c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

EKONOMI

15 Oktober 2021

14:15 WIB

DPR Desak Pemerintah Juga Benahi Benahi Tata Niaga Nikel Nasional

Selain industrialisasi nikel, pemerintah juga didesak memperbaiki tata niaganya yang dinilai masih belum adil

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Dian Kusumo Hapsari

DPR Desak Pemerintah Juga Benahi Benahi Tata Niaga Nikel Nasional
DPR Desak Pemerintah Juga Benahi Benahi Tata Niaga Nikel Nasional
Suasana Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. ANTARAFOTO/Aprillio Akbar.

JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menilai, hilirisasi produk sumber daya alam nasional seperti tambang dan nikel memang merupakan sebuah keharusan, bukan sekadar pernyataan retoris belaka. 

Selain hilirisasi, ia juga menekankan pemerintah untuk fokus membenahi tata niaga komoditas nikel di dalam negeri. Amin secara khusus menyoroti pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melarang ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah (raw material). 

Jokowi menekankan, ke depan Indonesia tidak lagi mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah, namun bahan setengah jadi agar mendapat perolehan nilai jual yang lebih tinggi.

“Semoga Presiden Jokowi konsisten dengan ucapannya. Namun, demi keadilan, tata niaga nikel juga harus dibenahi agar tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja,” tegas Amin dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat (15/10).

Tata niaga nikel, imbuh Amin, antara lain dengan penerapan harga patokan mineral (HPM) yang adil dan tidak merugikan para pelaku usaha pertambangan. Amin pun menilai, kondisi di lapangan tidak mencerminkan harga internasional. 

Saat ini, industri smelter menerapkan harga terlalu murah, jauh di bawah standar harga internasional. Amin pun merujuk data Shanghai Metal Market (SMM), pada semester I/2021 harga nikel kadar 1,8% dipatok sebesar US$79,61 per ton. 

Sementara, saat ini harga HPM tidak mencapai setengahnya atau hanya ada di kisaran US$38,19 per ton. Kendati pun pada praktik harga di lapangan kondisinya bisa jauh lebih rendah lagi.

"Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga lokal 1,8% (nikel) yang diterima itu cuma kira-kira Rp300.000 atau sekitar US$24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$34 per ton, ini kadar rendah,” jelasnya.

Fakta lainnya, sebutnya, industri smelter di dalam negeri yang kini didominasi investor dari China, hanya mengolah sebagian besar bijih nikel pig iron (NPI) dengan produk akhir maksimal 20-25%. 

Terang saja, kondisi tersebut membuat praktik hilirisasi malah menguntungkan negara tujuan ekspor, bukan Indonesia. Sementara itu, Amin juga meyakini investor masih mendapat keuntungan lainnya dari berbagai kebijakan insentif fiskal, seperti fasilitas tax holiday dan keringanan pajak ekspor. 

Sementara itu, mereka bisa membeli olahan nikel setengah jadi tersebut, dengan harga seperempat atau sepertiga lebih murah dari harga internasional.

“Ini tidak adil dan tidak memperkokoh industri dalam negeri. Karena itu tata niaga nikel wajib dibenahi,” ujarnya.

Terkait hilirisasi nikel, terangnya, semestinya kemampuan inovasi dan teknologi dikuasai anak bangsa. Kalaupun saat ini bekerja sama dengan pihak lain, maka pemerintah harus mendorong terjadinya alih teknologi agar kemandirian bangsa benar-benar terwujud.

“Perkuat industri dalam negeri agar nilai tambah sumber daya alam dinikmati anak bangsa. Jika tidak, Presiden Jokowi hanya beretorika soal hilirisasi,” pungkasnya.

Perkuat Diversifikasi Produk
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menegaskan, jangan sampai niat maksimalisasi nilai tambah nikel malah merugikan negara. Karenanya pemerintah diminta bersungguh-sungguh melaksanakan program hilirisasi nikel.

"Jangan tanggung-tanggung alias setengah hati kalau mau hilirisasi nikel. Sebab selama ini hilirisasi nikel masih sebatas industri smelter dengan produk nikel matte dan NPI (nickel pig iron), dengan nilai tambah yang rendah," ujar Mulyanto, Kamis (14/10).

Pemerintah diharapkan dapat mengembangkan diversifikasi produk nikel, baik berupa stainless steel, baterai listrik, baja tahan karat dan lainnya. Bukan bahan baku setengah jadi, sehingga Indonesia dapat menikmati nilai tambah yang tinggi dari komoditas tersebut.

Ia pun mengingatkan, negara sudah banyak berkorban untuk program hilirisasi nikel. Yakni melalui pelarangan ekspor bijih nikel, meski harga nikel internasional sedang tinggi.

Akibatnya, penerimaan negara dari royalti nikel rendah, belum lagi pendapatan negara dari pajak ekspor bijih nikel menjadi 'nol'. Pemerintah juga, lanjut Mulyanto, membebaskan pajak PPh Badan untuk industri smelter.

Dengan kondisi seperti itu, nilainya, pemerintah terlalu memanjakan pengusaha smelter dengan harga bijih nikel yang kurang dari separuh harga internasional dan 'nol' persen PPh badan. 

"Sementara, hasilnya hanya produk setengah jadi untuk keperluan industrialisasi di China," terangnya. 

Oleh karenanya, politisi dapil Banten III ini minta kebijakan hilirisasi setengah hati yang dijalankan pemerintah dikoreksi total. Sebab, tidak menguntungkan bagi negara. 

"Kebijakan itu hanya menguntungkan pengusaha dan industri asing," ujarnya. 

Indonesia perlu meningkatkan penerimaan negara di tengah himpitan utang untuk pembiayaan pandemi. Terobosan program hilirisasi, evaluasi HPM, dan PPh badan untuk industri smelter perlu dipertimbangkan pemerintah secara serius. 

"National interest kita yang utama. Kita bukan supporter bagi program industrialisasi China," pungkas Mulyanto.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER