c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

31 Oktober 2025

20:11 WIB

IASC, Secercah Harapan Korban Penipuan Keuangan

Terdapat critical time pelaporan, yakni 12 jam. Semakin cepat korban penipuan keuangan melaporkan ke IASC, semakin cepat aliran dana bisa ditelusuri dan diselamatkan.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">IASC, Secercah Harapan Korban Penipuan Keuangan</p>
<p id="isPasted">IASC, Secercah Harapan Korban Penipuan Keuangan</p>

Tangan terjulur keluar dari layar laptop untuk mencuri uang. Shutterstock/Gajus.

JAKARTA - Perkembangan teknologi telah membawa dampak besar di kehidupan. Tak hanya mengubah cara berinteraksi dan bekerja, tetapi secara tak langsung juga mentransformasi pola pikir masyarakat modern.

Kemajuan ini pada akhirnya melahirkan berbagai kemudahan. Mulai dari transaksi keuangan digital yang praktis, bisa menjalin komunikasi instan lintas benua melalui internet, hingga sistem otomatisasi yang menyederhanakan kehidupan sehari-hari.

Tapi sayangnya, teknologi ibarat "pedang bermata dua". Di satu sisi, digitalisasi memberikan kemudahan dan akses yang lebih luas. Namun di sisi lain, perkembangan teknologi juga memunculkan ancaman baru.

Perkembangan teknologi nyatanya diiringi dengan peningkatan modus kejahatan yang semakin canggih. Mulai dari penipuan digital yang kian sulit dideteksi hingga peretasan sistem yang lebih terorganisir. Fenomena ini menunjukkan paradoks kemajuan teknologi.

Indonesia tak luput, bahkan laporan scam keuangan mencapai ratusan tiap hari. Jauh lebih banyak dibandingkan negara tetangga.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengungkapkan Indonesia menduduki posisi tertinggi dalam laporan scam keuangan.

Berdasarkan data Pusat Penanganan Penipuan Transaksi Keuangan (Indonesia Anti-Scam Centre/IASC) selama kurang dari setahun, yakni periode 22 November 2024 hingga 24 Oktober 2025, tercatat sudah ada sebanyak 311.597 laporan scam yang masuk. Ini berarti, rata-rata ada 874 laporan setiap hari di Tanah Air.

"Kalau dilihat di sini laporan penipuan, Indonesia ini besar sekali, sudah 311.597, ini angkanya dari November 2024 ke Oktober 2025, tapi kalau di Januari 2025 sampai dengan Oktober 2025 ini sekitar 200 ribu. Jumlah rekening yang sudah kita blokir 510.357," kata perempuan yang akrab disapa Kiki dalam acara Fekdi x IFSE di Jakarta, Jumat (31/10).

Secara keseluruhan, OJK melaporkan, total kerugian masyarakat yang menjadi korban scam atau penipuan keuangan selama periode 22 November 2024 hingga 24 Oktober 2025, mencapai Rp7,3 triliun. Dari dana tersebut, jumlah dana yang berhasil diblokir atau diselamatkan yakni mencapai Rp381,3 miliar.

Sebagai perbandingan, negara tetangga Singapura mencatat sebanyak 51.501 laporan pada 2024 atau rata-rata 140 laporan per hari. Meski, nilai kerugiannya lebih besar mencapai Rp13,97 triliun.

Sementara itu, Malaysia selama periode 12 Oktober 2022 hingga 3 September 2025, tercatat ada sebanyak 253.553 laporan. Negeri Jiran ini rata-rata laporan per harinya juga cukup tinggi, yakni menerima 242 laporan per hari. Adapun nilai kerugian Rp2,6 triliun dan Rp325 miliar dana yang berhasil diblokir.


Ilustrasi phising/scam bank digital. ValidNewsID/Irvan Syahrul Manfaatkan Psikologis
Pelaku scam tak pandang bulu dan bisa menargetkan siapa saja sebagai korbannya. Dari yang muda hingga lanjut usia (lansia), dari yang kekurangan ekonomi hingga berkecukupan, dan dari yang akrab dengan internet hingga gagap teknologi (gaptek).

Para pelaku biasanya memanfaatkan celah ketidaktahuan masyarakat dan memanfaatkan psikologis korban, baik gembira, sedih, panik, hingga serakah dalam memuluskan aksi tipu-tipu.

Salah satu yang menjadi korban scam di Indonesia adalah Nabila (35 tahun). Karyawan swasta ini harus kehilangan uang tabungan senilai Rp52 juta yang sudah susah payah dikumpulkannya.

"Itu uang dana darurat sama tabungan KPR (kredit pemilikan rumah) saya," kata Nabila saat berbincang dengan Validnews, Jakarta, Senin (27/10).

Nabila bercerita, sore itu telepon rumahnya berdering. Lantaran hanya sendiri di rumah, ia lantas mengangkat telepon seperti biasa. Saat telepon diangkat, ada pemberitahuan kalau listrik yang digunakan akan segera dimatikan.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Nabila digiring untuk menekan nomor 8 guna dapat tersambung dengan customer service (CS) PLN Pusat.

Setelah terhubung dengan CS, suara di ujung telepon langsung menyebut nama lengkap Nabila. Merasa yakin, CS PLN Pusat yang mengaku bernama Novriansyah ini memberitahukan terdapat laporan pemasangan listrik dengan pemakaian yang melebihi batas normal untuk aktivitas judi online (judol).

Akhirnya, CS tersebut memberi dua penawaran kepada Nabila, yakni membuat laporan secara langsung ke Bandung atau membuat laporan secara online. Tanpa berpikir panjang, Nabila menyanggupi untuk membuat laporan secara online.

Dari sana, komunikasi beralih ke WhatsApp (WA). Nabila kemudian disambungkan ke seseorang yang mengaku polisi bernama Aipda Agung Kurniawan. Tanpa menaruh curiga, Nabila bahkan melakukan video call dengan oknum tersebut selama beberapa menit.

Setelah itu, Nabila dihubungkan ke atasan Agung dan menceritakan kronologi. Tak berhenti sampai di situ, Nabila kembali dioper seseorang yang disebut sebagai jaksa yang bernama Heryanto Hamonangan S.H., M.H. dan Rike Novia Dewi S.H., M.H., dengan kembali menceritakan kronologi yang sama.

Menurut komplotan itu, setelah ditelusuri, Nabila diduga terlibat dengan kasus pencucian uang dengan salah satu tersangka yang mereka sudah tangkap. Kasusnya pun dikategorikan kelas 1, sehingga harus dirahasiakan karena melibatkan rahasia negara.

"Nah dari situ, mereka bilang saya transaksi sama tersangka yang namanya Hardi Susanto itu jual-beli buku tabungan sebuah bank Himbara senilai Rp68 juta dan si Hardi itu cuci uang senilai Rp775 juta atau berapa, saya dapat 10%-nya," ujarnya.

Intimidasi ini dilakukan berkali-kali disertai dengan ancaman akan dilakukan penangkapan jika tidak bekerja sama baik dengan negara.

"Intimidasi banget sih berkali-kali ancam saya mau ditangkep, enggak kerja sama sama negara lah, dengan nada dan suara bapak polisi umumnya... Saya kalau enggak kerja sama sama polisi (penipu mengaku dari Polrestabes Bandung dan Jaksa Bandung), saya bakal dilayangkan surat penangkapan dan akan dicap bantu si Hardi ini," terang dia.

Dalam kondisi ketakutan dan diliputi rasa panik ini, Nabila diminta untuk menyebutkan bank dan jumlah dana yang dimiliki, tanpa menyebutkan nomor rekening dan pin. Nabila pun menuruti dan mengikuti alur penipu.

Selanjutnya, Nabila diarahkan untuk mengirim dana senilai Rp52 juta ke rekening bank Himbara yang diklaim merupakan milik pejabat PPATK yang bernama Wahyudi.

"Dia enggak suruh saya transfer jumlah. Saya disuruh sebut punya bank apa aja dan berapa jumlahnya. Nah dari situ, dia baru bisa dapat angka Rp52 juta itu dan suruh transfer dengan keterangan perlindungan 15-30 menit, katanya bakal ditransfer balik setelah pemeriksaan dari PPATK," imbuhnya.

Usai dana dikirim, pengembalian dana tak kunjung dilakukan hingga waktu yang dijanjikan tiba. Bukannya dana kembali, Nabila justru kembali disuruh untuk mengirim dana tambahan.

"Dia bilang pemeriksaan saya enggak akan dilakukan kalau belum transfer semua. Harus semua (reksadana dan lain-lain) juga di-close, dicairkan dan ditransfer, baru pemeriksaan bisa dilaksanakan. Kalau saya enggak melakukan itu, berarti saya enggak kerja sama dengan negara. Yang RDN ini kebetulan pisah bank sama rekening utama. Jadi, dia suruh saya ke bank pagi-pagi keesokannya disuruh cairin," beber dia.

Penipuan yang dialami oleh Nabila ini merupakan modus penipuan yang mengatasnamakan pihak resmi (impersonation). Dalam hal ini, pelaku mengaku sebagai "oknum" instansi pemerintah hingga polisi. Dalam kasus ini, pelaku memanfaatkan psikologis korban.

Modus penipuan mengaku pihak lain (fake call) menjadi salah satu dari tiga modus penipuan terbanyak di Indonesia, menurut data IASC. Sepanjang periode 22 November 2025 hingga 24 Oktober 2025, tercatat ada sebanyak 33.072 laporan, dengan jumlah kerugian Rp1,36 triliun dan rata-rata kerugian Rp39,06 juta untuk modus penipuan ini.

Iming-iming Manis
Senada dengan Nabila, Eka Rini Meitari (29 tahun) juga menjadi salah satu korban scam yang marak beredar di Indonesia. Ibu dari dua anak kembar ini harus kehilangan uang dalam jumlah besar, yakni hampir mencapai Rp100 juta, atau tepatnya Rp91 juta hanya dalam kurun waktu 24 jam saja.

Pada akhir April 2025, Eka secara tiba-tiba mendapati dirinya sudah masuk ke dalam satu grup Telegram. Pelaku mengundang Eka untuk menjadi affiliator di grup tersebut.

"Telegram saya ini jarang banget saya pakai untuk komunikasi secara personal, bahkan komunitas atau grup. Tapi saya menggunakan Telegram ini untuk komunikasi dengan customer service dari salah satu website yang saya pakai untuk bisnis," ungkap Eka kepada Validnews, Kamis (30/10).

Eka tak menaruh curiga. Lantaran, dirinya memang sudah terjun dan bahkan masih aktif menjadi affiliator salah satu bisnis product digital.

Eka langsung tertarik dengan penawaran menggiurkan yang ditawarkan. Ia pun lantas mengikuti instruksi yang kala itu berjumlah sembilan tahap.

"Pada saat melakukan step 1, 2, 3, itu saya tugasnya cuma disuruh screenshoot, like, dan screenshoot lagi. Dari sana, saya dapat komisi sekitar Rp400 ribu," cerita dia.

Komisi Rp400 ribu tersebut tak lama langsung dikirimkan kepada Eka sebanyak tiga kali dari dompet digital sebuah marketplace.

"Tapi kesalahan saya memang saya enggak teliti sama sekali. Jadi, karena pada saat itu saya sambil jaga anak-anak saya, saya juga lagi pikirannya penuh, jadi enggak terlalu fokus, saya sudah merasa ini bisa dipercaya," katanya.

Setelah mendapat komisi tersebut, Eka tak ingin melanjutkan ke tahap selanjutnya, karena kala itu dirinya harus mengisi kelas. Tapi pada saat Eka tidak melanjutkan tahap selanjutnya, handphone-nya mulai berdering.

Ketika diangkat, suara di seberang sana terus meyakinkan Eka untuk melanjutkan tahap selanjutnya dan memberikan instruksi untuk transfer Rp6 juta. Si penelpon memberikan iming-iming manis, yakni Eka akan diberi keuntungan atau komisi sekitar 40-100% jika menjalankan misi transfer uang Rp6 juta.

"Memang benar di website (yang dibuat pelaku.red) tersebut saya langsung dapat sekitar Rp18 juta... Dari transfer Rp6 juta itu, saya nungguin dong kira-kira ada pencairan atau tidak. Akhirnya mereka mengatakan bahwa akan mencairkan kalau saya melakukan topup lagi atau penambahan dana," ungkap dia.

Di tengah keraguan Eka untuk melanjutkan misi, orang-orang yang berada di grup Telegram tersebut kompak mengirimkan pesan personal kepada Eka dan meyakinkannya hingga mantap untuk melanjutkan misi. "Aku belum sadar kalau mereka sindikat penipu atau mereka itu satu komplotan," imbuhnya.

Akhirnya, Eka melakukan topup senilai Rp30,5 juta. Tak berhenti sampai di situ, pada pukul 23.00 WIB, Eka didesak untuk kembali melakukan transfer tambahan sebesar Rp45 juta.

"Saya transfer lagi Rp45 juta ke rekening yang sama, di situ saya belum menaruh curiga karena di grup itu juga sudah banyak yang merasakan pencairan. Jadi testimoni-testimoni yang ada di grup itu adalah testimoni palsu, dan saya baru sadarnya ketika besoknya," terang dia.

Pada hari berikutnya, Eka mulai menagih janji atas komisi yang dijanjikan karena tak kunjung cair hingga lewat dari waktu yang dijanjikan. Eka baru merasa terkena scam usai menghabiskan seluruh tabungan.

"Akhirnya saya baru sadar di pagi hari itu. Saya sudah habisin semua tabungan dan uang saya ke penipu. Dan saya enggak dikasih pencairan atau sesuai dengan perjanjian mereka. Saya naif banget," akunya sambil menyesal.

Hingga terakhir dia menanyakan terkait komisi dan mengancam akan melaporkan ke pihak berwajib, oknum tersebut justru berdalih kegagalan pencairan dikarenakan Eka tidak meyelesaikan misi hingga tuntas.

Modus penipuan yang menimpa Eka juga merupakan salah satu penipuan yang memanfaatkan psikologis, dengan menjanjikan keuntungan besar secara instan.

Modus penipuan berkedok investasi ini juga masih masuk ke dalam tiga modus penipuan terbanyak di Tanah Air. Sepanjang periode 22 November 2025 hingga 24 Oktober 2025, tercatat sudah ada sebanyak 20.845 laporan, dengan jumlah kerugian Rp1,1 triliun dan rata-rata kerugian Rp47,67 juta

Memutus Mata Rantai Scam
Berangkat dari pengalaman tidak menyenangkan tersebut, Nabila dan Eka mulai mencari cara untuk melaporkan penipuan keuangan yang dialaminya. Keduanya mendapat titik terang dari media sosial seperti X (dulu Twitter) dan Instagram resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melaporkan aduan kepada IASC.

Ini adalah adalah pusat penanganan penipuan (scam) yang menggunakan transaksi di sektor keuangan. Masyarakat yang menjadi korban bisa melaporkan penipuan yang dialami.

Dengan sinergi dan peran aktif stakeholder keuangan, mulai dari asosiasi industri keuangan, penyedia jasa sistem pembayaran, e-commerce, dan telko, tercipta sebuah sistem nasional yang terpusat yang membuat IASC tidak hanya menjadi pusat pelaporan, tetapi juga menindaklanjuti pelaporan serta memblokir rekening pelaku, sehingga meminimalisir dampak buruk yang berkelanjutan.

Website IASC mudah digunakan melalui piranti handphone, sehingga diharapkan korban dapat melaporkannya dengan segera.

Pembentukan IASC ini diharapkan semakin meningkatkan upaya pelindungan konsumen dan masyarakat di sektor keuangan. Hal ini cocok dengan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta ketentuan terkait lainnya.

Nabila dan Eka melaporkan ke website resmi iasc.ojk.go.id dengan melampirkan bukti scam, bukti transfer, nomor rekening penipu, dan bukti pendukung lainnya.

Nabila melaporkan aduannya kepada IASC di hari yang sama setelah terkena scam. Akan tetapi, laporan awalnya sempat tertolak karena tidak sesuai format. Setelah enam kali percobaan dan terus memperbaikinya hingga hari ketiga setelah kejadian, akhirnya aduannya diterima IASC.

Tak lama, aduan Nabila langsung berubah status menjadi dianalisis dan kemudian terverifikasi. Akan tetapi, hingga saat ini laporannya belum menunjukan perkembangan lanjutan.

Selain melapor kepada IASC, Nabila secara inisiatif juga sudah melapor ke bank swasta tempatnya membuka rekening yang ia digunakan untuk mentransfer dana ke pelaku. Selanjutnya, ia turut melaporkan penipuan yang dialaminya kepada pihak kepolisian.

Terakhir, ia melaporkan penipuan kepada bank Himbara terkait rekening yang digunakan pelaku. 

Hingga saat ini, Nabila masih terus menunggu perkembangan penyelidikan dari IASC, kepolisian, dan bank. "Harapannya rekening terlapor (bisa) dibekukan," katanya berharap.

Berbeda dengan Nabila, pengaduan Eka sudah berhasil hingga ke tahap rekening pelaku diblokir. Sayangnya, uang miliknya tidak dapat kembali dikarenakan sudah tidak ada di rekening pelaku.

Dirinya mengakui proses yang ditempuhnya terbilang cepat. Sehari setelah kejadian terkena scam, ia melaporkan ke IASC. Dalam kurun waktu dua hingga tiga hari saja, rekening pelaku berhasil dilumpuhkan dengan cara diblokir.

Kecepatan itu didukung kelengkapan laporan, termasuk kesesuaian antara nama penipu dengan nama pemilik pada nomor rekening tujuan. Pasalnya, jika terdapat perbedaan nama atau laporan kurang lengkap, maka laporan akan sulit diproses atau bahkan ditolak oleh sistem.

Eka mengakui kehadiran website resmi IASC sangat membantu saat mengalami penipuan. Lantaran, proses pelaporan lebih cepat dan pelapor bisa terus memantau perkembangannya.

"Kalau untuk kemudahan lapor (lewat website IASC) ada, karena enggak perlu ke bank bolak-balik, tapi untuk kecepatan tanggap pasti butuh proses, paling kalau bisa dipercepat aja supaya dana bisa benar-benar diselamatkan," tutur dia.

Dari pengalaman tersebut, Nabila dan Eka tak segan membagikan kisahnya di media sosial agar masyarakat lebih hati-hati dengan modus-modus penipuan yang terus berkembang dan semakin canggih.

Harapan keduanya agar tidak semakin banyak masyarakat yang menjadi korban dan dapat memutus mata rantai scam. Mereka juga membagikan format pelaporan yang tepat untuk mengadukan scam keuangan kepada IASC dan juga mendengar keluh kesah sesama korban.

Critical Time
OJK mengemukakan, sebanyak 83% korban penipuan terkait keuangan baru melapor ke IASC setelah 12 jam kejadian. Padahal, OJK menegaskan bahwa aduan terkait scam harus cepat dilaporkan. Hal ini agar memastikan uang yang hilang bisa segera diselamatkan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa 12 jam setelah terjadinya penipuan merupakan critical time. Dalam periode 12 jam tersebut, suatu transaksi sudah bergerak beberapa kali, baik antar rekening maupun antar bank. Terlebih, seiring perkembangan zaman, saat ini uang bisa berpindah dari bank ke payment gateway, atau bahkan dari e-commerce ke yang lainnya.

"Jadi tadi yang disebut 12 jam itu, itu sebenarnya adalah critical time. Kalau lebih dari itu akan jauh lebih sulit, tidak bisa dibilang tidak mungkin, jauh lebih sulit untuk bisa melakukan penelusuran dan kemudian pemblokiran yang efektif," kata Mahendra di Jakarta, Selasa (19/8).


Ilustrasi love scamming. Shutterstock/Tero Vesalainen

Tahapan Penanganan
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo menilai pembentukan IASC merupakan langkah strategis dalam menghadapi maraknya penipuan keuangan digital dengan berbagai modus, mulai dari phishing, love scam, hingga penipuan yang mengatasnamakan instansi resmi seperti DJP.

"Latar belakang pendiriannya berakar pada kebutuhan akan pusat koordinasi nasional yang mampu menangani laporan masyarakat secara cepat, terverifikasi, dan lintas lembaga," kata pria yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Kamis (30/10).

Dia menjelaskan, keberadaan IASC memberikan manfaat besar bagi ekosistem keuangan. Bagi nasabah, IASC menghadirkan saluran pengaduan yang jelas dan peluang pengembalian dana hasil penipuan.

Kemudian bagi penyedia jasa dan regulator, IASC menjadi pusat kolaborasi dalam pemblokiran rekening, berbagi data, dan penguatan pengawasan. Sementara bagi aparat penegak hukum, IASC mempermudah penelusuran dan penindakan kasus kejahatan keuangan digital.

"Secara keseluruhan, IASC memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem keuangan Indonesia dengan menciptakan ekosistem transaksi digital yang lebih aman, transparan, dan tepercaya," tegasnya.

Lantas, bagaimana tahapan penanganan laporan penipuan di IASC? Mengutip dari laman Instagram @satgas_pasti, berikut tahapannya.

Laporan sedang dianalisis
Pada tahap pertama ini, bank dan penyedia jasa pembayaran terkait melakukan proses verifikasi dengan output “Laporan Terbukti” atau “Laporan Tidak Terbukti”.

Apabila laporan tersebut terbukti sebagai penipuan, maka akan berlanjut ke status “Laporan Terverifikasi”. Sedangkan apabila laporan tidak terbukti sebagai penipuan, maka status laporan akan menunjukkan “Laporan Anda Tidak Terbukti” dan disertai penjelasan dari bank dan penyedia jasa pembayaran terkait.

Laporan terverifikasi
Pada tahapan ini, bank dan penyedia jasa pembayaran terkait melakukan beberapa hal antara lain penundaan transaksi, penelusuran aliran dana ke bank dan penyedia jasa pembayaran terkait lainnya (penanganan multilayers), penyusunan berita acara penundaan transaksi kepada PPATK dan pihak terlapor.

Apabila ketiga proses di atas telah dilakukan, maka akan berlanjut ke status “Rekening Terlapor Sudah Dibekukan.”

Rekening terlapor sudah dibekukan
Tahapan ini akan ditindaklanjuti dengan upaya pengembalian sisa dana pelapor (korban penipuan) yang terdapat di bank dan penyedia jasa pembayaran terkait.

Selanjutnya, bagaimana upaya pengembalian sisa dana korban? Bank dan penyedia jasa pembayaran terkait dapat mengupayakan pengembalian sisa dana korban apabila masih terdapat sisa dana di rekening/akun penerima dana berdasarkan hasil verifikasi dilakukan melalui transfer dana, baik sebagian maupun seluruhnya adalah berasal dari rekening/akun dari pelapor (korban penipuan).

Jika sisa dana di rekening/akun penerima dana berasal lebih dari satu pelapor (korban penipuan) dan jumlah dananya tidak mencukupi untuk pengembalian dana kepada sebagian atau seluruh korban, maka pengembalian dana hanya dilakukan kepada masing-masing korban/pelapor yang diyakini penyelenggara penerima dana bahwa dananya masih ada pada rekening/akun penerima dana berdasarkan kesepakatan para korban tersebut.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, pengembalian dana dilakukan berdasarkan pada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Saldo dana dalam rekening/akun penerima dana tidak sedang dalam status diblokir atau disita oleh instansi yang berwenang.

Upaya pengembalian sisa dana milik pelapor (korban) membutuhkan waktu untuk melakukan koordinasi antar bank dan penyedia jasa pembayaran terkait yang jumlahnya seringkali lebih dari satu.

Kemudian, pelapor (korban) dapat memantau perkembangan penanganan yang dilakukan oleh bank dan penyedia jasa pembayaran terkait melalui sistem IASC dengan menyertakan nomor tiket aduan.

Berkaitan dengan pengembalian sisa dana, pelapor (korban) dapat memantau dan menanyakan langsung ke layanan konsumen (call center) dari masing-masing bank dan penyedia jasa pembayaran tempat pelapor (korban) melaporkan.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar