c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

04 November 2025

21:00 WIB

Kampung Nelayan Merah Putih Dan Upaya Menuntaskan Paradoks Di Pesisir 

Disambut baik lantaran memiliki dasar program yang memadai, Kampung Nelayan Merah Putih masih memiliki catatan dari praktisi hingga pengamat. Paradoks warga pesisir saatnya dituntaskan.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Kampung Nelayan Merah Putih Dan Upaya Menuntaskan Paradoks Di Pesisir&nbsp;</p>
<p id="isPasted">Kampung Nelayan Merah Putih Dan Upaya Menuntaskan Paradoks Di Pesisir&nbsp;</p>

Foto udara - Kampung Nelayan Modern di Biak, Papua. ANTARA/HO-Humas KKP.

JAKARTA – Sebagai negara yang dianugerahi wilayah laut yang luas, wajar jika Indonesia punya banyak penduduk yang bermukim di tepi laut. Badan Pusat Statistik mencatat, berdasarkan hasil Podes 2024, ada 12.968 desa tepi laut, yakni desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan laut, baik Pantai maupun tebing karang. Jumlah desa ini setara dengan 15,39% dari total 71.308 desa/kelurahan yang ada di Indonesia.

Sulawesi Tengah (Sulteng) jadi provinsi dengan jumlah desa tepi laut terbanyak. Jumlah desa di pantai di wilayah ini mencapai 1.022 desa. Sementara itu, provinsi dengan jumlah desa tepi laut paling sedikit adalah DKI Jakarta, hanya 16 desa.

Bertempat di pinggir pantai, umumnya aktivitas ekonomi dan mata pencaharian warganya pun tak jauh dari laut. Mulai dari perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tambak garam, wisata bahari atau transportasi, biasanya jadi pilihan afiliasi profesi.

BPS merincikan, sebanyak 12.117 desa memanfaatkan laut untuk perikanan tangkap. Ada 3.756 desa lebih fokus pada perikanan budidaya dan 518 desa menjalankan usaha tambak garam. Sementara itu, 2.331 desa mengembangkan wisata bahasi dan 3.874 desa memanfaatkan laut untuk transportasi umum.

Sayangnya, meski hidup berbatasan dengan sumber daya alam yang kaya, nyatanya kemiskinan akrab dengan kehidupan warga pesisir.

Suharso Monoarfa pada Desember 2023, saat masih menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, menyebutkan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir cenderung lebih miskin. Data Bappenas-lembaga yang dipimpin Suharso,  menyebutkan persentase kemiskinan penduduk pesisir mencapai 11,02%, lebih tinggi ketimbang masyarakat non-pesisir dengan persentase kemiskinan 8,67%.

Hal ini juga dikonfirmasi dari data tingkat kedalaman kemiskinan. Masyarakat pesisir memiliki nilai indeks miskin yang lebih dalam (0,013 poin) ketimbang masyarakat non-pesisir (0,0054 poin). Lalu, apa yang mendasari paradoks ini terjadi?

Hasil penelitian Nonong Hanugrah (2017) mengenai nelayan di Sikakap, Sumatra Barat, yang dikutip dalam publikasi BPS menyebutkan beragam penyebab kemiskinan warga pesisir. Mulai dari kondisi alam dan cuaca yang tak menentu, musim paceklik, aktivitas yang belum ditopang teknologi modern, dan keterbatasan infrastruktur seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI). 

Masalah ini berpadu dengan SDM yang kurang mumpuni dan berpendidikan rendah. Mereka tak bisa mengelola penghasilan dengan pas. Bahkan biasanya cenderung boros saat tangkapan melimpah dan bermalas-malasan setelahnya.

Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) pun digagas pemerintah untuk menyelesaikan masalah kesejahteraan warga pesisir. Dicanangkan menjadi salah satu program prioritas pemerintah di era kepemimpinan Prabowo-Gibran, program ini harapkan bisa membangun dan mentransformasi desa atau kampung nelayan menjadi pusat aktivitas ekonomi pesisir yang modern, produktif dan terintegrasi.

Ketua Pelaksana KNMP Trian Yunanda kepada Validnews, Senin (3/11) menjelaskan secara garis besar program KNMP bertujuan meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan nelayan, serta mengangkat taraf hidup nelayan dan masyarakat pesisir secara berkelanjutan.

Dalam jangka panjang hingga tahun 2029, pemerintah menargetkan terbangun 1.100 KNMP yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, didahului target awal pembangunan 100 KNMP untuk tahun 2025 dengan anggaran mencapai Rp2,2 triliun. Namun hingga Desember mendatang, setidaknya baru akan dikejar pembangunan 65 KNMP tahap pertama dengan nilai anggaran mencapai Rp1,34 triliun.

“Untuk tahun 2025, pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih dibiayai melalui APBN sebesar kurang lebih Rp2,2 triliun. Anggaran ini digunakan untuk pembangunan fisik di 100 lokasi. Saat ini proses pembangunan sedang dilaksanakan di 65 lokasi tahap awal,” katanya.

Adapun beberapa titik pembangunan KNMP dari 65 lokasi yang dimaksud di antaranya terdiri dari kampung nelayan Kuala Raja di Aceh, kampung nelayan Karanganyar di Jawa Barat, Kampung Nelayan Ujung Said di Kalimantan Barat, kampung nelayan Babara di Sulawesi Barat, kampung nelayan Samkai di Papua Selatan dan masih banyak lagi.

Selain itu, KNMP juga akan dibentuk menjadi ekosistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir mencakup pengembangan alat produksi, sarana pascapanen, hingga infrastruktur pendukung lainnya seperti kuliner dan pariwisata.

Tak heran, jika salah satu fasilitas yang didistribusikan dalam pengembangan KNMP di antaranya berupa fasilitas pembangunan atau perbaikan dermaga, cold storage, bengkel dan unit produksi es yang mendukung pengelolaan hasil tangkap nelayan. Ditambah lagi, Trian memastikan, masyarakat yang berada di kawasan KNMP juga akan didorong untuk menjadi pelaku utama pembangunan, bukan hanya penerima bantuan.

“Kampung Nelayan Merah Putih bertujuan untuk membangun dari bawah. Bukan cuma membangun fisiknya, tapi juga membangun manusianya. Nelayan harus punya kemampuan lebih, bukan hanya menangkap ikan, tapi juga mengelola, memasarkan, dan bekerja sama lewat koperasi yang saat ini terintegrasi yaitu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih,” katanya.

Warga melintasi jembatan akses untuk keluar masuk pemukiman nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, Minggu (18/6/2023). Validnews/Fikhri Fathoni 

Perkara Lahan dan Kebergantungan APBN
Bicara mengenai keberlangsungan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang, Trian yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan bahwa pembangunan KNMP pada dasarnya menentukan beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi. Pertama, karakteristik masyarakat yang harus benar-benar menerima dan mendukung program KNMP, di mana sebagian besar masyarakatnya harus bekerja sebagai nelayan atau hidup dari sektor perikanan.

Kedua, status lahan yang akan menjadi lokasi pengembangan KNMP juga harus jelas dan bersih dari sengketa baik itu milik kas desa atau tanah pemerintah daerah, agar pembangunan bisa berjalan lancar dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Sebab, perkara lahan ini diakui Trian kerap kali menjadi persoalan yang menimbulkan hambatan.

“Proses validasi lahan ini merupakan proses yang tidak mudah, karena di banyak daerah masih ada persoalan status atau batas kepemilikan. Karena itu, tim KKP selalu mendampingi pemerintah daerah dengan melakukan survei langsung dalam proses penentuan lokasi, sehingga dapat dibangun sesuai dengan dengan aman dan transparan,” ungkap Trian.

Dia juga memastikan, tim KKP terus berupaya memastikan setiap kampung yang dibangun benar-benar siap baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun legalitas lahan agar KNMP dapat memberi manfaat nyata bagi masyarakat pesisir.

Dari segi pembiayaan, Trian menegaskan KNMP tidak hanya bergantung pada APBN. Sebab itu, KKP mendorong sinergi pemerintah daerah terutama untuk kegiatan setelah pembangunan selesai seperti pendampingan masyarakat, penguatan kelembagaan, monitoring, serta fasilitasi akses pasar.

Keterlibatan swasta di saat bersamaan juga terus diupayakan, terutama dalam bentuk investasi tambahan di sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan kampung nelayan, misalnya penyediaan kapal, peralatan pendingin, pengolahan hasil, atau akses logistik.

“KNMP ini dibangun dengan semangat gotong royong antara pusat, daerah, dan dunia usaha, agar manfaatnya benar-benar berkelanjutan bagi masyarakat nelayan,” tambah Trian.

Realisasi dan Kawasan Percontohan
Soal contoh mengenai kelangsungan program yang sudah berjalan, Trian menyorot lokasi KNMP yang sudah terbangun di Desa Samber Binyeri, Biak, Papua. Pendapatan masyarakat nelayan di kawasan ini telah meningkat dari Rp3 juta menjadi Rp6 juta setelah mendapatkan fasilitas, pelatihan dan sistem manajemen yang baik. Dalam praktiknya, KNMP membuat nelayan di Desa Samber Binyeri memiliki akses pasar yang lebih luas dan rantai pasok yang lebih efisien. Sebab dengan adanya cold storage, pabrik es, dan sarana logistik, ikan yang dihasilkan dapat dijaga kualitasnya dan dijual dengan harga yang lebih baik.

Saat ini, disebutkan bahwa ikan-ikan dari Biak telah dipasarkan hingga Semarang, Surabaya dan Kota Bitung untuk diekspor, serta menembus industri pengolahan di Bitung dan Makassar.

“Ini menjadi bukti bahwa ketika ekosistem di desa tersebut sudah tertata mulai dari produksi, pengolahan, sampai pemasaran, kesejahteraan nelayan bisa naik signifikan,” ujar Trian.

Lebih luas, program KNMP mengupayakan agar hasil akhir yang diperoleh bukan hanya dari segi peningkatan volume tangkapan, melainkan juga peningkatan mutu dan nilai tambah dengan pengelolaan yang baik, sehingga ikan yang sama bisa memiliki harga jual dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi.

Dampak lanjutannya, arah hilirisasi yang dibangun melalui KNMP diharapkan dapat memastikan bahwa hasil laut nelayan Indonesia tidak hanya banyak, tapi juga bernilai tinggi, berdaya saing global dan memberi kesejahteraan lebih besar bagi masyarakat pesisir.

Jaminan Pembangunan Merata
Soal program itu,  Pengamat Kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan dirinya bersama berbagai pihak tmenyambut baik program KNMP yang dijalankan pemerintah melalui KKP. Program ini menurutnya, bisa menjadi solusi dan menjawab permasalahan yang terjadi pada lapisan masyarakat yang hidup dengan mata pencarian utama sebagai nelayan. Ia menilai, sejatinya warga pesisir tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok masyarakat termiskin di Indonesia. Namun, kebanyakan nelayan memiliki kendala dalam hal manajemen baik yang dipengaruhi faktor internal maupun eksternal.

“Mereka (nelayan) dalam artian pengelolaan keuangan di level internalnya memang ada problem, sehingga kemudian mereka terjerat kemiskinan, meskipun terkadang mendapatkan hasil yang cukup besar,” ungkap Abdul kepada Validnews, Senin (3/11).

Sementara itu dari sisi eksternal, Abdul menilai pemerintah sebelum adanya program KNMP masih kurang memiliki kepedulian yang berkesinambungan atas nasib nelayan berkaitan dengan fasilitas dan infrastruktur pengelolaan perikanan.

“Di banyak tempat, kita bisa saksikan hampir mustahil mendapati kampung nelayan yang bisa dijadikan percontohan. Hampir mustahil dalam artiannya bukan tidak ada, ada, hanya bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya.

Ia memberikan contoh tak terlalu jauh dari lokasi percontohan KNMP di Biak yang sebelumnya diklaim KKP sudah berhasil membantu meningkatkan pendapatan nelayan, di Maluku Utara masih banyak kampung nelayan yang berjibaku dengan persoalan dasar dan belum terbantu oleh pemerintah. Lebih rinci, persoalan dasar yang dimaksud di antaranya terdiri dari akses untuk mendapatkan bahan bakar kapal yang belum memadai hingga fasilitas penjualan hasil tangkap yang belum sepenuhnya didukung.

Abdul membeberkan data, dari sekitar 3,5 juta nelayan yang saat ini ada di Indonesia, 80% di antaranya masih tergolong nelayan kecil yang mengandalkan perahu berkapasitas di bawah 10 gross tonnage (GT).

KNMP dengan tujuan memfasilitasi kalangan nelayan dalam memperoleh kemudahan akan kebutuhan dasar mulai dari stasiun pengisian bahan bakar hingga fasilitas penyimpanan, bisa terbangun secara merata, adalah program yang baik. Lebih jauh, Abdul menyorot anggaran pemerintah untuk program KNMP yang menurutnya cukup besar. Sebagai perhitungan, jika pada 100 lokasi KNMP pertama pemerintah menganggarkan Rp2,2 triliun, artinya terdapat alokasi sebesar Rp22 miliar untuk setiap satu daerah KNMP. 

Efektivitas Pembangunan
Menurut Abdul, anggaran besar tersebut perlu dikawal agar penggunaannya tidak hanya habis untuk pembangunan awal tanpa mendengarkan aspirasi dan kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh masing-masing masyarakat sekitar yang lebih memahami kondisi geografis kawasan dan apa hal yang sebenarnya dibutuhkan.

“Alokasi anggaran yang sudah diketuk palu untuk pembangunan kampung nelayan itu harus benar-benar memberikan manfaat. Bukan justru meninggalkan bangunan yang pada akhirnya terbuang percuma uangnya dan tidak bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan,” tandas Abdul.

Dia mengiungatkan, pembangunan KNMP juga harus disertai penyelesaian terhadap sejumlah masalah krusial yang selama ini banyak terjadi dalam sektor ikan tangkap. Salah satunya metode penangkapan yang bertentangan dengan aturan yang saat ini berlaku.

“Saya kira pembangunan apapun, pembangunan secara fisik untuk mendukung kehidupan nelayan juga harus menyasar masalah-masalah yang hadir di tengah lapangan. Di Maluku Utara itu tengah marak bom ikan,” tambahnya.

Tak ketinggalan, persoalan ketepatan sasaran menurut Abdul juga menjadi hal yang patut dipertimbangkan dengan matang dalam kelangsungan program KNMP. Dengan mengedepankan karakteristik sosial budaya, dirinya menekankan bahwa prinsip pengembangan KNMP tidak bisa dipukul rata untuk semua daerah.

Sebab, menurutnya jika pemerintah memaksa untuk mengembangkan KNMP dengan prinsip seragam di berbagai daerah dengan karakteristik berbeda, bukan tidak mungkin justru kesulitan yang akan dihadapi oleh para nelayan dalam mengembangkan aktivitas perikanan mereka.

Butuh Organisasi Ekonomi
Melengkapi pandangan Abdul, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan, pengembangan program KNMP yang berjalan sejauh ini seharusnya tidak hanya mendorong pada pembangunan fisik, melainkan juga pembangunan non fisik.

Dani tidak menampik, prinsip dasar program KNMP pada dasarnya sudah cukup baik dengan fokus membangun serta meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir secara komprehensif. “Cuma catatan kami sebenarnya yang namanya pembangunan itu kan tidak melulu bicara soal fisik ya. Tapi juga non fisiknya, itu adalah pengetahuan, pendidikan bagi masyarakatnya. Edukasi ya penguatan institusinya, penguatan organisasi ekonominya,” papar Dani kepada Validnews, Senin (27/10).

Dia menjelaskan, pembangunan fasilitas memadai di KNMP setiap daerah bisa menjadi terbengkalai apabila kawasan sekitar belum memiliki organisasi ekonomi yang dapat memaksimalkan fasilitas terintegrasi yang dimiliki.

Senada dengan Abdul, Dani mengatakan permasalahan yang saat ini terjadi di lapisan masyarakat bermata pencaharian utama nelayan menurut Dani disebabkan oleh belum adanya organisasi ekonomi yang membentuk siklus ekonomi nelayan atau ekonomi masyarakat pesisir itu sendiri, sehingga cenderung tertinggal.

“Karena salah satu faktornya adalah organisasi ekonominya enggak ada, atau bahkan kalau pun ada dia tidak bekerja dalam konteks tujuan-tujuan untuk mensejahterakan masyarakat,” imbuhnya.

Sebab itu, dirinya mendorong agar pengembangan KNMP juga disertai dengan penguatan pada organisasi ekonomi entah melalui pembentukan koperasi baru atau koperasi yang nantinya memang sudah terintegrasi menjadi bagian program keseluruhan bersama dengan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

Nelayan memasukkan ikan ke dalam truk saat lelang ikan di tempat pelelangan ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (25/5/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara 

Fasilitas Terbengkalai
Persoalan yang tidak kalah penting terhadap kelangsungan program KNMP dalam jangka panjang adalah keberlangsungan sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah. Menurut Dani, fasilitas seperti cold storage dan lainnya yang saat ini diberikan oleh pemerintah kebanyakan dilakukan di daerah yang masih belum terlalu maju, atau lemah dari segi teknologi, sehingga berisiko membuat fasilitas yang diberikan terbengkalai.

“Kami sudah sampaikan ke Kementerian ya bahwa aspek ini yang harus dilihat juga. Karena pengalaman yang lalu-lalu bantuan pemerintah apakah itu bentuknya cold storage, apakah itu bentuknya TPI (tempat pelelangan ikan) itu banyak yang tidak bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan salah satunya karena sumber daya manusianya enggak disiapin, jadi akhirnya terbengkalai,” beber Dani.

Kondisi tersebut, menurutnya diperburuk dengan tidak adanya dukungan salah satunya dalam bentuk anggaran dari pemerintah daerah dalam hal pemeliharaan.

Di samping itu, kesiapan SDM dalam hal mengelola fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat menurut Dani juga menjadi faktor penting agar kelangsungan program KNMP dapat berjalan secara berkelanjutan.

Penyuluhan kepada SDM yang dimaksud, menurut Dani penting dilakukan agar ke depan, masyarakat sekitar tidak selamanya dan sepenuhnya bergantung pada bantuan yang tidak selamanya dapat diberikan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

“Jadi imajinasi untuk pengembangan ekonomi, peningkatan usaha itu yang perlu terus-menerus dipasok gitu di masyarakat. Pelatihan-pelatihan itu harus dilakukan baik itu mencakup pelatihan untuk merawat dari fasilitas ataupun bagaimana pemanfaatan fasilitas itu untuk pengembangan ekonomi yang lebih lanjut secara berkesinambungan,” urai Dani.

Nelayan membongkar muat ikan cakalang hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Panambuang, Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (9/12/2022). AntaraFoto/Andri Saputra 

Klaim Keberlanjutan KKP
Menanggapi pandangan dan masukkan dari Abdul dan Dani, utamanya mengenai organisasi ekonomi, KKP memastikan setelah pembangunan fisik KNMP selesai, fokus pemerintah adalah dengan menjaga keberlanjutan dan kemandirian daerah di mana semua fasilitas yang sudah dibangun seperti pabrik es, cold storage, tambatan perahu, dan sarana pendukung lainnya akan diserahkan pengelolaannya kepada KDMP.

“Koperasi inilah yang nantinya menjadi wadah operasionalisasi kegiatan ekonomi di desa, sekaligus wadah bagi masyarakat untuk mengelola aset bersama secara transparan dan berkelanjutan,” tegas Trian kembali.

KKP menekankan, tetap akan mendampingi terutama dalam bentuk pelatihan, peningkatan kapasitas manajerial dan penguatan kelembagaan koperasi. Tujuannya, tentu agar masyarakat pesisir memiliki kemampuan untuk mengelola fasilitas yang diberikan secara mandiri, profesional, dan berorientasi bisnis.

Trian kembali mengatakan, pendampingan dan pelatihan manajemen keuangan serta kelembagaan juga akan diberikan agar KDMP dan KNMP yang berjalan beriringan mampu menjalankan usaha secara transparan, akuntabel, dan berorientasi bisnis sehingga mampu membantu nelayan menjalin kemitraan dengan industri pengolahan, distribusi, dan ekspor, serta pendampingan dalam pemeliharaan aset secara rutin, agar seluruh fasilitas tetap berfungsi optimal dan berumur panjang.

Dalam praktiknya, ke depan KKP juga mengaku akan memfasilitasi keterlibatan pihak, terutama dalam hal investasi, penyediaan sarana produksi maupun penguatan pasar perikanan. Ada keinginan besar, agar sistem ekonomi nelayan dapat terbentuk baik dan berlanjut. 

“Dari upaya ini KKP ingin memastikan bahwa KNMP bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun sistem ekonomi nelayan yang mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan,” tegas Trian.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar