c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

09 November 2022

16:02 WIB

Indonesia Terima Pembayaran Pertama Pengurangan Emisi

Indonesia telah menerima pembayaran pertama (advance payment) sebesar US$20,9 juta atau sekitar Rp320 miliar untuk pengurangan emisi di Kalimantan Timur.

Editor: Fin Harini

Indonesia Terima Pembayaran Pertama Pengurangan Emisi
Indonesia Terima Pembayaran Pertama Pengurangan Emisi
Ilustrasi. Kick off Rehabilitasi Hutan dan Lahan APBN 2021 di kawasan RTH Embung Lok Kudat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. ANTARAFOTO/Bayu Pratama S

JAKARTA – Indonesia telah menerima pembayaran pertama (advance payment) sebesar US$20,9 juta atau sekitar Rp320 miliar berdasarkan kesepakatan pada penandatanganan Emission Reduction Payment Agreement (ERPA) antara Pemerintah Indonesia dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Bank Dunia untuk kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) di Provinsi Kalimantan Timur. 

Kesepakatan tersebut menyebutkan Indonesia akan menerima pembayaran hingga US$110 juta atau sekitar Rp1,6 triliun, untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang terverifikasi.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen mengatakan pembayaran ini akan membangun kepercayaan terhadap sistem pembayaran berbasis kinerja di tingkat internasional dan nasional, sebagai perangkat penting untuk mendorong mitigasi perubahan iklim.

“Kami menghargai penurunan laju deforestasi yang berhasil dilakukan oleh Indonesia selama lima tahun terakhir dan kami berupaya untuk terus mendukung transisi menuju ekonomi hijau,” katanya dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu (9/11).

Indonesia adalah negara pertama di Kawasan Asia Timur Pasifik yang menerima pembayaran dari program FCPF. Pembayaran pertama tersebut mencakup 13,5% dari emisi yang dilaporkan oleh Pemerintah Indonesia pada periode monitoring 2019-2020. Pembayaran secara penuh akan diberikan setelah finalisasi verifikasi oleh pihak ketiga (auditor independen) selesai dilakukan.

Pembayaran pertama tersebut akan digunakan sesuai dengan rencana yang tercantum pada Dokumen Benefit Sharing Plan (BSP) yang telah disusun oleh Pemerintah Indonesia dan disampaikan ke FCPF pada Oktober 2021. 

Mengacu pada dokumen tersebut, pembagian manfaat akan diberikan secara konsultatif, transparan dan partisipatif untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan terkait dapat memperoleh manfaat dari pembayaran pengurangan emisi. 

Pembayaran akan diberikan kepada pihak-pihak yang berkontribusi pada kegiatan pengurangan emisi di Provinsi Kalimantan Timur, dari level Pusat (KLHK), Pemerintah Daerah, sampai ke level tapak (masyarakat).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan, program ini memberikan peluang bagi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor bisnis, dan masyarakat untuk bersama-sama melindungi hutan Indonesia, dan menjadi pengakuan atas keberhasilan Indonesia dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

“Ini baru langkah awal. Upaya kami untuk mengelola hutan secara berkelanjutan akan terus dilakukan untuk mencapai target pengurangan emisi yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, mengatasi dampak perubahan iklim, dan menempatkan Indonesia di jalur pembangunan hijau,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, pengurangan emisi di Kalimantan Timur berhasil dicapai melalui beberapa perubahan kebijakan, termasuk peningkatan tata kelola dan pemantauan hutan, restorasi ekosistem seperti pada lahan gambut dan mangrove, moratorium secara permanen untuk konversi lahan gambut dan hutan primer, program-program untuk memberikan kejelasan terkait kepemilikan lahan, dan mendorong penghidupan bagi masyarakat pedesaan melalui program perhutanan sosial pemerintah dan kemitraan di sekitar kawasan konservasi.

Pastikan Semua Pihak Dapat Manfaat
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengatakan Kalimantan Timur adalah jantung dari pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan. Untuk itu ia memastikan semua pihak mendapatkan manfaat, terutama masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat dari hasil jangka panjang program dan pembayaran ini.

“Termasuk mata pencaharian yang lebih baik, hutan yang lebih sehat, dan masyarakat yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim. Kami juga berharap bahwa program ini akan menarik sumber pembiayaan lain karena kami berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan dalam jangka panjang,” ucapnya.

Untuk diketahui, ERPA adalah kontrak yang mengikat secara hukum untuk memberikan pembayaran jasa lingkungan. Dengan kata lain, kompensasi atas upaya Indonesia untuk melestarikan hutan tropis dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. 

Pembayaran tersebut dirancang untuk membantu Indonesia dan pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh pembiayaan konservasi hutan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. 

Hal ini diharapkan dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim dari kehilangan hutan dan degradasi hutan dengan membuat konservasi hutan lebih menguntungkan daripada deforestasi, dengan menawarkan insentif berbasis hasil kepada berbagai negara untuk mengurangi emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan.

Sementara itu, FCPF adalah kemitraan global pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan organisasi Masyarakat Adat yang berfokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang, kegiatan yang biasa disebut sebagai REDD+. 

Diluncurkan pada 2008, FCPF telah bekerja sama dengan 47 negara berkembang di Afrika, Asia, serta Amerika Latin dan Karibia, bersama dengan 17 donor yang telah memberikan kontribusi dan komitmen senilai US$1,3 miliar.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar