c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

06 Agustus 2024

15:33 WIB

Kemenkeu Mulai Antisipasi Dampak Resesi Ekonomi AS Ke Tanah Air

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai mengantisipasi potensi resesi Amerika Serikat (AS) yang juga akan berpengaruh ke Tanah Air.

Penulis: Khairul Kahfi

<p>Kemenkeu Mulai Antisipasi Dampak Resesi Ekonomi AS Ke Tanah Air</p>
<p>Kemenkeu Mulai Antisipasi Dampak Resesi Ekonomi AS Ke Tanah Air</p>

Gedung bertingkat dan pemukiman warga terlihat dari kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat ( 5/5/2023). Antara Foto/Galih Pradipta

JAKARTA - Pemerintah mulai mengantisipasi peluang resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Asesmen pemerintah, ekonomi AS berpeluang mengalami resesi karena sudah berada dalam zona di bawah ekspektasi.  

“Misalnya, (level) penganggurannya ternyata lebih tinggi daripada yang mereka (AS) bayangkan, lalu dilihat bahwa tingkat suku bunga kebijakan mereka dipandang oleh pasar harusnya sudah lebih awal dipotong,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu ketika ditemui wartawan di Jakarta, Selasa (6/8).

Febrio mengutarakan, sejak awal tahun peluang penurunan tingkat suka bunga kebijakan The Fed oleh Indonesia selalu bergerak dinamis dan ekspektasinya selalu berubah-ubah. Dari yang awalnya berpeluang ada pemotongan tiga kali, dan terus diperbarui hingga hanya beberapa kali dalam pergerakan beberapa bulan kemudian. 

“Nah sekarang ini dengan data-data yang terbaru, memang probabilitas dan kita melihat konsensusnya mengarah ke pemotongan (suku bunga AS) yang lebih banyak,” urainya.

Dalam konteks stabilitas makroekonomi RI, Febrio menilai, peluang-peluang tersebut sementara ini bisa mendukung ke arah positif. Di mana penurunan suku bunga AS bakal membuat tekanan cabutnya investasi atau capital outflow dari asing dapat berkurang.

Dengan demikian, tingkat suku bunga di dalam negeri, terutama yang dalam rupiah, akan relatif cukup menarik bagi investor portofolio. 

“Nah ini yang harus kita pantau hari demi hari, tentunya perubahan ini harus kita pantau dengan dekat, sehingga langkah-langkah yang kita lakukan tentunya juga adalah terukur dengan baik," ujar Febrio.

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Melemah Dipicu Kekhawatiran Resesi

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, indikator ekonomi AS mulai cenderung mengalami penurunan atau memburuk. Salah satunya, tingkat pengangguran di AS yang cukup mengagetkan naik menjadi 4,3% per Juli 2024. 

Sebaliknya, indikator lain berupa lowongan kerja yang menghadapi tekanan. Hal ini dikonfirmasi lewat pembukaan lowongan kerja di Negeri Paman Sam yang menurun dari 12,1 juta orang pasca covid-19 di Maret 2022 menjadi hanya 8,1 juta orang pada Juni 2024.

“Artinya, kesempatan kerja yang terbuka (di AS) juga semakin sedikit pascapandemi,” terang Bhima dalam media briefing yang dipantau daring, Jakarta, Senin (5/8) malam.

Kondisi ini juga mulai dikonfirmasi oleh indikator sham rule yang berada di kisaran 0,5% di 2024 ini.

Sham rule merupakan sebuah indikator ekonomi yang digunakan untuk mendeteksi awal terjadinya resesi. Sham rule menggunakan data tingkat pengangguran untuk menentukan apakah sebuah ekonomi negara sedang memasuki fase resesi. Bhima menyebutkan, indikator sham rule di level 0,5% bisa mengindikasikan tekanan ekonomi yang lebih berat ke depannya. 

Terlebih, akurasi indikator tersebut dalam memperkirakan resesi cukup tinggi. Dari 9 kejadian resesi ekonomi AS sejak 1970-an, kesemuanya berhasil diprediksi sebelumnya secara tepat.

“Jadi kalau (sham rule) di atas 0,5%, probabilitas terjadinya resesi ekonomi di Amerika itu cukup besar. Ini memang warning,” ucapnya. 

Baca Juga: Airlangga: Terendah Di Dunia, Kemungkinan Resesi Ekonomi RI Hanya 1,5%

Di sisi lain, ekonomi AS disebut juga bakal menghadapi tekanan dari momen Pemilu domestik yang dinilai semakin rumit saat ini, terutama setelah popularitas Donald Trump yang melejit. Bhima pun mengingatkan, risiko internal Pemilu AS November mendatang pasti akan berpengaruh terhadap banyak hal.

“Donald Trump yang misalnya anti terhadap mobil listrik, kemudian memberikan insentif pajak, pemangkasan pajak lebih banyak kepada orang-orang kaya di AS, sampai kemudian banyak kebijakan-kebijakan Joe Biden di bidang kesehatan yang mau di-rule out atau tidak dilanjutkan. Ini salah satu bentuk ketidakpastian dari sisi risiko politik,” jabarnya.

Lainnya, indeks saham di AS khususnya NASDAQ dan S&P 500 selama sebulan terakhir sudah menurun tajam, masing-masing sebesar -8,59% dan SnP500 -3,96% (mtm). 

“Terjadi tekanan dana yang keluar cukup besar, banyak (investor) yang melakukan sell-off di bursa saham NASDAQ dan S&P 500. Ini salah satu yang jadi indikator juga ada kepanikan di pasar keuangan Amerika,” jelasnya.

Implikasi Resesi AS Buat Indonesia
Bhima memaparkan, kondisi ekonomi suram AS akan berdampak pada ekonomi nasional dalam sejumlah saluran. Pertama, resesi AS bisa meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah.

Indikator resesi yang menguat ditambah ketidakjelasan sikap dari Bank Sentral AS, akan berefek langsung pada banyaknya investor yang menggeser modalnya ke aset yang lebih aman alias safe haven. “Safe haven-nya beragam, bisa emas, bisa kemudian dolar AS dalam jangka menengah,” urainya.

Kedua, penurunan jumlah cadangan devisa akibat lemahnya permintaan ekspor dari AS. Meski diakuinya ekspor tersebut tidak langsung menuju AS, melainkan lewat Tiongkok dengan pengiriman bahan baku atau barang setengah jadi yang diolah dulu menjadi barang final. 

Karenanya, tekanan ke industri manufaktur terutama yang berorientasi ekspor menguat. “Jadi kalau permintaan domestik Amerika Serikat yang melemah, tentu efeknya juga kepada kinerja ekspor Indonesia,” sambungnya. 

Ketiga, suku bunga disinyalir masih akan tetap tinggi untuk mencegah keluarnya dana asing terutama di pasar surat berharga. Walau pasar berekspektasi The Fed AS akan memangkas suku bunganya 25 basis poin, belum tentu akan diikuti pemangkasan yang lebih dalam ataupun lebih besar ke depannya.  

Baca Juga: Apa Sih Arti Resesi Ekonomi? Ini Penjelasannya

“Artinya, kita masih akan bersama dengan suku bunga yang masih akan tinggi ke depan. Tentunya ini diperlukan di satu sisi untuk menjaga nilai tukar rupiah, agar capital outflow itu bisa ditahan dengan iming-iming bahwa imbal hasil surat utang masih menarik,” ucapnya.

Di sisi lain, kondisi kelanjutan suku bunga tinggi akan cukup menantang bagi banyak pelaku usaha. Terlebih, untuk pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman domestik menjadi sangat berat. 

Keempat, pemerintah akan kesulitan dalam mencari pembiayaan untuk menutup defisit APBN di sisa 2024 dan pembiayaan program Prabowo 2025. Meski porsi asing dalam SBN mengecil, tapi Indonesia tetap membutuhkan aliran modal dari luar negeri. 

Masalahnya, resesi ekonomi AS akan membuat appetite atau minat dari investor yang menurun membeli surat utang pemerintah. Hal ini bisa berkonsekuensi pada pembiayaan program pemerintah di 2025 dan menutup defisit APBN 2024, serta utang jatuh tempo di 2025 yang jumlahnya sangat besar. 

“Itu (pembiayaan utang) akan semakin sulit, kecuali pemerintah akan menawarkan suku bunga yang lebih tinggi dan imbasnya nanti kepada bunga utang di tahun berikutnya yang akan semakin mahal. Resesi ini punya implikasi kepada kesulitan pemerintah untuk mengakses pembiayaan yang murah,” jelasnya. 

Dampak Ke Pembiayaan Utang RI
Pemerintah menatap positif efek resesi ekonomi AS bisa semakin membuka peluang pada penurunan suku bunga kebijakan The Fed dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini pun bisa membuat tekanan suku bunga berupa imbal hasil (yield) SBN RI semakin menurun.

“Sejauh ini, (efek resesi AS) justru kalau kita lihat suku bunga kebijakannya nanti turun,” jelas Febrio.

Dia melanjutkan, sebelum suku bunga kebijakan AS berupa Fed Fund Rate menurun, pemerintah AS telah menurunkan SBN AS tenor 10 tahun cukup tajam, menjadi sekitar 3,7%. Adapun penurunan ini terus berlangsung secara tajam dalam beberapa hari ini. 

Kondisi tersebut pun Kemenkeu pantau mulai berdampak pada tingkat suku bunga SBN RI, dengan respons penurunan saat ini. Belum lama ini juga, suku bunga SBN RI sudah menurun ke level 6,77%.

“Artinya, kita akan melihat dinamika global tersebut kalau memang turun, karena memang harus mereka adjust, justru dampaknya harusnya positif bagi kita,” terangnya. 

Karena itu, pemerintah berjanji akan terus memastikan dan mengawal dinamika ekonomi yang dampak berpengaruh pada ekonomi tanah air secara harian maupun mingguan. Agar dampaknya bisa memberikan peluang dan potensi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya. 

“(Sehingga) kebijakan yang kita lakukan di dalam negeri itu justru memastikan ketidakpastian ini tidak berdampak negatif bagi kita, tetapi bagaimana ini kita gunakan supaya justru memperbaiki dan mendapatkan peluang kita memperbaiki struktur dari pembiayaan kita,” urainya. 

Bagaimana Ekonomi RI Ke Depan?
Kemenkeu juga optimistis memandang outlook pertumbuhan ekonomi nasional 2024 bisa nyaman tercapai sekitar 5,1-5,2%. Sejauh ini, optimisme itu juga ditunjang stabilitas perekonomian domestik.

Secara keseluruhan, peluang ekonomi RI tahun ini bisa bertumbuh 5,1-5,2% merupakan prestasi yang luar biasa, dibandingkan dengan situasi yang sedang dunia hadapi hari ini dan banyak negara yang mengalami kesulitan perekonomian.

“Kalau kita bisa pertahankan dengan baik, ini tentu akan menjadi modal bagi kita untuk terus bertumbuh ke depannya,” terangnya.

Sementara itu, Director of Public Policy Celios Media Wahyudi Askar menegaskan, posisi utang Indonesia masih menjadi tantangan yang tidak bisa dilepaskan. Adapun kondisinya di 2025 masih relatif tidak kalah menantang.

Baca Juga: Nyaris 40% PDB, Outstanding Utang Pemerintah RI Naik Ke Rp8.444,87 T

Dirinya menggarisbawahi, hingga kini pembiayaan utang RI telah meningkat signifikan, bahkan jumlahnya melebihi pembiayaan investasi. “Artinya, pembiayaan fiskal di Indonesia banyak dihabiskan untuk aspek-aspek yang cenderung tidak produktif,” terang Wahyudi dalam media briefing yang dipantau daring, Jakarta, Senin (5/8). 

Celios menyampaikan, utang Indonesia telah meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir di tengah risiko ketidakpastian global. Rasio utang terhadap PDB Indonesia sudah mencapai hampir sekitar 40% dan diperkirakan akan terus meningkat jika tidak ada perubahan dalam kebijakan fiskal.

Wahyudi pun menyampaikan, isu mengenai utang bakal terus membayangi rezim fiskal Prabowo-Gibran ke depan, utamanya terkait dengan berbagai janji politik yang diusung keduanya dalam masa kampanye Pemilu 2024.

“Apakah rezim fiskal Prabowo-Gibran ke depan akan terus meningkatkan utang? Terutama untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan bansos dan Makan Bergizi Gratis (MBG) misalnya, untuk mendukung janji-janji politik Prabowo-Gibran,” paparnya.

Per akhir Juni 2024, Kemenkeu melaporkan, outstanding jumlah utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.444,87 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,13%. 

Pantauan Validnews, outstanding utang pemerintah ini naik sekitar 1,09% atau setara Rp91,85 triliun ketimbang sebulan sebelumnya yang berada di Rp8.353,02 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 38,71%.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar