c

Selamat

Minggu, 5 Mei 2024

EKONOMI

24 Juni 2021

20:48 WIB

Kemenperin Akselerasi Ekosistem Baterai Litium Kendaraan Listrik

Permintaan EV dunia diperkirakan terus meningkat dan akan mencapai sekitar 55 juta unit pada 2040.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Kemenperin Akselerasi Ekosistem Baterai Litium Kendaraan Listrik
Kemenperin Akselerasi Ekosistem Baterai Litium Kendaraan Listrik
Karyawan mengganti baterai sepeda motor listrik di SPBKLU Direktorat Ketenagalistrikan, Jakarta, Senin (21/12/2020). ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra.

JAKARTA – Pemerintah terus mendorong percepatan pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dan energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini sejalan visi pemerintah yang menargetkan Indonesia sebagai pemain utama industri otomotif global.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita kembali menegaskan, industri otomotif merupakan salah satu sektor prioritas berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Sasaran utamanya, Indonesia mampu menjadi ekspor hub kendaraan bermotor. 

"Baik untuk kendaraan berbasis bahan bakar minyak atau internal combustion engine/ICE maupun kendaraan listrik atau electrical vehicle/EV,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (24/6).

DirJen ILMATE Kemenperin Taufiek Bawazier menyampaikan, pengembangan kendaraan listrik juga diatur melalui Permenperin 27/2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Kandungan Lokal. Indonesia menargetkan pengembangan industri komponen utama EV berupa baterai, motor listrik dan inverter. 

Selama ini, industri otomotif mampu berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Potensi Indonesia saat ini didukung dengan 21 produsen otomotif, yang secara keseluruhan telah merealisasikan investasi senilai Rp71,35 triliun. 

Total kapasitas produksi mencapai 2,35 juta unit per tahun, dengan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 38.000 orang serta lebih dari 1,5 juta orang yang bekerja di sepanjang rantai nilai industri otomotif tersebut.

“Permintaan EV dunia diperkirakan terus meningkat dan akan mencapai sekitar 55 juta unit pada 2040. Pertumbuhan ini tentunya mendorong peningkatan kebutuhan baterai lithium ion (LiB),” ungkap Taufiek.

Meningkatnya penggunaan baterai juga mendorong peningkatan permintaan pada bahan bakunya. Jadi, negara dengan sumber bahan baku baterai ini nantinya memegang peranan sangat penting.

Ke depan, lanjut Taufiek, kebutuhan baterai lithium Ion akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia. Pengembangan industri baterai yang merupakan komponen utama dalam ekosistem energi terbarukan begitu potensial. 

"Energi yang dikonversi dari sumber terbarukan akan disimpan dalam baterai dan akan digunakan baik secara langsung atau melalui jaringan listrik,” paparnya.

Saat ini, di Tanah Air sudah terdapat sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai. Adapun lima perusahaan tersebut sebagai penyedia bahan baku, antara lain nikel murni, kobalt murni, nikel ferro, dan endapan hidroksida campuran. Keempat perusahaan lainnya adalah produsen baterai. 

“Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, hingga daur ulang,” jelas Taufiek.

Pengembangan baterai nantinya juga akan diarahkan untuk mendukung program renewable energy pemerintah, salah satunya melalui solar energy

Baterai yang termasuk dalam ekosistem solar energy akan mendorong adopsi program itu sekaligus memacu pertumbuhan industri sel surya yang sudah terdapat di dalam negeri. Pemerintah akan mendorong pengembangan ekosistem energi seperti baterai, sel surya, dan inverter melalui regulasi TKDN. 

"Dukungan dari instansi teknis terkait sangat diperlukan agar adopsi energi terbarukan di Indonesia dapat memenuhi target-target yang sudah ditetapkan pemerintah hingga tahun 2050,” imbuh Taufiek.

Masa Depan Energi Baterai
Nantinya, Taufiek tambahkan, masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan. Seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor yang membuat baterai lebih murah, termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen. 

“Dengan demikian kita harus mengantisipasi perkembangan ini karena akan membawa dampak pada baterai yang lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat,” tandasnya.

Taufiek mengingatkan tentang teknologi disruptive battery yang mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai akan berhasil. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi.

Pengembangan industri baterai juga perlu didukung dengan industri daur ulang. Baterai yang nantinya akan menjadi limbah memerlukan penanganan yang komprehensif, antara lain dengan daur ulang agar proses pemurnian dapat dilakukan. 

“Limbah baterai serta beberapa jenis scrap dari paduan nikel sangat memungkinkan untuk didaur ulang sehingga dihasilkan beberapa jenis produk yang bernilai tinggi,” pungkasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar