23 April 2025
12:16 WIB
IESR Desak Indonesia Harus Suntik Mati 18 PLTU Sampai 2030
IESR merekomendasikan ada sebanyak 18 PLTU dengan total kapasitas 9,2 GW yang harus disuntik mati selama 2025-2030. Pensiun dini PLTU batu bara butuh biaya US$27,5 miliar sampai 2050 mendatang.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Antara Foto/Muhammad Iqbal
JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan yang turut mengatur soal pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Terbitnya beleid itu pun diikuti dengan langkah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang sepakat menyuntik mati PLTU Cirebon-1 berkapasitas 650 Megawatt (MW).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, pengalaman selama tiga tahun untuk mempersiapkan pensiun dini PLTU Cirebon-1 harus menjadi pelajaran berharga untuk mengkaji kemungkinan suntik mati PLTU batu bara lainnya di masa yang akan datang.
"Kajian IESR telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batu bara, seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca," jelasnya lewat keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (23/4).
Baca Juga: Bahlil Nantikan Dana ADB Untuk Suntik Mati PLTU Cirebon-1
IESR sendiri merekomendasikan ada sebanyak 18 PLTU dengan total kapasitas 9,2 Gigawatt (GW) yang harus disuntik mati selama periode 2025-2030, terdiri dari 8 PLTU milik PT PLN berkapasitas 5 GW dan 10 PLTU lainnya milik swasta dengan kapasitas 4,2 GW.
Sementara dalam kurun 2022-2045, pemerintah harus menghentikan operasional sebanyak 72 PLTU dengan total kapasitas 43,4 GW dalam rangka memitigasi krisis iklim supaya kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,5°C.
Namun demikian, dia menyampaikan, langkah menyuntik mati PLTU batu bara tetap membutuhkan pendanaan yang mumpuni. Sehingga, Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025 turut mempertimbangkan ketersediaan dukungan pendanaan baik dari dalam maupun luar negeri untuk mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara.
Taksiran IESR, biaya pensiun dini PLTU sampai tahun 2030 mendatang adalah sebesar US$4,6 miliar dan US$27,5 miliar sampai 2050.
Dari angka biaya itu, Fabby menyebutkan, sekitar US$18,3 miliar atau dua per tiganya merupakan pendanaan yang dibutuhkan untuk menyuntik mati PLTU milik swasta. Sedangkan dana untuk pensiun dini PLTU batu bara milik PT PLN ialah sebanyak US$9,2 miliar.
"Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan dan subsidi PLTU mencapai US$96 miliar pada 2050," jelasnya.
Baca Juga: Pengamat: Belum Ada Kejelasan Soal Suntik Mati PLTU
Dia juga mengatakan, dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang notabene tidak efisien, mahal, dan menyebabkan polusi udara bisa berasal dari APBN.
Secara paralel, anggaran yang ditambah dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) wajib digunakan juga untuk mempercepat pembangunan proyek-proyek pembangkit berbasis energi terbarukan, serta penguatan jaringan kelistrikan.
Di lain sisi, Fabby juga tak menutup kemungkinan pengoperasian pembangkit batu bara secara fleksibel dapat dilakukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan, utamanya surya dan angin, sembari menanti masa pensiun PLTU.
"Pendekatan ini akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, dimana PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten dalam batas teknis yang aman bagi sistem. Dengan cara ini, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat secara signifikan," pungkasnya.