c

Selamat

Minggu, 28 April 2024

EKONOMI

09 Februari 2022

16:23 WIB

KemenkopUKM: Harus Ada Pembaharuan UU Perkoperasian

UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 dinilai sudah terlalu usang. Selain itu, KemenkopUKM tak mendapat mandat yang cukup untuk mengawasi koperasi simpan pinjam.

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

KemenkopUKM: Harus Ada Pembaharuan UU Perkoperasian
KemenkopUKM: Harus Ada Pembaharuan UU Perkoperasian
Ilustrasi. Seorang perempuan melintas di depan logo koperasi beberapa waktu lalu. ANTARA/Dok

JAKARTA – Kementerian Koperasi dan UKM melalui Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah menilai harus ada penyempurnaan sistem hukum kelembagaan koperasi dengan pembaharuan UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992.

Ketua Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah Agus Santoso pun telah menggelar audiensi dengan beberapa instansi terkait, khususnya Mahkamah Agung guna membahas norma-norma hukum di bidang perkoperasian.

Tak hanya itu, Agus juga telah meminta tanggapan Pimpinan Komisi VI DPR dan instansi lainnya tentang urgensi RUU Perkoperasian yang dapat menjadi hak inisiatif pemerintah serta masuk dalam Prioritas Prolegnas tahun 2022 ini.

"Selain itu juga diperlukan adanya aturan di dalam UU PKPU dan Kepailitan yang baru agar bisa menjadi bridging untuk pengaturan penanganan koperasi bermasalah yang akan diatur di dalam UU perkoperasian yang baru nantinya," papar Agus dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (9/2).

Menurut Agus, UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 sudah terlalu usang. Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UKM tak mendapat mandat yang cukup dalam hal pengaturan perizinan, lingkup usaha, hingga pengawasan terhadap koperasi simpan pinjam.

"Tak bisa melakukan pengawasan KSP, termasuk juga terhadap KSP yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah," sambungnya.

Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengamini pengaturan tentang koperasi yang termaktub dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tidak begitu tegas dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Menurutnya, pembenahan koperasi seyogianya harus dimulai dengan perubahan UU Perkoperasian.

Dalam hal koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal bayar dan marak terjadi dewasa ini, Andi menyebut seharusnya problema itu dapat diatasi dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasalnya, PKPU menurut Andi bertujuan merestrukturisasi seperti yang telah disepakati dalam akta perdamaian.

"PKPU bertujuan untuk melakukan proses restrukturisasi sebagaimana yang telah disepakati dalam homologasi dan wajib ditaati oleh koperasi dan anggotanya untuk kepentingan bersama," tegas Andi.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi (AKSES) Indonesia Suroto menilai pengawasan terhadap KSP di Indonesia sejauh ini masih sangat lemah, termasuk upaya preventif yang dijalankan. Upaya preventif itu seharusnya dijalankan dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat luas serta membangun infrastruktur pengawasan secara serius.

Suroto yang juga merupakan Pengamat Perkoperasian itu menganggap terbentuknya Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah oleh KemenkopUKM menjadi cerminan nyata bahwa efektivitas kerja, khususnya dalam hal pengawasan koperasi, masih di bawah rata-rata.

"Tim Satgas yang dibentuk tidak bisa hanya lakukan tugas verifikasi semata mata, tapi pemerintah harus jelas dan tegas serta amanah sampai menimbulkan kepercayaan baru masyarakat yang jadi korban," tandas Suroto kepada Validnews beberapa waktu lalu.

Satgas Koperasi
Agus Santoso menambahkan dalam rangka mencari titik tengah dari kasus koperasi yang gagal bayar, KemenkopUKM telah membentuk Satgas Penanganan Koperasi. Pembentukan satgas itu bertujuan agar hak-hak anggota tetap terkawal dan dapat terpenuhi sesuai dengan homologasi.

"Kami juga harus menjaga agar tidak ada lagi koperasi yang masuk proses kepailitan walaupun ditengarai ada beberapa pihak yang menginginkan itu," ulasnya.

Dengan terbentuknya Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, lanjut Agus, secara tidak langsung menguatkan literasi perkoperasian bagi para anggota koperasi. Hal ini dilakukan guna menekan potensi tindakan hukum untuk memalitkan koperasinya sendiri karena anggota merupakan pemilik koperasi.

