14 Oktober 2023
15:20 WIB
JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menawarkan kepada dunia usaha dan industri, untuk mengambil alih sejumlah sekolah-sekolah yang kini dikelola oleh pemerintah. Langkah ini diambil demi meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.
"Kami mengundang industri dan dunia kerja sebagai co-creater pendidikan," kata Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yulianti dalam seminar bertajuk kolaborasi Nasional menuju Indonesia Kompeten 2030 yang digelar di aula BPJS Kesehatan, Jakarta, Sabtu (14/10)
Kiki menjelaskan, ketimbang dunia usaha dan industri membangun sekolah baru atau kampus baru, lebih baik masuk ke sekolah-sekolah milik pemerintah. Kemudian membentuk SDM bersama para akademisi di dalamnya untuk menghasilkan SDM yang sesuai kebutuhan dunia usaha dan industri.
Dengan demikian, lanjutnya, dunia usaha dan industri tidak perlu lagi memikirkan akreditasi dan mencari tenaga pendidik karena itu adalah urusan pemerintah, termasuk membangun gedung. Sedangkan, pemerintah tidak perlu lagi memikirkan kurikulum pendidikan harus bagaimana dan para praktisi mengajarnya di mana.
"Para begawan MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) kami mohon bantuan untuk memberi inspirasi di kelas-kelas kami dan di ruang-ruang kuliah kami," kata Kiki.
Sebagai seorang akademisi, Kiki mengungkapkan ada beberapa hal yang tidak dimiliki oleh para akademisi meski punya gelar. Pertama, akademisi tidak punya pengalaman praktis, alias tahu teori tetapi tidak tahu kenyataan. Kedua, akademisi belum tentu mampu menginspirasi.
Menurut Kiki, mahasiswa yang kuliah seringkali memilih jurusan atas dasar profesi orang tua atau tetangga, misalnya ayahnya pengusaha ikan, maka anaknya kuliah jurusan perikanan. Apabila dunia usaha dan industri masuk ke ruang-ruang kelas pemerintah, maka mereka bisa menginspirasi para siswa dan mahasiswa tentang berbagai profesi yang menarik di luar sana.
"Kami punya tidak banyak, walaupun belum juga sangat sempurna, itu adalah laboratorium," kata Kiki.
Ia mengatakan, pemerintah juga memiliki para pakar yang mumpuni, sehingga dunia usaha dan industri tidak perlu membuat program penelitian dan pengembangan sendiri. Dengan aset laboratorium dan pakar, maka dunia usaha dan industri dapat menyelesaikan tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh perusahaan.
Hal itu juga dilengkapi dengan anggaran yang disebut dengan istilah matching fund. Setiap uang yang keluar dari dunia usaha akan diberi Rp1 yang sama dari Kementerian. Kalau untuk menyelesaikan suatu persoalan industri butuh Rp100, kata dia, maka dari dunia usaha cukup Rp50 dan pemerintah Rp50, lalu semua hasilnya untuk dunia usaha dan industri.
Pemerintah ingin para siswa dan mahasiswa untuk belajar langsung ke dalam dunia usaha dan industri agar menambah bekal pengalaman dan pengetahuan. Ketika pendidikan mereka selesai, maka mereka siap menghadapi tantangan pekerjaan.
"Kami hanya titip sedikit. Titipnya adalah tolong beri kesempatan mahasiswa kami ikut belajar dalam proses penyelesaian persoalan. Karena ini yang kita perlukan, anak-anak kita lebih juga tahu kenyataan bukan hanya teori," ujar Kiki.
"Jadi kita bisa berbagi resource untuk MSDM kita, berbagi resource untuk kepakaran kita, dan berbagi resource tentang peralatan," tandasnya.
Tiga Aspek
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menyatakan terdapat tiga aspek dalam memastikan, pendidikan vokasi responsif terhadap tuntutan industri yaitu kurikulum, pembelajaran, dan sumber daya manusia (SDM).
“Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN siap untuk meningkatkan kolaborasi dengan industri khususnya dalam bidang pendidikan vokasi,” ucapnya.
Salah satu upaya mengelaborasi ketiga aspek tersebut adalah melalui Konferensi Internasional Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (Technical and Vocational Education and Training/TVET) oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek. Konferensi ini mengusung tema Collaborative Framework on TVET Reformation in Encouraging Innovation through Collaboration Between TVET and Business Entity/Industry.
Konferensi tersebut mempertemukan para pendidik, pakar industri, dan pembuat kebijakan dari 10 negara di Kawasan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Selain itu terdapat juga satu perwakilan negara untuk mengeksplorasi kekuatan transformasi dari penguatan citra di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi, sekaligus mendorong kolaborasi antara satuan pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
“Kolaborasi antara TVET dan industri bisnis harus saling menguntungkan dan berkelanjutan,” kata Kiki.
Kiki menjelaskan dalam kerangka kebijakan Merdeka Belajar, Kemendikbudristek menggulirkan program dana padanan (matching fund) dan peraturan tentang pengurangan pajak super agar DUDI leluasa berkolaborasi dengan satuan pendidikan vokasi.
“Lewat konferensi ini kiranya terbentuk sebuah rekomendasi bersama antarnegara ASEAN mengenai pengakuan dan kesetaraan atas kompetensi lulusan pendidikan vokasi,” kata Kiki.
Plt. Direktur Kemitraan dan Penyelarasan DUDI Uuf Brajawidagda terdapat tujuh negara yang berpartisipasi dalam konferensi ini yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Kamboja, Filipina, Vietnam serta satu negara perwakilan yakni Timor Leste.
“Di dalam pelaksanaan konferensi, kami mendorong peserta untuk saling belajar dan saling berbagi praktik baik pendidikan dunia vokasi di negara masing-masing, untuk selanjutnya memperkaya hasil rekomendasi konferensi,” kata Uuf.