26 Oktober 2021
11:34 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Pertumbuhan produktivitas pangan Indonesia semasa pandemi covid-19 harus bisa mengatasi masalah stunting atau kurang gizi kronis pada anak. Pasalnya, masalah stunting Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata kawasan Asia.
"Sebanyak 27,67% anak Indonesia di bawah usia 5 tahun mengalami stunting, atau terlalu pendek untuk usianya. Prevalensi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata untuk kawasan Asia," kata Kepala Perwakilan Badan Pangan Dunia (FAO) untuk Wilayah Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal, dilansir dari Antara, di Jakarta, Selasa (26/10).
Selain permasalahan kekurangan gizi, Indonesia juga memiliki PR menangani jumlah orang dewasa yang kelebihan berat badan atau obesitas yang meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir. Ditambah lagi obesitas pada anak juga meningkat.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus membuat pola makan sehat menjadi kenyataan bagi semua melalui pendekatan strategis, terpadu dan inklusif lintas sektor.
"Inovasi, kearifan lokal, pemberdayaan perempuan, peningkatan keterlibatan anak muda semuanya memiliki peran untuk dimainkan, untuk mencapai hasil yang lebih hijau, lebih adil, dan lebih baik untuk semua," katanya.
Ia menambahkan, kebijakan dan undang-undang yang lebih baik, investasi, dan tata kelola yang baik dapat membangun sistem pertanian pangan berkelanjutan yang ramah lingkungan, yang lebih inklusif dan tangguh.
Penyediaan pangan sehat bisa dimulai dari petani dengan memberikan pelatihan inovatif dan penggunaan teknologi dalam praktiknya. Selain itu juga perlu dukungan keuangan, insentif, dan perlindungan sosial agar petani dapat menyediakan pangan sehat dan berkelanjutan untuk semua penduduk.
Selanjutnya di tingkat masyarakat, semua orang harus memilih makanan yang meningkatkan kesehatan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, memilih makanan lokal, musiman, berkelanjutan, dan jangan sampai ada makanan yang terbuang.

Sampah Makanan
Rajendra menyebutkan, food waste atau terbuangnya pangan dari proses produksi hingga konsumsi serta dampak dari perubahan iklim menjadi tantangan besar sektor pertanian dunia di masa depan seiring bertumbuhnya penduduk global.
Dengan populasi yang terus bertambah, penduduk dunia diperkirakan mencapai 10 miliar pada tahun 2050. Karena itu, perlu langkah untuk menyediakan makanan bagi penduduk dunia sekaligus memelihara bumi.
“Ini bukan hanya tentang menanggapi keadaan darurat, ini tentang membangun ketahanan jangka panjang dan mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi makanan," katanya.
Dia menerangkan sistem pertanian pangan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Namun, pertanian juga benar-benar merasakan akibat dari pemanasan global.
Di beberapa bagian dunia, perubahan iklim menyebabkan hasil panen dan produktivitas ternak yang lebih rendah. Begitu pula dengan hasil perikanan, dan kehutanan. Dampak lainnya adalah perubahan komposisi kandungan gizi pada bahan makanan pokok, dengan adanya penurunan protein, mineral dan vitamin.
Sementara pada saat jutaan orang kelaparan, sejumlah besar makanan terbuang setiap hari. Baik rusak selama proses produksi dan dalam pengangkutan, atau dibuang ke tempat sampah rumah tangga atau restoran dikarenakan perilaku masyarakat yang kerap menyisakan makanan yang disajikan.
Menurut FAO, membuang-buang makanan juga membuang-buang sumber daya berharga yang digunakan untuk memproduksinya.
Hasil kajian dari tim yang dibentuk Bappenas menyebutkan food loss dan food waste Indonesia mencapai 184 kg per orang per tahun atau secara total 48 juta ton dalam setahun. Jumlah makanan yang terbuang tersebut setara dengan memberikan makanan sebanyak 125 juta orang untuk mengentaskan kemiskinan dan penanganan stunting di Indonesia.
Rajendra mengatakan, perlu upaya kolektif secara bersama-sama untuk mengatasi masalah tersebut. FAO, kata dia, bekerja keras bersama-sama pemerintah Indonesia untuk melakukan transformasi sistem pangan di Indonesia.
"Setiap orang harus memahami bahwa perlakuan mereka terhadap makanan memengaruhi sistem pangan. Transformasi global hanya bisa terjadi jika dimulai dari individu. Cara kita memilih, memproduksi, mengonsumsi, dan membuang makanan kita mempengaruhi orang lain. Kita perlu bertindak, dan itu harus terjadi sekarang," kata Rajendra.
Pada Triwulan II 2020 PDB sektor pertanian tumbuh 16,24% q-to-q. Sedangkan ada triwulan III dan IV 2020, PDB Pertanian tumbuh masing-masing 2,15% dan 2,59% y-on-y.
Selama Januari–Desember 2020 nilai ekspor produk pertanian mencapai Rp451,8 triliun dan meningkat 15,79% dibandingkan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp390,2 triliun.
Peningkatan ekspor berlanjut memasuki periode Januari–September 2021, di mana ekspor pertanian mencapai Rp450 triliun dan tumbuh 45,36% dibandingkan periode yang sama tahun 2020, yang nilai ekspornya mencapai Rp309,58 triliun.