25 Januari 2023
10:45 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menegaskan, fluktuasi harga pangan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi prevalensi angka stunting di Indonesia. Patut diketahui, harga pangan di Indonesia masih cukup lebih mahal dibanding dengan negara-negara sekitarnya.
“Fluktuasi harga pangan mempengaruhi konsumsi pangan sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, menjaga keterjangkauan pangan sangat penting,” jelas Head of Agriculture Research CIPS Aditya Alta, Jakarta, Selasa (24/1).
Penelitian terbaru CIPS yang berjudul "Policy Barriers to a Healthier Diet: The Case of Trade and Agriculture" menunjukkan, keterjangkauan pangan menentukan status gizi individu.
Sementara itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 menunjukkan, rata-rata biaya makanan bergizi seimbang di Indonesia adalah Rp22.126/hari/orang atau Rp663.791/bulan/orang. Berdasarkan biaya makan di 90 kota pada 2021, sekitar 68% atau 183,7 juta orang Indonesia tidak mampu membayar jumlah tersebut.
Baca Juga: Dana Desa Dan Asa Menekan Stunting
Data World Food Programme (WFP) juga menyebutkan harga makanan seperti beras di Indonesia bisa 50-70% lebih mahal dibandingkan harga di negara tetangga.
Adapun, Food Monitor CIPS juga menyebut, harga gula, beras, dan kedelai masing-masing 55,68%, 38,36%, dan 15,94% lebih mahal daripada beberapa harga internasional untuk masing-masing komoditas tersebut sepanjang 2021.
Aditya menambahkan, pandemi covid-19 semakin menambah beban mereka yang berpenghasilan rendah. Berkurang atau hilangnya penghasilan membuat kecukupan gizi pada konsumsi pangan semakin tidak diprioritaskan.
“Mereka biasanya cenderung memilih pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi yang mengenyangkan, tetapi minim nilai gizinya,” terangnya.
Pasca-pandemi covid-19 dan kenaikan harga pangan, jumlah orang di dunia yang tidak mampu membeli makanan sehat diperkirakan meningkat sebesar 267,6 juta. Angka stunting diperkirakan akan meningkat untuk pertama kalinya dalam dua dekade, dengan perkiraan 3,6 juta lebih anak yang kemungkinan akan mengalami stunting.
Seperti negara lain, harga pangan di Indonesia naik tajam bersamaan dengan hilangnya pekerjaan akibat pandemi covid-19. Hal ini pun akan mengurangi kemampuan jutaan orang untuk membeli makanan bergizi.
Baca Juga: Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Terganjal Pageblug
Jutaan keluarga di seluruh dunia terpaksa makan makanan yang lebih murah dan kurang bergizi atau melewatkan makan sama sekali. Padahal, sektor pertanian juga memang sedang menghadapi tantangan-tantangan produksi.
Mulai dari yang disebabkan oleh perubahan iklim, belum memadainya infrastruktur pendukung pertanian, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, berkurangnya jumlah petani, dan rendahnya produktivitas pertanian.
“Tantangan-tantangan tersebut seharusnya diikuti oleh kebijakan perdagangan pangan yang berorientasi pada kepentingan konsumen, lewat penyederhanaan regulasi impor sehingga bisa memastikan akses masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi yang terjangkau,” ungkapnya.
Penelitian CIPS juga merekomendasikan target keterjangkauan pangan harus menjadi bagian dari RAN-PASTI dan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting.
Kementerian Perdagangan harus dimasukkan dalam rencana untuk meninjau kebijakan dan perangkat perdagangan seperti perizinan dan kuota impor/ekspor, termasuk evaluasi mekanisme neraca komoditas, dan menghapus hambatan yang tidak perlu.
“Selain itu, sebagai kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab atas ketahanan pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus menjadi anggota Tim Nasional Percepatan Penurunan Stunting untuk menyelaraskan kebijakan mereka dengan tujuan penurunan prevalensi stunting,” tegasnya.