31 Mei 2023
17:21 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Staf Ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi menyebut green industry tak hanya dibangun di Kalimantan, tetapi juga di Papua.
Yudo mengatakan, Papua punya potensi energi baru dan terbarukan (EBT) sekitar 381 GW, utamanya dari surya atau matahari dan hidro atau air. Pembangunan green industry di Papua, sambungnya, menjadi rencana masa depan mengingat konsumsi listrik di sana yang relatif rendah.
"Jadi kalau ingin kita tingkatkan, kita harapkan dari porsi industri dan komersial. Kalau andalkan perumahan, tumbuhnya tidak sebesar industri dan komersial," ungkap Yudo saat diskusi Jakarta Energy Forum 2023, Rabu (31/5).
Rencana jangka panjang itu ia katakan sebagai bagian dari langkah transisi energi Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE) dengan memanfaatkan EBT karena total potensinya di Indonesia mencapai lebih dari 3.600 GW.
"Jadi akan kita bangun industrinya, akan di-power up pembangkit yang clean," sambung Yudo.
Baca Juga: Gaung Besar Pembiayaan Berkelanjutan
Merujuk catatan Kementerian ESDM, Tanah Papua punya potensi energi surya sebesar 327,2 GW, antara lain tersebar di Papua 253,3 GW dan Papua Barat sebanyak 66,9 GW.
Sementara untuk energi hidro, potensinya mencapai 35,9 GW yang berada di Papua sebesar 32,9 GW dan Papua Barat 3 GW.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan Kalimantan Industrial Park Indonesia akan berdiri di atas lahan seluas 13 ribu hektare untuk pembangunan industri baterai kendaraan listrik, petrokimia, hingga industri aluminium yang didukung oleh energi hijau.
Jokowi mengklaim nantinya KIPI akan menjadi green industrial park terbesar di dunia dan akan berperan sebagai masa depan Indonesia. Apabila kawasan itu terealisasi dengan baik, dia optimis investor akan berbondong-bondong datang ke Pulau Borneo, khususnya industri yang berkaitan dengan green product.
Baca Juga: Dongkrak Daya Saing, Kemenperin Dukung Penerapan Industri Hijau
Namun demikian, Yudo menegaskan pemerintah tidak bisa melakukan transisi energi melalui energi bersih seorang diri, melainkan butuh peran multistakeholders, baik itu BUMN, asosiasi, instansi pemerintah, swasta, hingga masyarakat.
"Peran badan usaha bisa lewat pemanfaatan EBT, seperti PLTS atap untuk kantor. Ini penting karena permintaan global atas produk hijau semakin meningkat," tandasnya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menetapkan 34 Standar Industri Hijau dan menunjuk 14 Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH), yang sebanyak 12 di antaranya merupakan balai di bawah BSKJI. Termasuk di dalamnya adalah Balai Besar Standardisasi Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi dan Kemasan (BBSPJIKFK) Kemenperin.
Penunjukan BBSPJIKFK Kemenperin menjadi salah satu LSIH ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian 24/2021 dengan 11 ruang lingkup. Antara lain semen portland, pengolahan susu bubuk, berbasis air, pupuk urea, minyak goreng dari kelapa sawit, cat berbasis pelarut organik, gula kristal putih, pupuk NPK padat, tas atau kantong belanja plastik dan bioplastik, kertas dan papan kertas gelombang dan kemasan dari kaca.
Indonesia sendiri juga telah mematok target 23% bauran energi berasal dari energi baru dan terbarukan pada 2025, serta merencanakan menutup seluruh PLTU batu bara secara bertahap hingga 2050 mendatang. Upaya tersebut menjadi komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi hijau dan terjangkau bagi masyarakat.