13 September 2025
11:05 WIB
Dear Menkeu, Jangan Gunakan Rp200 Triliun Untuk Energi Fosil
Purbaya Yudhi Sadewa wajib menerbitkan PMK yang mengatur pengelolaan dana Rp200 triliun agar tidak digunakan untuk membiayai energi fosil dan sejalan dengan ambisi bauran EBT 10%.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Ilustrasi proyek energi terbarukan. Shutterstock/bombermoon
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa resmi mengucurkan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang selama ini disimpan di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp200 triliun untuk menyuntik likuiditas perbankan pelat merah, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, serta BSI.
Dari kelima bank tersebut, Mandiri, BNI, dan BRI mendapatkan porsi paling besar masing-masing senilai Rp55 triliun, diikuti BTN yang mendapat injeksi Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun.
Namun demikian, Menkeu harus memastikan aliran dana tak dikucurkan secara besar-besaran pada proyek energi fosil supaya tidak menjadi batu sandungan agenda transisi energi dan risiko kredit macet bagi perbankan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira khawatir pemindahan kas pemerintah dari BI ke Himbara akan lebih banyak digunakan untuk menyalurkan kredit pada proyek-proyek energi fosil.
Padahal, dana sebesar itu sangat lumayan jika digunakan untuk pendanaan iklim dan pengembangan sektor energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai bagian dari agenda transisi energi nasional.
"Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekedar diserahkan ke Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset) dan kredit macet," tegasnya lewat keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (13/9).
Baca Juga: Wamen ESDM: Transisi Energi Jadi Biang Kerok Bisnis Kilang Minyak 'Rungkad'
Dia juga mendorong Bendahara Negara agar membuat perjanjian dan regulasi yang spesifik, salah satunya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) supaya kucuran dana itu bisa dikelola sejalan dengan ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai bauran 100% EBT dalam 10 tahun yang akan datang.
Menurut Bhima, likuiditas tambahan kepada bank-bank pelat merah jangan hanya disalurkan untuk mendorong pertumbuhan kredit, tapi juga harus membidik target sektor yang membuka lapangan kerja.
Berdasarkan hitung-hitungannya, pengembangan sektor energi terbarukan punya andil mendorong 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun ke depan. Jadi, dana Rp200 triliun lebih baik didominasi untuk proyek-proyek transisi energi nasional.
"Tapi selama ini bank Himbara kurang dari 1% porsi penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan. Peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara harus jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang prospektif," kata Bhima.
Pinjaman Ke Sektor Batu Bara
Sekadar informasi, laporan #BersihkanBankmu bertajuk 'Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara' mengungkap adanya peningkatan pendanaan untuk batu bara yang cukup signifikan pada 2021-2024 lalu oleh Himbara.
Sebanyak lima bank milik negara, termasuk Mandiri, BNI, dan BRI dalam laporan itu tercatat menyalurkan pinjaman senilai US$5,6 miliar kepada perusahaan batu bara di Indonesia. Bank Mandiri dalam hal ini menjadi bank yang memberikan pinjaman dalam jumlah terbesar dan frekuensi tertinggi, yakni mencapai US$3,2 miliar.
Sementara itu, Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah (CERAH) Dwi Wulan mengungkapkan guyuran kas negara untuk Himbara harus diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang berkelanjutan.
Baca Juga: OJK: Kredit Berkelanjutan Bank 2024 Tembus Rp2.075 T
Apalagi, Indonesia ditaksir punya potensi kapasitas energi terbarukan hingga 3.687 Gigawatt (GW). Sedangkan pemanfaatannya, baru di angka 13 GW atau kurang dari 1%.
"Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif. Sehingga, Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas fiskal, tapi juga membangun ketahanan energi dan mempertegas komitmen iklim nasional," jabarnya.
Dirinya menaksir proses industrialisasi, termasuk hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit butuh tambahan energi listrik di kisaran 50-60 GW pada 2040 yang akan datang.
Apabila kebutuhan itu dipenuhi oleh energi fosil, Dwi meyakini risiko stranded asset bakal membesar. Karenanya, pemerintah dan bank-bank BUMN harus mengadopsi dan memperkuat kerangka ESG sebagai panduan penyaluran dana.
"Prinsip ini memastikan arus pembiayaan tidak menyuburkan sektor fosil, melainkan mendorong transformasi menuju ekonomi hijau yang lebih resilien, inklusif, dan berkeadilan," tandas Dwi Wulan.