08 Februari 2025
08:00 WIB
Ekonom: Hilirisasi Tambang Saja Tak Cukup Dongkrak Pertumbuhan Industri
Ekonom menilai, hilirisasi yang sudah dijalankan bertahun-tahun belum mampu mendongkrak pertumbuhan industri, dan perekonomian.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk di Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), Marunda, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Antara Foto/M Risyal Hidayat
JAKARTA - Hilirisasi di sektor tambang saja belum cukup untuk mendongkrak industrialisasi yang tecermin dari pertumbuhan industri pengolahan, dan perekonomian secara keseluruhan.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, hilirisasi tambang yang sudah berjalan beberapa tahun ini tidak mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan mendekati level pertumbuhan ekonomi RI.
"Itu menandakan hilirisasi saja tidak cukup, apalagi hilirisasi tambang. Jadi memang hilirisasi perlu diperkuat, diperluas, bukan hanya di nikel, tapi juga komoditas lain," ujarnya kepada Validnews, Jumat (7/2).
Padahal, Faisal mengatakan, pemerintahan baru era Presiden Prabowo Subianto kerap menganggap hilirisasi sebagai strategi atau quick win.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi RI pada 2024 hanya di angka 5,03% atau lebih rendah dari target yang dipatok sebesar 5,2%. Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan sebesar 4,43%.
Baca Juga: Tak Terpusat Di Tambang, Pemerintah Serius Hilirisasi Rumput Laut
Sejalan dengan itu, Ekonom Core itu menyampaikan, pemerintah perlu memperluas hilirisasi ke sektor lain, tidak hanya terpaku di tambang saja. Contohnya, pertanian, perkebunan perikanan.
"Selain hilirisasi, kebijakan industrialisasi secara keseluruhan, termasuk penguatan di hulu yang perlu diperkuat, dibenahi, supaya industri kita tumbuh bisa di atas 5%," ungkapnya.
Faisal menerangkan, industrialisasi tak hanya sebatas hilirisasi. Namun, ia setuju hilirisasi berperan penting mendorong produktivitas sektor manufaktur, karena banyak komoditas yang dihasilkan di Indonesia tidak diolah secara optimal.
Seperti disampaikan, perbaikan di sektor hulu juga perlu. Salah satunya, memastikan ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri. Kemudian, menata sinergitas kebijakan antar kementerian/lembaga guna memudahkan industri.
"Bahkan idealnya, kalau mau mencapai pertumbuhan ekonomi sampai 8%, pertumbuhan industri manufakturnya lebih tinggi (dari pertumbuhan ekonomi), di pengalaman negara-negara Asia itu dobel digit," imbuh Faisal.
Tantangan Mencari Pasar
Terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, penghiliran di Indonesia belum banyak, dan negara tidak bisa mengandalkan satu hilirisasi nikel saja.
"Kalau hanya bertumpu pada nikel saja tidak cukup. Jadi memang perlu di-diversifikasi sebanyak mungkin, semampu kita yang memang siap," ungkap Eko dalam Diskusi Publik, Kamis (6/2).
Baca Juga: MIND ID Beberkan Dampak Berganda Hilirisasi Bagi Ekonomi Daerah
Namun, Eko menyoroti, perihal yang menjadi tantangan berikutnya adalah mencari pasar yang akan menyerap produk-produk hilir Indonesia.
"Memang harus ada pasarnya kan, kalau tidak siapa yang mau beli? Sehingga saya sarankan kerja sama internasional direalisasikan," ungkapnya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Eko menyarankan agar pemerintah menggencarkan menarik investasi. Itu bisa dilakukan paralel ketika melakukan kunjungan atau meneken kerja sama internasional.
Untuk diketahui, ada 28 komoditas yang menjadi prioritas hilirisasi ke depan. Di antaranya, timah, tembaga, bauksit, migas, sawit, kelapa, karet, udang, rumput laut, pasir silika, mangan, kakao, pala.
"Ketika kita datang ke suatu negara untuk menjalin kerja sama, apalagi dipimpin oleh presidennya, sudah dengan skenario 'ini lho, hilirisasi bidang ini yang mau kita dorong', cari investornya di situ," tutup Ekonom Indef.