c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

28 Juli 2025

21:00 WIB

Faber Instrument, Mengalun Merdu Dari Balik Jati Bekas

Limbah pohon jati berhasil disulap oleh anak-anak muda di Cianjur, Jawa Barat menjadi audio speaker bernilai tinggi lewat jenama Faber Instrument. Pasarnya sudah tembus Eropa!

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Khairul Kahfi

<p>Faber Instrument, Mengalun Merdu Dari Balik Jati Bekas</p>
<p>Faber Instrument, Mengalun Merdu Dari Balik Jati Bekas</p>

Produk audio speaker vintage berbahan limbah 'bangkai' pohon jati buatan Faber Instrument Indonesia di Cianjur, Jawa Barat. Instagram/@deva_primadia

JAKARTA - Lantunan lagu dari musisi kesayangan memang paling mantap dan pas diputar untuk menemani kita kala membersihkan kamar, membaca buku, bekerja, atau hanya untuk sekadar bersantai. Speaker yang mengeluarkan suara dengan empuk dan harmonis pun menjadi produk yang biasa dipakai untuk menikmati musik dengan volume lebih besar. 

Namun, tidak semua perangkat audio ini bisa dijangkau semua kalangan, baik tua maupun muda, pria ataupun wanita, apalagi pekerja dan mahasiswa. Beragam model pengeras suara mewarnai etalase platform e-commerce dewasa ini dengan harga yang bervariasi. Namun, dari sederet model speaker yang dijajakan, ada satu yang membawa kepada nuansa vintage, ialah Faber Instrument Indonesia.

Nuansa klasik sangat kental dari produk besutan Devasari Rahmawati (38) dan sekumpulan anak muda di Cianjur, Jawa Barat yang menciptakan produk speaker dengan bahan baku limbah kayu jati. Devasari menyediakan speaker dengan model retro multifungsi yang bisa tersambung via bluetooth, USB, hingga SD Card. Model boleh jadul tapi teknologinya jelas kekinian. Begitu kira-kira. 

Cerita Faber Instrument Indonesia dimulai saat 2018. Kala itu, Devasari menemukan bakat terselubung anak-anak muda yang tergabung dalam Forum Anak Jalan Wijaya (AJWI). Sebagian dari mereka, sambungnya, punya talenta mengolah kayu, dan sebagian lainnya ternyata punya bakat di bidang elektronika.

Pada sebuah peristiwa, terdapatlah satu radio usang milik nenek dari salah satu 'abang-abangan' di Forum AJWI. Mereka pun gotong royong memodifikasi radio tersebut, terutama memanfaatkan limbah kayu jati untuk mengganti casing-nya.

Tak sekadar menyulap casing menjadi baru bernuansa klasik, segelintir pemuda yang bertalenta di bidang elektronik pun mengoprek radio itu agar bisa kembali berfungsi normal. Selain memperbaiki radio yang sudah rusak, pemuda yang berdomisili tak jauh dari Istana Kepresidenan Cianjur, Jawa Barat itu pun memperbaharui fungsi radio dengan menambahkan fitur bluetooth.

"Awalnya di situ dan terus banyak yang berminat mulai dari teman-teman, saudara dan teman bilang 'eh, ini oke juga', lalu beli satu, dua, seperti itu. Jadi, ternyata market-nya oke," cerita Devasari kepada Validnews, Jakarta, Jumat (25/7).

Baca Juga: Mendag Sebut Penjualan Furnitur Indonesia Kalah Saing Dari Vietnam

Perempuan lulusan Hubungan Internasional Unjani ini pun optimistis produk tersebut bisa dijual lebih luas, bahkan mendunia. Ini yang mendasarinya berinisiatif untuk mengikuti sejumlah perlombaan dan pameran. Benar saja, Devasari dengan Faber Instrument Indonesia-nya mampu mengangkat berbagai penghargaan.

Saking bagusnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memboyong produk Faber Instrument Indonesia pada gelaran COP 26 di Glasgow pada 2021 silam, diikuti pameran-pameran berskala internasional lainnya di tahun yang sama.

Sepulangnya ke tanah air, Faber Instrument Indonesia tancap gas untuk memenuhi mandat jadi official merchandise MotoGP Mandalika, serta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20-2022 di Bali.

"Baru-baru ini juga kami diminta untuk (mengirim) beberapa pieces dari Kedubes Ethiopia, untuk dipamerkan di sana, dan untuk Presiden Ethiopia sama Pak Dubesnya langsung," ucapnya berbangga hati.

Manfaatkan Limbah Alam
Seperti diceritakan di awal, Devasari mengoptimalkan limbah kayu jati sebagai bahan baku radio dan speaker multifungsi yang bercap Faber Instrument Indonesia. Revisi, maksudnya ialah limbah pohon jati yang mati.  Pasalnya, limbah yang digunakan bukan berasal dari industri mebel dan furnitur, melainkan pohon jati yang tumbang secara alamiah karena umur yang sudah terlalu tua, bahkan bisa berusia ratusan tahun.

Di sekitaran Cianjur, sambungnya, banyak pepohonan jati berumur tua dan kerap tumbang dengan sendirinya. Sebelum-sebelumnya, masyarakat setempat hanya memanfaatkan pohon yang tumbang secara alamiah itu sebagai kayu bakar.

"Kayu jati di Cianjur ini termasuk banyak yang ditanam usia lama, itu ada aja yang rubuh setiap saat. Bukan ditebang, rubuh semua," katanya

Ukuran bagian pohon yang tumbang pun terbilang raksasa. Dia menyebut, diameter ranting pohon yang jatuh saja bisa mencapai 1 meter. Sekali lagi, itu hanya ranting dan bukan pohonnya.

"Kalau satu rantingnya jatuh, jatuhnya bukan seperti ranting yang di pinggir jalan, tapi dengan diameter 1 meter, itu ranting, bagian dari pohon," sambung Devasari.

Baca Juga: Dituding Dumping dan Subsidi, Ekspor Kayu Lapis Indonesia Kena Selidik AS

Sejatinya, perempuan yang pernah bekerja sebagai penasihat dan konsultan keuangan pribadi profesional ini bisa saja membuat produk olahan kayu jati seperti biasanya, entah jadi furnitur, mebel, atau seni pahatan. Akan tetapi, jiwa kreasinya malah tertantang untuk membuat sebuah produk di luar kebiasaan.

"Kalau mau membuat seni pahat-memahat (jati) ya memang di sini juga ada seniman, tapi dipikir-pikir itu kan mainstream ya. Nah, kami mau buat yang anti-mainstream, ya sudah kami balut dengan audio speaker," katanya.

Sejumlah pekerja menaikan kayu jati di Benculuk, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (17/11/2015). Antara Foto/Budi Candra Setya/nz/15.Alhasil, Devasari yang sejak awal punya ide mengomersialkan radio dan speaker kayu jati langsung bergegas koordinasi dengan Dinas Kehutanan setempat supaya bisa memanfaatkan limbah-limbah alami jati secara legal.

Faber Instrument Indonesia pun sudah mengantongi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

SVLK tersebut menjadi dokumen yang menunjukkan kayu yang digunakan Faber Instrument Indonesia berasal dari sumber yang jelas dan tidak berasal dari illegal logging atau penebangan ilegal.

"Nah jadi untuk kayu, untuk memastikan sumber kayunya, udah gitu legalitas kayunya, kami tetap harus bekerja sama dengan Dinas Kehutanan," imbuh Deva.

Seiring makin tumbuh dan membesarnya nama Faber Instrument Indonesia, banyak masyarakat sekitar yang ingin menjalin kerja sama. Beberapa di antaranya diketahui memiliki sebidang tanah yang ditanami pohon jati. Namun, Devasari menolak mentah-mentah penawaran itu, Faber Instrument teguh menerapkan prinsip bisnis dengan tidak menebang pohon sama sekali.

"(Penawaran kerja sama) itu kami tidak terima karena berarti ditebang. Selain karena kualitas umurnya muda, dan itu sangat berisiko karena menebang hutan, kami tidak ada (niat bisnis) ke situ. Kami tidak menerima walaupun ada penawaran," tegas dia.

Proses Produksi
Secara teknis, Devasari mengungkapkan, Faber Instrument Indonesia mampu memproduksi sekitar sekitar 4-5 unit produk dalam sehari. Dia menceritakan salah satu fase tersulit dan paling memakan waktu produksi ialah pengolahan 'bangkai' pohon jati.  Ini tak lain disebabkan lantaran mesin yang dimiliki Faber Instrument Indonesia pun masih manual mengandalkan tenaga dan tangan manusia. 

Lagi-lagi, idealisme produksi dengan sentuhan manusia Faber Instrument tonjolkan untuk mengakomodasi keunikan 'lekuk tubuh' di setiap sudut produk. Mudah saja, produknya ditujukan untuk bisa mengalahkan produk masal mesin yang serba serupa.

"Kami memastikan supaya (produk) tidak bisa ditiru oleh mesin dan itu harus tetap pakai tenaga manusia, diamplas salah satunya. Makanya pasti ada bagian yang mengamplas dan itu manual untuk membuat lengkungan," ucapnya.

Baca Juga: China Minta Bahan Baku Kayu Indonesia, HIMKI Beri Peringatan Ini

Setelah mengolah kayu, proses berlanjut ke sektor elektronika, yakni perakitan audio speaker untuk dimasukkan ke dalam boks kayu yang sudah dibuat. Tapi pascaperakitan, produk ini baru dikatakan 80% siap jual dan 20% sisanya adalah Quality Control (QC) tahap akhir.

Proses pengecekan ini menentukan kelayakan produk untuk bisa dijual ke pasar. Pasalnya, dia menekankan, produk berbahan kayu punya sifat yang menyerap suara, sedangkan produknya menjajakan fitur pengeras suara.

"Setelah 80% jadi itu di-QC dulu, suaranya oke atau tidak keluarnya karena kan kayu itu sebetulnya menyerap suara, sedangkan ini harus memantulkan suara. Jadi resonansinya oke enggak... Suaranya oke atau enggak," sambungnya.

Meski rata-rata hanya memproduksi hitungan jari dalam sehari, Faber Instrument Indonesia tetap mematok kapasitas produksi sebanyak 200 unit dalam sebulan.

Itu pun, tak ada opsi kustomisasi model produk dari pembeli. Faber Instrument Indonesia hanya menjual 10 model produk. Seandainya ada permintaan tertentu, hanya terbatas pada ucapan, gambar, atau pun foto yang ditempelkan pada produk.

Menurutnya, opsi kustomisasi model hanya akan merusak seabrek upaya riset dan pengembangan yang telah dilakukan oleh Faber Instrument Indonesia selama ini. Sekali lagi, permintaan model khusus, dapat menafikan kualitas audio speaker. Ujungnya, produk jadi mubazir.

"Ketika diaplikasikan, belum tentu desain itu bisa mengeluarkan bunyi di kayu yang custom model. Kam sudah bertahun-tahun dan perusahaan kami sudah lebih dari lima tahun dan ini kami sudah R&D. Kami sudah melewati itu, sudah banyak (speaker) box yang terbuang," jelasnya.

Berdayakan Masyarakat Setempat
Kehadiran Faber Instrument Indonesia pun dirasa nyata oleh masyarakat setempat. Selain karena ide yang muncul dari rembukan anak-anak muda Forum AJWI, saat ini setidaknya ada 10 orang yang sudah jadi pekerja tetap di brand tersebut.

Dia menegaskan, banyak pemuda setempat yang sangat ingin bekerja di Faber Instrument Indonesia karena jarak yang sangat dekat dari rumah.

Baca Juga: Indonesia Dekati Uni Eropa Bahas Kebijakan Anti Deforestasi

Artinya ketika jam istirahat tiba, mereka bisa langsung makan siang di rumah ketimbang harus membeli di luar. Orang tua para pemuda itu pun tak kebingungan jika mencari anak mereka.

"Kapan aja mereka bisa pulang, bisa makan di rumah, jadi cost-nya kecil," tutur Devasari.
Sejumlah pekerja menaikan kayu jati di Benculuk, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (17/11/2015). Antara Foto/Budi Candra Setya/nz/15.Di samping itu, terdapat juga tenaga sampingan yang bahkan melibatkan ibu rumah tangga di sekitar Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Jika ditotal, ada sekitar 20 orang yang sudah terlibat dalam proses pengerjaan produk Faber Instrument Indonesia, baik karyawan tetap maupun pekerja lepas.

"Kemudian ibu-ibu rumah tangga bisa kami karyakan untuk yang kecil-kecil lah seperti untuk sekadar ngamplas, finishing," katanya.

Strategi Pemasaran
Di samping memberdayakan warga lokal, Faber Instrument Indonesia pada awal berdiri juga masih memanfaatkan cara pemasaran konservatif, yakni dari mulut ke mulut.

Pada 2018, Devasari tak sedikitpun terpikir untuk memanfaatkan digital marketing. Untungnya, penjualan tetap moncer berkat promosi gratis pembeli yang hadir dari kalangan saudara maupun relasi.

Dia menilai, tren pemasaran digital kala itu masih mengandalkan iklan yang ongkosnya cukup mahal. Saat itu, tanpa iklan, sulit untuk mengandalkan sektor digital dalam hal memasarkan produk.

"Kami itu sebetulnya pada awal kuat dari mulut ke mulut, dari teman, relasi, sebetulnya (penjualan) terbaik dari situ, kita memanfaatkan lingkungan sekitar teman-teman," ungkapnya.

Kepada Validnews, dia buka-bukaan modal awal yang dipanjar berada di kisaran Rp50 juta buat mengurus legalitas sampai mematenkan brand Faber Instrument Indonesia.  

"Mungkin awal-awal keluar Rp50 juta, akhirnya kita tanpa sadar gitu kurang lebih beli ini, beli itu, untuk perlengkapan yang akhirnya ada di workshop, jadi kayak nyicil sedikit-sedikit," ujar Devasari.

Sekadar informasi, saat ini Faber Instrument Indonesia menjajakan 10 model speaker yang berbeda-beda dan harga yang variatif. Ke-10 model itu diluncurkan setelah riset dan pengembangan mendalam oleh salah satu pendiri Faber Instrument Indonesia yang akrab disapa Mas Helmi.

Devasari mengatakan, kesemua model speaker kayu jati itu mulai dipatenkan pada 2021 silam atau setelah pandemi covid-19 mereda. Adapun harga speaker jati dipatok paling terjangkau sekitar Rp800 ribu dan premium adalah Rp4 juta.

"Sedangkan setelah 2021 ke atas ya, itu baru kita mulai patenkan hanya 10 model aja karena kita enggak bisa terus-terusan seperti itu (menjual banyak), kita cari mana yang paling komersial, yang paling banyak diminati," kata dia.

Baca Juga: Kemenhut Perkuat Pasar Kayu Ber-SVLK di Dalam Negeri

Setelah melakukan R&D serta survei pasar, Faber Instrument Indonesia memperkuat segmentasi pembeli di kelas menengah ke atas. Karena itu, Devasari tidak ambil pusing ketika ada calon pembeli yang keberatan dengan harga produk yang dipatok. Toh, sampai sekarang pun laku-laku saja diserbu peminatnya.

Bahkan, produknya sudah sering jadi souvenir andalan dari sejumlah perusahaan swasta, pelat merah, maupun sektor pemerintahan.

"Kita menetapkan harga yang pricey karena pada awalnya memang menargetkan itu. Tanpa kami sadari, banyaknya orderan business-to-business (B2B) seperti dari perusahaan swasta, BUMN, pemerintahan itu banyak yang masuk. Akhirnya selama berjalan (penjualan), ya tidak mungkin kita tolak lah ya," jabarnya.

Saat ini, omzet Faber Instrument Indonesia sudah bisa menyentuh sekitar Rp1 miliaran per tahun. Torehan ini pun setidaknya sudah stabil didapatkan dalam tiga tahun terakhir. Devasari kembali bersyukur, pendapatan ini sudah jauh lebih baik ketimbang saat pagebluk ganas-ganasnya. 

"Sudah tiga tahun belakangan ini sudah menyentuh Rp1 miliar ke atas itu per tahun. Pandemi itu pengaruh banget, sangat berpengaruh karena turun drastis," imbuhnya.

Buah manis pun kini mulai terasa. Sekalipun belum menjalani ekspor yang formal dan rutin, produk speaker jati Faber Instrument Indonesia malah sudah ada yang melanglang buana dibeli konsumen mancanegara seperti Malaysia, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Turki, Inggris, Skotlandia, serta Ethiopia.

"Kalau domestik cakupannya lebih banyak di Pulau Jawa. Tapi, sudah juga ke Kalimantan, di Bali karena ada di GWK, dan Indonesia Timur beberapa kali, walau masih agak kurang channel-nya ke sana," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar