21 Desember 2022
13:10 WIB
JAKARTA – Pemerintah terus menggalakkan penanaman modal atau investasi di bidang ekonomi hijau, mengingat Indonesia memang memiliki potensi besar dalam sektor ini. Bank Indonesia sendiri memproyeksikan, potensi nilai investasi di sektor bisnis yang berkaitan dengan ekonomi hijau ini mencapai lebih dari US$600 miliar.
Sejumlah sektor yang diprediksi bakal menjadi primadona investasi hijau pada tahun depan. Antara lain, pengembangan energi baru terbarukan dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Nah, besarnya prospek ekonomi hijau ini memerlukan dukungan dari sektor lain, seperti sektor keuangan dan swasta.
Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diperkirakan hanya mampu mendukung sekitar 34% kebutuhan investasi hijau.
Tak mengherankan, jika dalam satu tahun terakhir, industri perbankan dan pembiayaan makin gencar menerbitkan instrumen investasi hijau dalam bentuk obligasi hijau (green bond).
Berdasarkan data industri perbankan nasional, per kuartal III 2022, sejumlah bank nasional tercatat telah menyalurkan lebih dari Rp690 triliun kredit hijau.
Namun, ekonomi dan investasi hijau sejatinya tidak hanya berkaitan dengan sektor-sektor tersebut.
Lebih luas lagi, ekonomi hijau adalah adalah proses pengembangan ekonomi yang tetap memperhatikan dampak lingkungan.
Seperti tingkat karbon di udara, efisiensi sumber daya alam, dan dampak sosial.
Ekonomi hijau juga berfokus pada proyek atau bisnis ramah lingkungan, yang pada praktiknya menerapkan konsep environmental, social, and governance (ESG) sehingga bisnis bisa tetap berkelanjutan dan mempertahankan dampaknya.
Sayangnya, di Indonesia, penerapan konsep ESG ini masih belum dipahami dan disadari pentingnya, terutama di tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah.
Padahal, menurut Inez Stefanie, Co-Founder Supernova Ecosystem, penerapan konsep ESG merupakan langkah awal agar sebuah usaha bisa menjalankan praktik bisnis sesuai dengan konsep ekonomi hijau, yakni berkelanjutan.
Kurangnya kesadaran penerapan prinsip tata kelola usaha yang baik itulah, menurut Inez, yang menjadi penghambat pelaku usaha di Indonesia ketika hendak naik tingkat mengembangkan bisnisnya.
“Banyak perusahaan yang praktik tata kelolanya kurang solid, akibatnya mereka sulit mendapatkan pendanaan (investasi) dari pihak lain. Karena itu, penting bagi pelaku usaha untuk mulai menerapkan prinsip tata kelola usaha yang baik demi menjaga keberlangsungan usahanya,” ujarnya, Rabu (21/12).
Di sisi lain, meningkatnya tren penyaluran pembiayaan atau investasi hijau, membuat animo masyarakat untuk masuk ke sektor ini juga membesar.
Satu hal yang perlu dicatat, kata Inez, kendati pelaku usaha di sektor ekonomi hijau didorong untuk menerapkan prinsip dan konsep ESG dalam menjalankan bisnisnya, namun ada sejumlah hal juga yang harus dipahami para investor yang tertarik masuk ke sektor ini.
“Pada prinsipnya, investor yang masuk ke sektor ekonomi hijau juga harus memahami fundamental bisnis yang mereka pilih sebagai portofolio investasi,” kata Inez.
Sebagai ilustrasi, ketika masuk ke bidang usaha yang berkaitan dengan komoditas perkebunan, investor harus paham prospek komoditas yang ditawarkan.
“Investor harus tahu bagaimana komoditas itu nantinya dijual, siapa pembelinya, dan bagaimana prospek ke depannya,” serunya.
Selain itu, investor juga harus mampu membaca kondisi alam yang dapat mempengaruhi hasil produksi usaha yang dipilih.
Pada intinya, Inez menambahkan, berinvestasi di sektor ekonomi hijau juga sama dengan berinvestasi di sektor usaha konvensional. Prinsip kehati-hatian dan selektif dalam memilih portofolio mutlak diperlukan.
“Investor tetap perlu memperhatikan kredibilitas platform agregator yang menawarkan produk investasi, serta menakar imbal hasil investasi yang ditawarkan, realistis atau tidak,”
Satu hal lain yang tak kalah penting, ujar Inez, ialah menyesuaikan profil risiko suatu produk investasi dengan karakteristik setiap investor.

Fokus Perubahan Iklim
Inez juga menyoroti, sektor UMKM yang diperkuat lebih dari 62 juta usaha dengan hampir 99% di antaranya merupakan usaha mikro, membutuhkan dukungan besar agar dapat mendorong pembangunan negara di masa depan. Investor pun berpotensi besar melirik mereka.
“Karena green investment yang berhasil sebenarnya tidak harus seukuran unicorn,” tambah Inez.
Sayangnya lagi, selain lemahnya penerapan ESG, banyak usaha dalam kategori UMKM yang tidak memiliki rencana pertumbuhan strategis, sehingga sulit berkembang dan berkelanjutan di masa depan.
Inilah yang mendorong Supernova Ecosystem, kata Inez, terjun hingga ke wilayah kabupaten di Indonesia dalam mendukung perkembangan investasi lestari (impact invesment) dengan fokus pada masalah perubahan iklim. Adapun, sektor bisnis yang menjadi area garapan Supernova Ecosystem adalah komoditas lestari.
“Kami membantu pelaku usaha di berbagai wilayah di Indonesia untuk menciptakan pusaran ekonomi baru di wilayah-wilayah yang selama ini bergantung kepada praktik ekonomi eksktraktif (pengelolaan sumber daya alam), misalnya pertambangan dan palm oil,” ucap Inez.
Dia memberi contoh, misalnya, selama berpuluh-puluh tahun, masyarakat dalam suatu daerah tersebut bekerja di perkebunan atau pertambangan.
Jika pada daerah tersebut terdapat potensi dibangunnya sentra tanaman untuk komoditas yang tidak merusak hutan, Supernova Ecosystem dapat mendukung usaha tersebut.
“Saat ini kami fokus pada komoditas yang terbukti tahan terhadap situasi pandemi, yaitu kecantikan, kesehatan dan wellness. Kini kami memiliki delapan perusahaan dalam portfolio untuk melakukan bisnis secara B2B dan B2C, dengan berbagai komoditas, seperti ikan gabus dan tengkawang,” tambahnya.
Seluruh perusahaan dalam portfolio Supernova Ecosystem, lanjutnya, tentu didorong untuk melakukan praktik ESG.
“Kami tidak menampik, pasar produk kecantikan, kesehatan dan wellness sangat besar di kawasan Jawa. Tetapi kami memiliki framework yang disebut value chain collaboration canvas yang memetakan dari hulu ke hilir yang mengidentifikasi proses added value dari komoditas ini dan secara perlahan kami tarik ke on site atau daerah,” tambah Inez.
Misalnya, untuk usaha pengolahan ikan gabus yang letaknya di Sintang, sekitar 8 jam dari Pontianak, output-nya hanya berupa ikan salai, abon dan lainnya.
Namun dengan bantuan mitra dari Supernova Ecosystem, ikan gabus ini dapat diekstraksi menjadi albumin yang dapat menyembuhkan luka lebih cepat, sehingga produknya memiliki harga dan margin yang lebih bagus.
“Kami terus mencari kisah sukses dari berbagai daerah untuk memperlihatkan bahwa ke depan, masyarakat bisa menjalankan usaha dengan praktik-praktik ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan bisa mempertahankan keseimbangan ekonomi komoditas lestari dengan komoditas ekstrakftif,” ujarnya.
Kolaborasi Pemerintah dan Pengusaha
Sekadar gambaran dari trennya investasi hijau, dari pertemuan B20 sebagai bagian dari rangkaian pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia beberapa waktu lalu, Indonesia berhasil meraih investasi senilai US$13,02 miliar atau setara Rp203,19 triliun.
Chair B20 Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menuturkan, investasi terbanyak yaitu pada sektor energi, yang mencapai sekitar 48% dari total nilai investasi yang diraih, khususnya pada sektor energi hijau.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menilai, dalam mengakselerasi ekonomi hijau, kolaborasi pemerintah dan pelaku bisnis sangat diperlukan.
"Kolaborasi pemerintah dan pelaku bisnis diperlukan dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dari implementasi ekonomi hijau," kata Suharso beberapa waktu lalu.
Dari sisi pemerintah, kata dia, diperlukan penguatan kebijakan dan regulasi terkait ekonomi hijau yang dilengkapi dengan kriteria yang jelas serta aspek ramah lingkungan yang terukur.
Pemerintah juga perlu untuk menyiapkan skema pendanaan inovatif (blended finance) dan insentif (fiskal dan non fiskal) yang tepat untuk mendorong investasi hijau serta instrumen de-risking dan penjaminan, untuk meningkatkan bankability dan daya saing sektor hijau.
Sementara dari pelaku bisnis, kolaborasi dapat dilakukan dengan menerapkan operasional bisnis yang hijau, berkelanjutan, dan berbasis ekonomi sirkular, misalnya dengan penerapan efisiensi energi di dalam proses produksi.
"Jadi lebih kepada mengganti bisnis dari ekonomi yang pada hari ini orang sebut ekonomi linear dan sekarang menjadi ekonomi sirkular," tuturnya.
Selain itu, Suharso menyebutkan pelaku bisnis juga bisa turut serta dalam skema blended finance untuk mendukung pendanaan kegiatan rendah karbon dan ikut serta dalam perdagangan karbon.
Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan tantangan dan peluang dalam implementasi ekonomi hijau bisa dihadapi.
Adapun tantangan yang dimaksud adalah kebutuhan investasi dan adanya celah pembiayaan, reformasi kebijakan untuk mengelola risiko stranded assets, kesenjangan teknologi, inovasi, dan infrastruktur, serta persiapan migrasi ke pekerjaan ramah lingkungan.
Sementara peluang yang didapat dari implementasi ekonomi hijau yaitu peningkatan tren Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environment, Social, and Governance/ESG), implementasi pasar karbon, peluang pendanaan hijau, serta penciptaan pekerjaan ramah lingkungan.