10 November 2025
09:40 WIB
Ekonom Tegaskan Kondisi Ketenagakerjaan RI Memburuk
Buruknya kondisi ketenagakerjaan tecermin dari persentase pengangguran yang menurun bukan disebabkan oleh banyaknya pertambahan penduduk bekerja, melainkan bertambahnya jumlah angkatan kerja.
Penulis: Siti Nur Arifa
Sejumlah pencari kerja antre untuk masuk ke dalam area Pameran Bursa Kerja di Thamrin City, Jakarta, Selasa (28/5/2024). Bursa kerja ini diikuti 40 perusahaan nasional dengan 1.200 lowongan pekerjaan. Antara Foto/Aprillio Akbar
JAKARTA - Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengatakan, kondisi yang sebenarnya terjadi pada ketenagakerjaan Indonesia tidak membaik, namun sebalilknya cenderung memburuk.
Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun menjadi 4,85% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 4,91%. Namun, jumlah penganggur menurutnya relatif setara dan hanya berkurang 4.000 orang, menjadi 7,46 juta orang.
"Artinya, penurunan (persentase) TPT lebih disebabkan jumlah angkatan kerja yang meningkat," kata Awalil dalam pernyataan tertulis, dikutip Senin (10/11).
Awalil juga menyorot informasi BPS tentang keadaan ketenagakerjaan yang mencakup berbagai karakteristik, selain jumlah dan persentase pengangguran disajikan pula data jam kerja, sektor atau lapangan usaha, status pekerjaan, setengah pengangguran, pengangguran usia muda dan lain-lain yang menurutnya semakin mengindikasikan bahwa ketenagakerjaan di Indonesia memburuk.
"Berbeda jika yang dikemukakan hanya jumlah pengangguran dan persentase pengangguran," tambahnya.
Baca Juga: 7,46 Juta Orang Indonesia Menganggur Per Agustus 2025
'Terpaksa' Menampung Tenaga Kerja
Selain anomali dan ketimpangan penyerapan tenaga kerja, Awalil mengungkap data yang dimiliki BPS justru menunjukkan adanya indikasi keterpaksaan tenaga kerja untuk masuk pasar tenaga kerja yang tidak sesuai, sehingga menciptakan kondisi yang tidak kondusif.
Salah satunya, berupa persentase dari angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).
Awalil menjelaskan, TPAK bisa dianalisis sebagai salah satu potensi pertumbuhan ekonomi, namun kondisi yang terjadi justru menggambarkan keterpaksaan ekonomi untuk mencari pekerjaan.
Dirinya melanjutkan, secara sektoral, pekerja terbanyak bekerja di sektor pertanian yang mencapai 41,25 juta orang pada Agustus 2025. Merupakan jumlah terbanyak selama dua dekade terakhir untuk kondisi Agustus.
"Bisa dikatakan, sektor ini terpaksa menampung banyak tenaga kerja melampaui kapasitasnya untuk memberi imbalan kerja yang wajar," kata Awalil.
Belum lagi, jika dilihat dari status pekerjaan, pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar secara wajar menurutnya masih sangat banyak dan cenderung bertambah.
Jumlah pekerja tidak dibayar secara wajar bahkan mencapai 18,99 juta orang pada Agustus 2025, dan merupakan yang terbanyak kedua selama ini. Padahal, jumlah pekerja tersebut sempat cenderung menurun selama era 2013-2019 yang hanya sebanyak 14,76 juta orang pada 2019.
"Kondisi pekerja keluarga dalam kehidupan sehari-hari serupa pengangguran. Namun dalam definisi bekerja dari BPS, mereka tercatat sebagai telah bekerja, karena membantu orang lain memperoleh penghasilan atau keuntungan. Bahkan jika hanya beberapa jam dalam seminggu," jelas Awalil.
Baca Juga: Marak Pengangguran Terdidik, Kadin Dorong Transformasi Pendidikan
Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi Meningkat
Lebih lanjut, Awalil menyorot tingkat pengangguran yang justru meningkat signifikan pada masyarakat yang berpendidikan tinggi seperti Diploma IV, S1, S2, S3, yakni mencapai 5,39% pada Agustus 2025, atau bertambah 0,14% poin dari Agustus 2024 yang sebesar 5,25%.
Di saat bersamaan, dirinya juga menggarisbawahi data BPS tentang rata-rata upah buruh dari Agustus 2024 ke Agustus 2025 yang tumbuh 1,94% dari Rp3,27 juta menjadi Rp3,33 juta per bulan.
Namun pada periode yang sama, BPS mencatat inflasi Agustus 2025 (yoy) sebesar 2,31%, dengan inflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau mencapai 3,99%.
"Dapat diartikan sebagian pekerjaan yang tersedia kurang layak dan memang lebih untuk yang berpendidikan rendah. Diperburuk fenomena banyak orang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai, tetapi lapangan pekerjaan yang terbuka masih belum sesuai dengan harapan," urai Awalil.
Berkaca dari kondisi yang ada, Awalil menilai tingkat pengangguran di Indonesia mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya memburuk. Sebab, banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya belum mempunyai pekerjaan yang layak.
"Sebagian besar dari mereka harus bekerja apa saja untuk dapat bertahan hidup," tutupnya.