c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

28 Mei 2025

20:43 WIB

Data Kemiskinan Dan Pengangguran Usang, Celios Desak Pemerintah Perbarui Metode

Guna ketepatan pengambilan keputusan, perbedaan signifikan data kemiskinan dan pengangguran Indonesia antara Bank Dunia, BPS, dan lapangan perlu secepatnya ditangani serius.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p>Data Kemiskinan Dan Pengangguran Usang, Celios Desak Pemerintah Perbarui Metode</p>
<p>Data Kemiskinan Dan Pengangguran Usang, Celios Desak Pemerintah Perbarui Metode</p>
Ribuan warga berdesakkan memberika surat lamaran di bursa kerja Kota Batam 2022. Antara/Yude

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perbedaan data antara BPS dan Bank Dunia (World Bank) mengenai jumlah masyarakat miskin di Indonesia perlu secepatnya ditangani serius.


Bukan tanpa alasan, situasi ekonomi yang saat ini semakin menghadapi tekanan dirasa perlu ditanggapi cepat, dengan mengutamakan akurasi data, guna mengetahui siapa sebenarnya yang harus diutamakan dan dibantu oleh pemerintah.


“Dari perang dagang, efek terhadap kehilangan output ekonominya (mencapai) Rp164 triliun, meskipun sekarang sedang masa jeda. Artinya situasi ekonomi yang memburuk akan menimbulkan banyak sekali kehilangan lapangan kerja,” ujar Bhima di Jakarta, Rabu (28/5).


Baca Juga: Angka Kemiskinan Bank Dunia VS BPS Beda, Ini Penjelasannya


Sebagai catatan, berdasarkan data BPS 2024, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai Rp24,06 juta jiwa atau 8,57% dari total penduduk. Sementara berdasarkan data Bank Dunia, penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 171,8 juta jiwa (60,3% dari total penduduk).


Bersamaan dengan ketidakcocokan data, Bhima juga menyorot fenomena kontribusi simpanan perorangan yang angkanya terus mengalami penurunan akibat kondisi ‘makan tabungan’ alias mantab di tengah tekanan ekonomi. Situasi ini mengindikasikan adanya kelompok menengah yang turun level menjadi orang miskin baru.


Baca Juga: Pemerintah Target Kemiskinan Ekstrem 0% Pada 2026


Sebab itu, akurasi data diperlukan untuk menentukan siapa saja masyarakat yang harus pertama kali ditolong pemerintah ketika ada gejolak ekonomi yang terjadi setiap waktu dan makin dinamis.


“Jadi kalau ada satgas PHK, siapa yang kemudian harus ditolong pertama kali dari korban PHK itu? Untuk memastikan mereka mendapatkan haknya, mendapatkan berbagai bantuan dari pemerintah, maka (pembaruan) data ini menjadi sangat penting,” tambahnya.


Kesimpangsiuran Data
Lebih lanjut, Bhima juga menyorot klaim data pemerintah yang sering kali tidak sinkron dengan kondisi di lapangan. Salah satunya mengenai data penurunan tingkat pengangguran, jumlah PHK, dan realita yang sebenarnya terjadi.


Bhima mencontohkan, data korban PHK di 2024 yang menurut catatan BPS berada di angka 78 ribu tenaga kerja. Menurutnya, data tersebut tidak sesuai dengan situasi industri yang mengindikasikan tekanan lebih besar. Bahkan, data antar lembaga terkait soal ketenagakerjaan juga sering kali tidak menunjukkan keseragaman.


“Dari asosiasi pengusaha mengeluarkan data sendiri, dari sisi pemerintah ada Kemnaker, ada BPJS Ketenagakerjaan, beda lagi datanya. Sehingga ini membuat kita bertanya, data yang dipegang pemerintah sendiri itu gimana nyarinya?” tegas Bhima.


Baca Juga: Pasrah Terengah Si Kelas Menengah


Ketidakcocokan data secara mendetail terhadap identitas para pekerja di setiap sektor juga diyakini jadi salah satu penyebab. Sehingga pemerintah masih gagal melakukan intervensi dalam menghadapi kondisi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.


“Pemerintah tidak punya data korban PHK by name by address, itu yang menjadi salah satu isu krusial dan menyebabkan pemerintah gagal mengintervensi termasuk memberikan perlindungan,” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar