c

Selamat

Selasa, 23 April 2024

EKONOMI

29 September 2021

19:35 WIB

Kebijakan Pangan Non-Swasembada VS Perdagangan Pangan

Padahal penting diketahui, lanjutnya, petani juga merupakan konsumen sehingga diperlukan kebijakan pangan yang menyeluruh untuk melindungi keduanya

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Kebijakan Pangan Non-Swasembada VS Perdagangan Pangan
Kebijakan Pangan Non-Swasembada VS Perdagangan Pangan
Petani memindahkan gabah ke dalam karung di Desa Talio Hulu. ANTARA FOTO/Makna Zaezar.

JAKARTA – Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta menyebut, kebijakan pangan Indonesia seringkali terpusat pada dua hal. Yakni swasembada pangan melawan perdagangan pangan, yang diasosiakan dengan kepentingan petani melawan kepentingan konsumen.

Padahal penting diketahui, lanjutnya, petani juga merupakan konsumen sehingga diperlukan kebijakan pangan yang menyeluruh untuk melindungi keduanya. 

Karenanya, kebijakan pangan mesti bergeser dari sebatas dikotomi, antara swasembada melawan perdagangan pangan yang tidak produktif. 

"(Semestinya) kebijakan pangan yang komprehensif, secara strategis mengembangkan pertanian domestik sekaligus memanfaatkan pasar internasional dengan rasional dan berbasis data,” terangnya lewat keterangannya, Jakarta, Rabu (29/9).

Sementara fokus kebijakan peningkatan pertanian domestik juga harus mulai beranjak dari hanya pada kuantitas, menjadi pada kuantitas, kualitas, keterjangkauan dan keberlanjutan.

Saat ini, lanjutnya, produktivitas pertanian dan perkebunan yang cenderung menurun dan luas lahan yang terus berkurang, membuat produksi tidak lagi dapat mengimbangi permintaan yang ada. 

BPS misalnya, mencatat produksi Gabah Kering Giling (GKG) 2018-2019 yang berkurang dari 59,2 juta ton menjadi 54,6 juta ton.

Mesti diakui, pertanian merupakan sektor penting yang menjadi tumpuan bagi pekerja sektor industri atau pelayanan yang kehilangan pekerjaan selama pandemi. Jadi, tidak hanya lapangan pekerjaan untuk petani dan pekerja di sepanjang rantai pasoknya semata. 

“Sayangnya, kebijakan untuk produksi domestik selama ini kurang memperhatikan aspek kualitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Rencana food estate yang mengambil lahan gambut berisiko mengalami gagal panen dan sebabkan kerusakan lingkungan,” tambahnya.

Kebijakan impor pangan juga patut disorot, karena cenderung proteksionis dan dijalankan dengan sistem lisensi serta kuota yang tidak transparan. Hal ini berpotensi menyebabkan masalah lainnya seperti pembatasan akses pasar, kenaikan harga, penambahan biaya administratif dan perilaku pencari rente.

Kritisi Semrawutnya Sistem Impor 
Felippa pun membeberkan beberapa hal yang menyebabkan penggunaan sistem lisensi dan kuota impor tidak efisien untuk sistem pangan Indonesia. 

Pertama, importir harus meminta rekomendasi dari Kementan dan meminta izin Kemendag. Proses yang mesti dijalani, terkadang memakan waktu yang lama sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga di dalam negeri.

Kedua, karena berbasis kecukupan, keputusan impor biasanya dikeluarkan ketika stok sudah menipis karena jauh dari musim panen. Namun justru ketika stok menipis baik di Indonesia maupun di negara lain, impor malah akan menjadi mahal. 

Riset CIPS menunjukkan, Bulog bisa berhemat hingga Rp303 miliar antara November 2010 hingga Maret 2017. Jika keputusan impor terbit lebih cepat dan saat harga internasional masih rendah.

Ketiga, proses perizinan, pembelian, dan pengiriman yang makan waktu berbulan-bulan karena harus melalui berbagai persyaratan. Terkadang malah membuat impor masuk justru ketika petani Indonesia sedang menjalani masa panen, sehingga malah merusak harga.

"Sistem lisensi impor berbasis kuota yang digadang-gadang menguntungkan petani malah justru merugikan mereka," tegasnya. 

Keempat, setiap jenjang keputusan impor diambil secara tidak transparan sehingga membuka celah rente. Seperti yang terjadi pada kasus suap daging sapi, gula, hingga bawang putih.

Dirinya menilai, perilaku korupsi terjadi bukan karena impor, melainkan sistem regulasi yang kompleks dan berbelit yang membuka banyak celah penyelewengan.

Oleh karena itu, pendekatan kebijakan peningkatan produksi pertanian domestik dan perdagangan pangan, merupakan kebijakan komplementer yang sama-sama dibutuhkan demi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

“Masing-masing pendekatan memiliki keunggulan dan juga risiko. Indonesia dapat memanfaatkan kedua pendekatan tersebut untuk membenahi kebijakan pangan yang lebih efektif,” tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar