18 Agustus 2025
09:47 WIB
HGBT Dibatasi, Kemenperin: Kado Buruk Industri di Kemerdekaan RI Ke-80
Kemenperin menilai pengumuman pembatasan pasokan HGBT oleh produsen bagi industri merupakan kado buruk di perayaan HUT RI ke-80. Alasan keterbatasan pasokan gas dianggap tidak masuk akal.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menilai pembatasan pasokan HGBT oleh produsen gas bumi bagi industri merupakan kado buruk di perayaan HUT RI ke-80, Jakarta, Minggu (17/8). Dok Kemenperin
JAKARTA - Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menilai, pengumuman pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) oleh produsen gas bumi bagi sektor industri merupakan kado buruk di perayaan HUT RI ke-80. Pasalnya, hal ini menimbulkan kegelisahan kalangan para investor sektor manufaktur tanah air.
“Pada momen HUT ke-80 RI, seharusnya seluruh rakyat Indonesia, termasuk pelaku industri, dapat bergembira. Namun, kabar pembatasan HGBT justru menimbulkan luka dan membuat industri kembali memaknai arti kemerdekaan,” ungkapnya seusai mengikuti Upacara HUT ke-80 RI di Kantor Kemenperin, Jakarta, Minggu (17/8).
Baca Juga: HGBT Terhambat, Kemenperin Wanti-wanti Ancaman PHK 134 Ribu Pekerja
Menurutnya, gas bumi berperan vital sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi. Industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet termasuk di antara penerima manfaat program HGBT yang selama ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar US$6,5 per MMBTU.
Kemenperin pun heran situasi yang terjadi saat ini. Lantaran, pihaknya mengklaim pasokan gas seharga US$15-17 lancar, sebaliknya pasokan gas US$6,5 mandek.
“Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga US$15-17 per MMBTU. Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar,” jelas Febri.
Febri menambahkan, pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK pekerja industri.
“Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” tegasnya.
Daya Saing Produk Terancam
Selain itu, lonjakan harga gas akan memengaruhi harga produk akhir. Dia menekankan, kenaikan biaya bahan baku akan menaikkan harga produk akhir nantinya
“Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” kata Febri.
Operator produksi mengatur aliran gas dari fasilitas produksi gas menuju pipa jaringan gas konsumen di Stasiun Pengumpul Subang, PT Pertamina EP Subang Field, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis (2/11/2023). Antara Foto/Raisan Al FarisiKemenperin mengingatkan bahwa kestabilan pasokan energi merupakan syarat mutlak bagi keberlanjutan industri. Jika tidak terjaga, upaya pemerintah mendorong investasi dan memperkuat daya saing akan terhambat.
Febri juga menambahkan, pembatasan HGBT bertentangan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian energi, kemandirian pangan, hilirisasi industri serta penciptaan lapangan kerja pada Asta Cita.
“Pengurangan pasokan ini akan berdampak pada ketersediaan pupuk, yang merupakan komponen strategis bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terkena imbasnya, sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terganggu,” jelasnya.
Baca Juga: BPH Migas: Rerata Serapan HGBT Belum Mencapai 80%
Kemenperin menggarisbawahi, alasan keterbatasan pasokan gas tidak masuk akal. Sekali lagi, hal ini mengacu pada ketersediaan gas ketika harga menjadi lebih tinggi.
“Kalau memang pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas ketika harganya melonjak hingga US$17 per MMBTU? Kalau gas harga US$6,5 pasokannya terbatas. Ini patut dipertanyakan,” ujar Febri.
Menurutnya, meski negara kehilangan sebagian pendapatan dari program HGBT, nilai tambah yang dihasilkan dari produk hilir jauh lebih besar.
Hitungan Kemenperin, setiap Rp1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp3 dari penciptaan nilai tambah diproduk hilir industri pengguna HGBT.
"Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT ini, bukan pada gas di hulu,” paparnya.
Febri optimistis, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo bisa tercapai. Syaratnya, harga HGBT tetap dijaga di level US$6,5 per MMBTU dengan pasokan yang stabil serta penerimaan pajak difokuskan pada produk hilir.
“InsyaAllah, dengan kebijakan yang tepat, target pertumbuhan itu bukan hanya impian, melainkan dapat benar-benar diwujudkan,” pungkasnya.