c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

08 Oktober 2025

12:51 WIB

INDEF Ungkap Sejumlah Solusi Benahi Masalah Sawit Nasional

Perlindungan terhadap petani kecil pada komoditas kelapa sawit menjadi prioritas, karena komoditas ini memiliki industri yang berbeda dengan sektor ekstraktif lainnya.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">INDEF Ungkap Sejumlah Solusi Benahi Masalah Sawit Nasional</p>
<p id="isPasted">INDEF Ungkap Sejumlah Solusi Benahi Masalah Sawit Nasional</p>

Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Senin (27/3/2023). Antara Foto/Muhammad Izfaldi

JAKARTA - Peneliti INDEF, Afaqa Hudaya menyebut saat ini mayoritas petani kecil masih beroperasi secara individual dan belum tergabung dalam koperasi. Hal ini mempersulit mereka untuk memperoleh akses pembiayaan, pendampingan, hingga sertifikasi keberlanjutan.

"Persoalan legalitas menjadi hambatan paling krusial. Sekitar 62% lahan sawit petani masih terindikasi berada di kawasan hutan, meskipun banyak di antaranya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM)," kata Afaqa dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (8/10).

Kondisi tersebut, menurut Afaqa, mengakibatkan para petani tak bisa mengakses program peremajaan maupun pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Selain itu, partisipasi untuk memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Dari total 6,2 juta hektare (ha) lahan sawit rakyat, baru sekitar 1% yang memiliki ISPO. Padahal sertifikasi ini telah digadang-gadang sejak 13 tahun lalu.

Direktur Kerja Sama Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah turut buka suara. Ia menilai, hal krusial yang harus dilakukan saat ini adalah penguatan kapasitas petani, sebelum memperjuangkan posisi sawit Indonesia di pasar internasional.

"Diplomasi menjadi garda terdepan dalam promosi, advokasi, dan replikasi praktik baik," tutur dia.

Baca Juga: GAPKI Proyeksikan Harga CPO Di Sisa 2025 Tembus US$1.300/MT

Imaduddin berpendapat, Uni Eropa bukanlah satu-satunya pasar strategis bagi sawit Indonesia, melainkan ada China, India, dan Pakistan yang justru menyerap sawit nasional dengan jumlah lebih besar. Oleh karena itu, perlu strategi diplomasi yang bertujuan untuk mendiversifikasi pasar global serta mempromosikan praktik baik petani kecil di forum internasional.

Ia mengungkapkan, petani kecil pada perkebunan sawit ini memiliki keterbatasan akses finansial dan teknologi, sehingga memperburuk kondisi mereka. Sementara, biaya kepatuhan untuk memenuhi standar internasional seperti EUDR sangatlah tinggi jika harus ditanggung secara individual.

"Skema sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO maupun RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil) belum memberikan insentif harga yang signifikan bagi petani kecil, sehingga motivasi untuk berpartisipasi rendah," jelas Imaduddin.

Kondisi itu, kata dia, berdampak langsung pada kesejahteraan. Mengutip kajian INDEF di tahun 2024, diperkirakan risiko ketidakpatuhan EUDR dapat menyebabkan penurunan harga sawit 1% hingga 9% dan meningkatkan tingkat kemiskinan petani kecil sebesar 1,15% sampai 7,20%.

Rantai Pasok Panjang
Lebih lanjut, Head of International Relation and People Development APKASINDO, Djono Albar Burhan membeberkan adanya sejumlah tantangan nyata di lapangan.

"(Permasalahan di lapangan) adanya disparitas harga TBS (Tandan Buah Segar), permasalahan ketertelusuran dengan sistem potongan harga yang merugikan petani hingga ratusan ribu rupiah per ton, permasalahan legalitas lahan, serta keterbatasan akses teknologi modern," urai Djono.

Ia mengatakan, saat ini lebih dari 2,89 juta petani kecil belum tersentuh program pendanaan BPDP. Rata-rata produktivitas lahan petani pun masih jauh di bawah potensi, yakni sekitar 10-15 ton TBS per hektare.

Padahal, imbuhnya, jika menggunakan Good Agricultural Practices (GAP), maka potensi produktivitas bisa naik menjadi sekitar 30-40 ton TBS per hektare dengan rendemen 23-25%.

Produktivitas yang rendah diperparah dengan rantai pasok yang panjang. Panjangnya rantai pasok menjadi akar permasalahan. Djono menyampaikan, dari Kajian Kementerian Pertanian, terekam bahwa struktur distribusi TBS dari petani ke swadaya Pabrik Kelapa Sawit umumnya melibatkan banyak perantara.

Hal ini tentu berdampak pada harga TBS di tingkat petani semakin tertekan dan margin keuntungan yang makin kecil. Rantai pasok yang panjang juga turut menghambat penerapan sistem ketertelusuran (traceability) yang menjadi salah satu prasyarat utama dalam EUDR.

Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan ini, Kementan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 132 Tahun 2024 dan Permentan Nomor 05 Tahun 2025 telah mengalokasikan pendanaan BPDP untuk memperkuat pengembangan sumber daya manusia (SDM) perkebunan sawit rakyat.

Baca Juga: Kemenhut Musnahkan Sawit di Tesso Nilo

Penting diketahui, program pengembangan SDM perkebunan sawit rakyat tersebut antara lain pelatihan teknis, vokasi, kewirausahaan, dan penumbuhan penyuluh swadaya yang berasal dari kalangan petani itu sendiri. Penyuluh nantinya diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang bisa meningkatkan kompetensi petani dalam pengelolaan lahan, praktik berkelanjutan, dan penerapan teknologi digital.

Djono menambahkan, kebijakan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menargetkan perbaikan 120 ribu hektare per tahun ini juga menjadi bagian dari strategi besar peningkatan produktivitas dan keberlanjutan. Program ini dilengkapi dengan perbaikan infrastruktur kebun, sertifikasi ISPO, serta dukungan pembiayaan melalui KUR dan BPDP.

Ilustrasi Kebun Sawit Tampak Atas. Shutterstock/Rich Carey 

Saran Ekonom
Adapun sejumlah langkah kebijakan yang dianggap mampu mengatasi masalah-masalah tersebut berdasarkan diskusi para ekonom INDEF, pertama yaitu regormasi legalitas lahan harus menjadi prioritas. Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) atau e-STDB perlu diakui sebagai instrumen utama legalitas, diselaraskan dengan kebijakan One Map Policy agar tidak terjadi tumpang tindih kawasan.

Kedua, penguatan kelembagaan petani melalui koperasi harus difasilitasi sehingga memungkinkan sertifikasi kolektif dan pembangunan Internal Control System (ICS).

Baca Juga: Pemerintah Dorong Daya Saing Global Industri Sawit Nasional Lewat Sistem Tracing

"Insentif dari APBN, APBD, dan BPDP dapat diarahkan untuk menanggung biaya pra sertifikasi," kata Imaduddin.

Ketiga, percepatan digitalisasi rantai pasok sangat penting, melalui pembangunan national dahsboard untuk ketertelusuran yang mengintegrasikan data lahan, produksi, dan transaksi. Teknologi pemetaan murah berbasis aplikasi atau IoT dapat dimanfaatkan untuk membantu petani skala kecil.

"Peluang besar terbuka melalui sertifikasi, digitalisasi, diversifikasi pasar, serta diplomasi internasional. Momentum penundaan EUDR harus dimanfaatkan maksimal untuk memperkuat kapasitas petani kecil, menyederhanakan regulasi, dan menyiapkan dukungan anggaran, termasuk bagi program STDB dan peremajaan sawit rakyat," tandas Imaduddin.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar