c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

28 Juni 2025

18:00 WIB

Hidupkan Mimpi, Mencoba Mengawal Hilirisasi Nikel RI

Pemerintah terus genjot pertumbuhan ekonomi agar tercapai 8% pada 2029, salah satunya dengan hilirisasi nikel. Sejak 2020, ekspor nikel mentah dilarang, bagaimana perkembangannya hingga kini?

Penulis: Yoseph Krishna, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="ltr" id="isPasted">Hidupkan Mimpi, Mencoba Mengawal Hilirisasi Nikel RI</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Hidupkan Mimpi, Mencoba Mengawal Hilirisasi Nikel RI</p>

Ilustrasi smelter logam. Shutterstock/Vladimir Mulder

JAKARTA - Janji hilirisasi bahan tambang acap kali pemerintah gaungkan. Nada yang digaungkan kian lantang pada era kepemimpinan periode kedua mantan presiden Joko Widodo, khususnya komoditas nikel. Alasan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah menjadi kunci mendasar agar hilirisasi bisa segera dieksekusi. 

Ambisi tersebut kemudian mendorong pemerintah bersama DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau dikenal sebagai UU Minerba, menjadi UU 3/2020. 

Sebelum aturan hilirisasi tersebut muncul, Kementerian ESDM juga telah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel, atau nikel dalam bentuk mentah (produk hulu) yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM 11/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM 25/2018 tentangg Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020 hingga saat ini

Nikel termasuk sebagai komoditas hasil tambang terbesar di Indonesia selain batu bara, emas, tembaga, bauksit, dan timah.

 The United States Geological Survey (USGS) mencatat, hingga 2024, Indonesia dan Australia merupakan negara dengan kandungan cadangan nikel terbesar di dunia, yaitu mencapai 130 juta ton. 

Baca Juga: Hilirisasi Nikel: Menambang Potensi, Perkuat Industri

Dari total potensi kandungan cadangan produk kimia dengan kode Ni tersebut, Indonesia ditengarai menggenggam sekitar 42,3% atau setara 55 juta ton. Sedangkan Australia memiliki 18,5% atau 24 juta ton, lalu disusul Brasil sebanyak 16 juta ton atau 12,3%, dan Rusia sebanyak 8,3 juta ton atau sekitar 6,4%. 

Dari sisi permintaan, kebutuhan nikel di dunia saat ini makin meningkat. Tak mengangetkan, toh hal ini berbanding lurus dengan peningkatan jumlah produksi kendaraan berbasis listrik atau untuk pemenuhan bahan baku produk hilir yang terus naik. 

Pada 2023, permintaan nikel skala global untuk memenuhi energi bersih dinilai mencapai 478 metrik ton. Jumlah ini diperkirakan akan terus naik hingga 3,4 juta metrik ton di 2040, dengan kebutuhan paling besar untuk baterai kendaraan listrik.

Perkembangan Produksi Nikel Indonesia
Melihat potensi itu, pemerintah pun berhasrat ingin memaksimalkan manfaat sumber daya alam Indonesia dengan menaikkan nilai tambah nikel.

 Berdasarkan data Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, produksi nikel Indonesia dalam trek positif. Produksi nikel mencapai 65 juta ton di 2021, lalu naik menjadi 98 juta ton di 2022, naik drastis hingga mencapai 137 juta ton di 2023, dan naik lebih tinggi lagi menjadi 240 juta ton di 2024. Sayangnya, produksi nikel tahun ini diperkirakan melambat jadi 220 juta ton saja. 

Sekretaris Ditjen Minerba Siti Sumilah Rita Susilawati menyampaikan, peningkatan produksi bijih nikel nasional terjadi karena makin masifnya hilirisasi nikel. 

“Cadangan nikel Indonesia masih tergolong besar secara global. RI tetap jadi salah satu negara dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia. Pemerintah juga terus mendorong kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan jumlah cadangan nikel kita,” jelas Siti saat dihubungi Validnews, Jakarta, Senin (23/6). 

Menurutnya, sejak ada pelarangan ekspor bijih nikel di 2020, komoditas nikel yang diekspor Indonesia beralih menjadi bentuk olahan seperti nikel pig iron (NPI), feronikel, nikel matte, hingga bahan baku baterai. 

Baca Juga: Imbas Hilirisasi, Ekspor Nikel 2024 Nyaris Capai US$40 Miliar

Setidaknya, ada sekitar 100 smelter nikel yang telah beroperasi di tanah air saat ini, terdiri dari smelter terintegrasi dan smelter stand alone. Smelter tersebut mayoritas dimiliki swasta, sisanya dikelola BUMN, salah satunya Antam. 

"Nilai ekspor nikel naik signifikan dan menjadi penyumbang devisa utama sektor tambang," imbuh Siti. 

Foto udara kepulan asap dari pembakaran nikel di kawasan industri PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (25/7/2024). Antara Foto/Jojon

Hilirisasi nikel pun saat ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui pembangunan smelter. Sejurus itu, pemerintah membuka peluang investasi sebesar-besarnya bagi investor asing maupun dalam negeri yang berminat.

Dengan harapan ekonomi bisa tumbuh hingga 8% di 2029, pemerintah berupaya menggenjot kontribusi investasi dalam struktur PDB saat ini. 

Karena itu, pemerintah getol mengejar hilirisasi nikel agar bisa membuka investasi, dan memberi efek rambatan pada pertumbuhan ekonomi. 

Kementerian ESDM mencatat, larangan ekspor bijih nikel dan dorongan hilirisasinya, telah berhasil menaikkan nilai ekspor nikel Indonesia. Dari nilai sekitar US$3,3 miliar di 2017, lalu naik lebih dari 10 kali lipat menjadi US$33,9 miliar di 2024.

Batu Sandungan Hilirisasi Nikel
Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi menilai, hilirisasi nikel di Indonesia hingga hari ini belum optimal. Pasalnya, masih banyak produk turunan bijih nikel yang belum sampai di hilir, namun sudah diekspor. Secara teknis, dia lebih menganggap hilirisasi nikel di Indonesia masih sebatas tahap 'smelterisasi'.

"Kalau menggunakan indikator value added atau nilai tambah dari hilirisasi nikel (RI) itu masih sangat rendah. Kalau kita lihat prosesnya, dari bijih nikel kemudian dismelterisasi, produk turunan pertama kedua itu sudah diekspor, sehingga nilai tambahnya rendah," jelas Fahmy pada Validnews, Jumat (27/6).

Menurut perkiraannya, persentase hilirasi nikel yang dilakukan pemerintah saat ini baru 20%. Sementara 80% sisanya harus dikejar untuk mencapai industrialisasi dari hilirisasi. 

Dalam kata lain, Indonesia harus berhasil membangun ekosistem industri nikel dari hulu hingga menjadi berbagai produk di hilir, termasuk produksi kendaraan listrik beserta baterainya.

Jika menelisik pohon industri nikel Kementerian ESDM, banyak ekspor produk turunan bijih nikel yang berasal dari tahap turunan kedua, ketiga, dan seterusnya, serta belum diolah menjadi produk akhir.

Misalnya saja di tahun lalu, ekspor Feronikel (FeNi) dengan kandungan nikel 16-30% nilainya mencapai US$7,1 miliar, atau empat kali lipat dari nilai ekspor bijih nikel dengan impor sebesar US$1,6 miliar. 

Kemudian untuk ekspor Nickel Matte dengan kadar nikel 40-70% tercatat mencapai US$953 juta atau sebesar 2,8 kali nilainya dari ekspor bijih nikel.

Beberapa ekspor lainnya seperti stainless steel rod/bar mencapai US$3,4 juta dengan impor yang lebih besar senilai US$128 juta, begitu pula ekspor stainless steel pipe/tube senilai US$1,3 juta dan impornya senilai US$22,7 juta.

Kendala berikutnya pada hilirisasi nikel, ialah dominasi investasi nikel asal perusahaan China saat ini. Menurutnya, dengan kondisi tersebut, Indonesia terpaksa merasakan keuntungan hilirisasi nikel yang jauh lebih rendah dibandingkan China, diperkirakan 30% berbanding 70%.

“Saya menggunakan hitungannya almarhum Pak Faisal Basri yang memperkirakan keuntungan China itu 70% (dari hilirisasi nikel di Indonesia). Saya kira itu amat buruk,” tegasnya.

Fahmy menekankan, dominasi China dalam proyek hilirisasi nikel domestik cukup merugikan Indonesia. Pertama, produk turunan nikel 'setengah proses' banyak yang diekspor ke China untuk menjadi produk hilir, yang kemudian masuk diimpor ke Indonesia lagi. 

Kedua, banyaknya pekerja asal China yang justru diboyong untuk mengisi industri nikel di Indonesia. Sehingga potensi rencana hilirisasi nikel dalam pembukaan lapangan kerja justru hanya iming-iming di awal saja. 

Baca Juga: Dukung Hilirisasi Industri Nikel, Danantara-INA Jalin Kemitraan Dengan Eramet

Ketiga, Fahmy menilai, teknologi hilirisasi nikel yang digunakan pabrik China untuk berinvestasi di Indonesia kurang aman, karena kerap menimbulkan kecelakaan kerja yang menelan korban jiwa. 

Keempat, besarnya dominasi investor China di industri nikel nasional turut memengaruhi daya tawar (bargaining power) mereka yang besar terhadap harga jual nikel di dalam negeri. 

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar ada keadilan ruang investasi bagi investor nikel lain di luar China, seperti Eropa. Hal ini mengingat kebutuhan nikel Eropa juga cukup besar, selain untuk kendaraan listrik, juga untuk berbagai produk nirkarat atau stainless.

Menjawab itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, banyak terpilihnya investor China disertai karpet merah kemudahaan berusaha di Indonesia adalah karena Negeri Tirai Bambu memberikan kepastian untuk berinvestasi. 

Bahkan menurutnya, China dengan terbuka menjelaskan keuntungan yang akan didapat bagi Indonesia maupun dirinya sendiri lewat investasi yang ditanam. 

Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa investor asal Eropa yang dinilai cenderung hanya ingin tahu industri nikel di Indonesia, tanpa serius untuk menanamkan modal. 

“Bagi beberapa negara termasuk Eropa dan Amerika Serikat (AS), mereka minta diberikan prioritas. Saya katakan, Indonesia selalu memberi prioritas kepada mereka. Ibarat orang suka, mereka hanya datang ke Indonesia icip-icip saja lalu lari, tidak setia (tidak berniat investasi). Nah kebetulan yang mau setia dari China,” ujar Bahlil pada agenda 'Energi Mineral Forum', Senin (26/5).

Tantangan Lingkungan
Rintangan lainnya yang harus dihadapi Indonesia dalam melakukan hilirisasi nikel adalah dampak lingkungan yang signifikan. Rektor Institut Teknologi PLN (ITPLN) Iwa Garniwa menyatakan, industri hilirisasi nikel memiliki dampak lingkungan yang cukup besar selama ini, mulai dari deforestasi, kerusakan lingkungan, sampai polusi udara.

Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024). Antara Foto/Jojon

Dia menyebut, penambangan nikel saja sudah membuat keanekaragaman hayati hilang dan degradasi kualitas air di wilayah operasional tambang.

"Selain itu, teknologi pirometalurgi yang digunakan dalam smelter nikel menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Oleh karena itu, perlu evaluasi dan perbaikan dalam pengelolaan lingkungan industri nikel," jelas Iwa saat dihubungi Validnews, Jumat (27/6).

Baca Juga: CELIOS: Industri Nikel Minim Keuntungan Ekonomi Dan Lingkungan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menyebut, hilirisasi nikel saat ini belum sesuai dengan janji yang digadang sebelumnya. Sama seperti Fahmy, Bisman menyoroti ekspor produk olahan nikel masih dominan 'setengah matang', belum seluruhnya dihilirisasi.

Dia pun tak heran, kondisi ini peluang ekonomis nilai tambah nikel yang tanah air peroleh masih belum optimal. Bahkan, eksploitasi dan produksi nikel yang sangat masif saat ini di Indonesia sudah pada taraf over produksi.

"Hilirisasi (nikel) baru sampai pada smelter, yaitu hanya sampai pengolahan dan pemurnian, belum sampai pada mengembangkan industri hilir, jadi nilai tambahannya dan multiplier effect-nya belum maksimal," ungkap Bisman kepada Validnews, Jumat (27/6).

Keluhan dan Harapan Pemain Nikel
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menambahkan, Indonesia menghadapi tantangan serius karena harga nikel di pasar global semakin tertekan oleh ketidakpastian ekonomi global. Bahkan, pihaknya sudah tidak bisa lagi memproyeksi harga komoditas ini hingga setengah tahun ke depan.

"Harga nikel menghadapi tekanan karena kelebihan pasokan, sementara permintaan tertekan akibat kondisi ketidakpastian ekonomi global. Kami tidak dapat memprediksi pergerakan harga hingga enam ulan ke depannya. Sebagai asosiasi industri, tentu harapannya harga bisa menguat lagi," sambung Hendra kepada Validnews, Jumat (27/6). 

IMA bercerita, sebagai pelaku usaha, penurunan harga saat ini membuat industri nikel semakin berat untuk menopang biaya operasional. Terlebih, margin keuntungan kini menipis drastis, salah satunya akibat dampak dari banyaknya regulasi yang berlaku.

"Di 2025 ini saja, pengusaha sudah menghadapi kenaikan PPN, dampak dari pajak yang ditimbulkan dari global, kebijakan harga patokan mineral, kewajiban penggunaan biodiesel (B40), kewajiban penempatan Dana Hasil Ekspor (DHE), dan kenaikan tarif royalti," tuturnya.

Meski banyak hambatan yang pelaku usaha nikel rasakan, namun Hendra meyakini, industri sektor nikel masih memiliki prospek cerah. Optimisme tersebut muncul karena permintaan nikel akan makin naik ke depan sejalan dengan kebutuhan produk olahan nikel untuk penggunaan energi bersih. 

Di sisi lain, dia meyakini Indonesia masih memiliki cadangan nikel yang cukup besar, terutama untuk nikel kalori rendah. Kendati, AMI tetap berharap dan memerlukan kebijakan pemerintah dalam mendukung industri ini, sehingga investasi nikel bisa terus tumbuh.

Evaluasi Hilirisasi Nikel
Mengenai kandungan nikel, Fahmy pun meyakini, Indonesia masih memiliki cadangan nikel buat 50 tahun mendatang. Namun dia mengingatkan, cadangan tersebut harus dikelola dengan baik lewat optimalisasi nilai tambah, sehingga keuntungan yang Indonesia dapat bisa maksimal. 

Fahmy pun menyampaikan agar pemerintah bisa segera membenahi kebijakan soal industri ini. Agar dalam 10 tahun ke depan, hilirisasi yang dicita-ditakan dapat menghasilkan produk hilir sebagaimana mestinya. 

"Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia harus mempunya roadmap tahapan-tahapan yang mendukung industrialisasi hilirisasi tadi, seperti produksi mobil listrik sendiri sebagai produk hilir nikel," katanya. 

Baca Juga: DPR Dorong Evaluasi Semua Izin Tambang Nikel Di Raja Ampat

Lebih lanjut, menurut Iwa, ada tiga poin utama yang harus menjadi bahan evaluasi produksi nikel Indonesia. Yakni, pengawasan lingkungan dengan memperketat regulasi lingkungan dan memastikan perusahaan mematuhi standar tinggi dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 

Kedua, mendorong adopsi teknologi hijau melalui teknologi pemrosesan nikel yang lebih ramah lingkungan. 

"Ketiga yaitu pemberdayaan masyarakat lokal dengan memastikan hak masyarakat lokal dan adat melalui penguatan pelaksanaan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)," jelas Iwa. 

Sementara Bisman mengungkapkan, evaluasi proses hilirisasi nikel mencakup pengendalian produksi, moratorium smelter, serta pengembangan industri turunan dan ekosistem industri berbasis nikel lokal. Sementara, eksplorasi nikel masih bisa terus dilanjutkan, dengan catatan perlu pengendalian eksploitasi secara ketat.

Dia menyarankan, harga nikel global yang tidak bersahabat saat ini bisa jadi momen buat Indonesia untuk fokus mengembangkan industri turunannya.

"Produksi turunan yang punya nilai ekonomi tinggi adalah baterai mobil listrik EV, selain itu produk elektronik dan kelistrikan. Itu karena bisa menaikkan nilai tambah dan multiplier effect yang sangat besar dan menguntungkan secara keekonomian," tandas Bisman. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar