28 Oktober 2021
17:38 WIB
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Rencana pemerintah mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara agar mengurangi emisi karbon membutuhkan dana yang besar. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, setidaknya diperlukan anggaran sebesar Rp3.500 triliun.
“Tidak ada cara bagi Indonesia bisa menangani masalah perubahan iklim dan mengurangi PLTU dengan cara sendiri, karena ini sangat mahal,” katanya dalam Webinar ALUMNAS (Alumni AS) dengan tema "Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26”, Jakarta, Kamis (28/10).
Ia menjelaskan, dengan pembiayaan yang besar itu pemerintah sedang berusaha memberikan dukungan dari pembayaran pajak dan budget tagging, namun masih belum mencukupi.
Oleh karenanya, ia berharap Indonesia dapat memperoleh dukungan internasional untuk memenuhi pembiayaan ini sehingga target pengurangan emisi mampu tercapai.
Salah satu dukungan internasional yang diharapkan adalah melalui pertemuan negara-negara dunia dalam agenda COP26 di Glasgow, Skotlandia dalam waktu dekat.
Menurutnya, agenda tersebut dapat menjadi tonggak atau milestone bagi internasional untuk memenuhi janjinya dalam membantu negara-negara berkembang untuk mencapai target perubahan iklim.
“Kami berharap COP26 bisa menjadi milestone dimana dukungan internasional bisa diwujudkan,” ujarnya.
Seperti diketahui, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui kemampuan sendiri dan 41% melalui dukungan internasional pada tahun 2030.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka Indonesia harus mengurangi penggunaan PLTU karena berkontribusi besar terhadap produksi karbon yang berdasarkan riset sekitar 35% dari emisi karbon berasal dari konsumsi energi.
“Mayoritas konsumsi listrik kita diproduksi dari batu bara dan diesel, kita masih bergantung pada bahan bakar fosil. Itu adalah satu sektor yang sumbangan emisinya tinggi sehingga coba kita kurangi,” jelasnya.
Di sisi lain, mengurangi pemakaian PLTU merupakan langkah yang sulit karena menelan anggaran sangat besar serta sudah banyak pembangkit batu bara yang meneken kontrak melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Jika PLTU ditutup sedangkan kontraknya masih efektif ini akan menjadi masalah bisnis kalkulasi. Berapa banyak kompensasi yang harus disediakan,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah resmi akan memberlakukan pajak karbon mulai tanggal 1 April 2022 dengan sasaran penerapan pajak karbon di sektor PLTU batu bara.
“Implementasinya April 2022 ini buat untuk PLTU batu bara,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Jakarta, Kamis (7/10).
UU HPP mengatur mengenai pengenaan pajak baru berupa pajak karbon yaitu pengenaan pajak untuk memulihkan lingkungan, sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon.
Suahasil menambahkan, penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha dengan tetap berperan menurunkan emisi karbon.
“Ini dasarnya adalah pengakuan kita bahwa karbon memiliki nilai ekonomi jadi kita akan melakukan pengenaan pajak karbon dengan mekanisme cap and tax trade,” katanya.