09 September 2024
19:00 WIB
ESDM Buka-Bukaan Rencana Pengembangan Kelapa Reject Jadi Bioavtur
Ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mengimplementasikan pengolahan kelapa tak layak konsumsi menjadi bioavtur.
Penulis: Yoseph Krishna
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo saat menemui awak media di Kantor Ditjen EBTKE, Senin (9/9). Validnews/Yoseph Krishna
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui ada rencana untuk mengembangkan kelapa yang tak layak konsumsi menjadi bahan baku pembuatan bioavtur atau bahan bakar untuk pesawat terbang.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo mengungkapkan kelapa reject menjadi salah satu potensi yang diakui dan masuk daftar calon bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF).
"Memang kelapa-kelapa reject itu salah satu potensi untuk bisa menjadi bahan baku bioavtur, SAF itu," kata dia di Kantor Ditjen EBTKE, Senin (9/9).
Namun demikian, Edi menyebut ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, pembudidayaan komoditas kelapa saat ini masih dilakukan di perkebunan rakyat dan belum terindustrialisasi secara lebih luas.
Karena itu, muncul rencana tambahan tugas bagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengelola di luar komoditas kelapa sawit, yakni kakao hingga kelapa.
"Jadi itu dulu masuk supaya nanti termasuk hilirisasinya, budidayanya berkembang baik. Kalau sudah, nanti berkembang ke depannya, termasuk salah satu potensi untuk bisa dikembangkan jadi SAF tadi," ujar Edi.
Baca Juga: Menyisir Potensi Produk Hilir Kelapa Yang Masih Terabaikan
Pengembangan kelapa tak layak konsumsi menjadi bahan baku bioavtur pun disebutkannya telah dikaji secara mendalam oleh beberapa pihak dari Jepang, serta akademisi di dalam negeri
"Kalau kajian, Jepang sudah melakukan. Di kita, beberapa akademisi juga sudah ada yang melakukan," tambahnya.
Implementasi pengolahan kelapa reject menjadi bahan baku bioavtur, sambung dia, harus dilakukan secara bertahap. Setelah melakukan riset dasar, program itu harus masuk ke tahap laboratorium sebelum dilakukan piloting project dan komersialisasi.
Berdasarkan roadmap yang telah disusun, ada beberapa opsi untuk memproduksi SAF, mulai dari Used Cooking Oil (UCO), limbah cair kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), dan opsi teranyar ialah kelapa reject atau tidak layak konsumsi.
"Roadmap-nya akan dihilirisasi oleh Kemenko Marves dan kita targetkan di situ mungkin 1% tahun 2027. Kita sudah meninjau beberapa teknologi yang berkembang, nanti mana yang cepat akan kita usahakan," jabar Edi Wibowo.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengungkapkan Pemerintah Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan Jepang untuk membangun pabrik Crude Coconut Oil (CNO) sebagai bahan baku bioavtur dari kelapa.
Dia mengatakan kerja sama dengan Negeri Sakura merupakan bagian dari kampanye hilirisasi perkebunan Indonesia.
"Kita harapkan perlu ada peremajaan dan segala macam, sambil kita lihat lagi untuk hilirisasi. Kemarin kita kerja sama dengan Jepang untuk bangun pabrik CNO sebagai bahan baku bioavtur dari kelapa," terangnya saat dihubungi Validnews, Rabu (31/7).
Baca Juga: Gandeng Jepang, RI Bakal Sulap Kelapa Jadi Bioavtur
Dida menerangkan, nantinya proyek itu bakal menyasar kelapa-kelapa yang tak layak untuk dikonsumsi. Dengan begitu, tidak ada tumpang tindih kepentingan dengan program ketahanan pangan.
Pasalnya, ada sekitar 30% kelapa yang tidak layak konsumsi dalam satu pohon. Daripada terbuang begitu saja, pemerintah bakal mengolah kelapa-kelapa tersebut untuk menjadi CNO.
"Dalam satu pohon kelapa ada 30% tidak layak konsumsi, itu yang dijadikan bahan baku untuk bioavtur," ucapnya.
Rencananya, pabrik CNO yang dibangun atas kerja sama dengan Jepang itu bakal berdiri di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sinergi antarkedua negara itu dijelaskannya tak lepas dari peran Indonesia-Japan Bussines Network (IJB-Net).
IJB-Net sendiri merupakan inisiator terjalinnya kerja sama antara Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Green Power Development Corporation of Japan (GPDJ), dan PT ABE Indonesia Berjaya untuk mengembangkan bioenergi.
"Harapannya ini bisa berjalan baik dan semoga suatu saat pabrik bioavturnya bisa dibangun di kita (Indonesia)," tegas Dida Gardera.