arah dari belanja negara justru juga tidak adil dan malah menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial itu terus mengecil," tegasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar