01 Februari 2023
17:22 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Pemerintah belakangan gencar mengampanyekan penggunaan kendaraan listrik dengan alasan lebih ramah lingkungan dan menghemat devisa. Bahkan, pemerintah tak segan memberikan beragam insentif buat meningkatkan penggunaan kendaraan listrik.
Padahal, alasan ‘ramah lingkungan’ yang jadi bahan ‘jualan utama’ kendraan listrik, masih bisa diperdebatkan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan, sekilas kendaraan listrik memang terlihat ramah lingkungan karena tak mengeluarkan emisi.
Namun, menurutnya, proses pembuatan baterai yang berbahan baku nikel masih terbilang kotor. Begitu juga dengan pengisian daya listrik yang sumbernya masih menggunakan pembangkit berbahan bakar batubara.
"Pekerjanya juga bermasalah, sampai kemudian sumber energi listriknya masih didominasi batubara. Apalagi dengan Perpu Ciptaker, ini akan dialiri gasifikasi batubara yang menandakan bahwa prosesnya tidak bersih," ungkap Bhima di Jakarta, Rabu (1/2).
Senada, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya pada kesempatan yang sama menyebut subsidi kendaraan listrik hanya dipenuhi oleh kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik.
Tata meyakini kebijakan subsidi kendaraan listrik yang beriringan dengan terbitnya Perpu Cipta Kerja menunjukkan, pemerintah tak ingin mempercepat fast out PLTU batubara.
Dalam hal ini, dia menyebutkan ada dua kepentingan, yakni dari sisi pengusaha tambang dan di sisi lain ada peluang dari tren global soal kendaraan listrik untuk melakukan transisi energi.
"Karena masih ingin dapat keuntungan di PLTU batubara, maka PLTU tetap main di situ, sementara industri kendaraan listrik juga main. Jadi, ini solusi yang kontradiksi dan setengah hati," imbuh Tata.
Dampaknya, Indonesia menjadi semakin tertinggal soal transisi energi karena komoditas batubara masih terlalu banyak dan tidak ada ruang untuk energi baru dan terbarukan (EBT).
Kedua jenis energi itu, lanjut Tata, sampai kapanpun tak akan bisa berjalan beriringan.
"Kita hanya akan jalan di tempat soal transisi energi. Kendaraan listrik ini hanya memperbanyak unit transportasi dengan memberi subsidi harga dan sebagainya. Ini hanya akan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor power," imbuhnya.
Wacana subsidi kendaraan listrik pun digadang-gadang justru akan menimbulkan problema baru, yakni menumpuknya kendaraan di kota besar. Bhima menganggap wacana subsidi kendaraan listrik hanya akan menambah kemacetan karena jumlah kendaraan saat ini mencapai sekitar 150 juta unit.
"Apalagi kalau konteks dan konsep subsidi tidak dibedakan per wilayah. Andaikan dibedakan pun, kalau belinya di daerah tetapi dipakainya tetap di Jakarta, ya, sama saja akan macet juga," ucap Bhima.
Standar Dan Regulasi
Terpisah, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memastikan, kualitas kendaraan listrik di Indonesia telah sesuai dengan standar dan regulasi yang ditetapkan pemerintah.
"Jangan menganggap kalau barang produksi Indonesia ini kurang mumpuni. Kendaraan listrik yang diproduksi di Indonesia telah memenuhi syarat keselamatan," kata Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara kepada seperti dikutip Antara di Jakarta, Rabu.
Kukuh menyampaikan, saat ini terdapat tiga perusahaan yang memproduksi mobil listrik di Indonesia yakni Wuling, Hyundai, dan DFSK.
Menurut dia, meski tergolong teknologi baru di Indonesia, kendaraan listrik yang diproduksi ketiga produsen itu dipastikan telah memenuhi standar keselamatan bagi pengemudi dan penumpang, laik jalan, serta aman untuk pengguna jalan yang lain.
Tidak hanya produksi kendaraan di dalam negeri, mobil listrik yang diimpor dalam kondisi Completely Built Up (CBU), juga dipastikan telah memenuhi unsur keamanan dan keselamatan.
Berdasarkan data Gaikindo, total penjualan mobil di Indonesia sebanyak 1.048 juta unit sepanjang tahun 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 20.681 unit merupakan mobil kategori hybrid, plug in hybrid, dan full electric vehicle.
Untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia, Gaikindo berharap agar infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) hingga layanan home charging terus diperbanyak.
Selain itu, Gaikindo juga berharap agar kondisi perekonomian terus tumbuh agar daya beli masyarakat dapat meningkat.
"Kalau ekonomi kita terus tumbuh saya yakin pengguna kendaraan listrik akan meningkat. Kita harapkan industri tetap maju, seiring dengan membaiknya kondisi pandemi," ucapnya.
Sebagai informasi, Badan Standardisasi Nasional (BSN) pada tahun 2022 telah menetapkan sebanyak 34 Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait kendaraan listrik.
Terkait sistem kendaraan listrik terdiri dari dua bagian, yakni keselamatan dan performa. Untuk komponen, terdiri dari baterai dan komponen penggerak listrik (motor, inverter, dan converter).
Sementara infrastruktur, terdiri dari sistem charging, konektor charging serta komunikasi antar-muka. Standar-standar tersebut sebagian besar mengadopsi standar internasional, khususnya untuk kendaraan mobil dan sepeda motor.
Peta Jalan
Sementara itu, Guru Besar Transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Taufik Mulyono mengatakan, peta jalan (roadmap) pengembangan ekosistem kendaraan listrik nasional harus sejalan dengan sektor-sektor lain yang terkait, seperti energi dan industri otomotif.
"Roadmap kendaraan listrik itu sekalian meliputi berbagai sektor, tidak jalan sendiri-sendiri, agar tercipta yang namanya transportasi cerdas," kata Agus.
Menurut dia, keberlanjutan ekosistem kendaraan listrik sebagai moda transportasi sangat bergantung pada kebijakan energi. Sinergi antara kendaraan listrik, emisi, dan energi sangat penting untuk dilakukan dalam membuat roadmap yang komprehensif dari hulu ke hilir.
Oleh karena itu, Agus menyarankan perlunya disusun peta jalan implementasi kendaraan listrik secara jangka panjang.
"Kalau kita mau mempercepat penggunaan kendaraan listrik maka perlu dibuatkan roadmap jangka panjang seperti apa," cetusnya.
Agus menjelaskan, secara umum sistem transportasi idealnya memiliki dukungan sarana dan prasarana yang memadai antara lain simpul transportasi, ruang (jalur jalan), dan pelayanan. Berbeda dengan kendaraan konvensional, kendaraan listrik membutuhkan tempat pengisian daya (charging stations) di mana saat ini jumlahnya masih sangat kurang.
Sementara itu, pada transportasi massal, stasiun pengisian daya mobil listrik perlu dibangun di simpul-simpul transportasi seperti halte atau stasiun. Selanjutnya, jalur atau jalan yang ada perlu ditingkatkan agar mobilitas kendaraan listrik tidak terkendala. Kemudian, peningkatan layanan seperti sistem ticketing dan waktu tempuh perjalanan juga perlu diperhatikan.
"Jalur-jalur padat angkutan penumpang itu yang harus didahulukan. Gangguan-gangguannya juga tidak boleh ada sehingga kendaraan listrik menjadi nyaman," jelas Ketua Majelis Profesi dan Etik Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tersebut.