Pasalnya dalam anggaran dasar koperasi, telah termaktub mengenai Rapat Anggota Tahunan atau Rapat Anggota Luar Biasa (RAT/RALB) sehingga permohonan PKPU atau pailit pada akhirnya akan berujung pada likuidasi. Idealnya, problema itu dapat disepakati di RAT/RALB.

"Artinya, bukan merupakan keputusan individu, namun diatur dengan cermat dalam UU Koperasi ataupun UU Kepailitan dan PKPU," tambah Agus.

Suroto pun menyambut baik langkah KemenkopUKM yang telah membentuk Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah. Menurut dia, pembentukan satgas menjadi bukti nyata bahwa pemerintah hadir dan turut bertanggung jawab untuk menjaga kepentingan masyarakat yang tertipu investasi bodong dengan kostum koperasi.

Namun, Suroto mengingatkan demi efektivitas, Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah wajib melakukan intervensi ke dalam secara penuh dan jangan tanggung-tanggung. Apalagi, jika kondisinya telah menimbulkan konflik antara anggota dan pengurus atau manajemen.

"Kalau kondisinya memang sudah bermasalah sampai muncul konflik antara anggota yang jadi korban dengan pengurus dan manajemen ini artinya masalahnya sudah mendasar. Inilah salah satu ciri koperasi palsu dan diakibatkan karena ketidaktahuan masyarakat," sambungnya.

LPS
Meskipun telah terbentuk Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, namun Suroto meyakini ke depan kasus-kasus koperasi yang gagal bayar akan tetap berpotensi terjadi. Musabab utama dari persoalan itu ialah jaminan keamanan simpanan anggota tak pernah terwujud hingga kini.

Padahal, Suroto sejak lama sudah menyarankan pemerintah agar membentuk semacam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), seperti perbankan untuk menghadirkan jaminan keamanan dana yang disimpan anggota dalam entitas koperasi.

Dengan tidak adanya LPS untuk koperasi, ia menyebut tak hanya menciptakan kerugian bagi anggota koperasi, tetapi juga kinerja koperasi akan semakin merosot.

"Kinerja koperasi akan semakin rendah karena pada akhirnya, koperasi harus menawarkan insentif yang tidak rasional untuk membujuk anggotanya menyimpan di koperasi," ujar Suroto.

Tak sampai situ, marjin kotor dari koperasi pun akan ikut melorot mengingat biaya modal atau cost of fund dari anggota koperasi berbentuk simpanan semakin meninggi. Kondisi itu akan berdampak sistemik yang menyebabkan koperasi kehilangan daya saingnya terhadap perbankan.

Suroto memperkirakan ketiadaan LPS untuk koperasi merupakan salah satu bagian dari permainan lobby pihak perbankan kepada pemerintah demi daya saing mereka. Pasalnya jika koperasi memiliki LPS, Suroto optimis daya saingnya akan lebih tinggi dibandingkan perbankan.

"Kalau sampai koperasi memiliki LPS dan dapat menjamin simpanan anggotanya maka bank bisa langsung kalah bersaing karena koperasi itu bukan hanya memberikan manfaat pinjaman dan layani simpanan tapi juga memberikan laba atau Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggotanya," pungkas Suroto.

Dalih pemerintah, dalam hal ini KemenkopUKM dan Kementerian Keuangan terkait kesiapan koperasi dalam pembentukan LPS, menurut Suroto sangat tidak beralasan. Menurut dia, pembentukan LPS untuk perbankan dahulu kala juga dalam situasi yang sama.

Suroto yakin bahwa koperasi yang ada pasti akan segera menyesuaikan kondisi dan melakukan perbaikan sistem kelembagaan secara mandiri jika ingin tetap dipercaya oleh anggotanya dengan pembentukan LPS.

"Masalah Koperasi gagal bayar akan benar-benar hilang atau turun drastis jikalau ada LPS ini. Kalau tidak, maka akan tetap terus marak. Ini juga membentuk kerja pemerintah yang tidak efektif dan efisien," tutur Suroto.

 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar