c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

03 November 2025

18:11 WIB

Danantara Beberkan Best Practice PLTSa Di China

RI bakal tiru pemanfaatan teknologi insinerator di China untuk mengonversi sampah menjadi energi.

Penulis: Yoseph Krishna, Siti Nur Arifa

<p id="isPasted">Danantara Beberkan <em>Best Practice</em> PLTSa Di China</p>
<p id="isPasted">Danantara Beberkan <em>Best Practice</em> PLTSa Di China</p>

Stefanus Ade Hadiwidjaja, Managing Director Investment Danantara dalam Media Briefing Waste to Energy di Wisma Danantara, Senin (3/11). ValidNewsID/Siti Nur Arifa

JAKARTA - Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) terus mematangkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dalam program Waste to Energy (WtE).

Managing Director Investment Danantara Indonesia Stefanus Ade Hadiwidjaja mengatakan proyek pengelolaan sampah menjadi energi listrik itu sudah dilakukan oleh sejumlah negara di Uni Eropa, Jepang, hingga China. Bahkan, ia menilai WtE telah sukses mengubah kondisi persampahan di China.

Lewat proyek PLTSa, Negeri Panda disebut Stefanus sudah berubah total dari yang kondisi sampahnya sangat ekstrem, menjadi bersih ekstrem. Agenda itu sudah dijalankan China sejak 20 tahun lalu.

"Yang tadinya parah, sekarang ekstrem secara bersih adalah China. Kalau ada yang pernah ke beberapa kota di China, kita lihat sekilas itu luar biasa bersih," ucap Stefanus dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/11).

Persampahan, sambung Stefanus, sudah menjadi problem di China sejak 20 tahun lalu. Pemerintahan China pun sadar dan memutar otak untuk membereskan permasalahan itu, salah satunya lewat proyek pembangkit listrik tenaga sampah.

Sekitar 20-25 tahun lalu, China masih masuk kategori negara berkembang menuju maju dan punya permasalahan sampah. Hal tersebut identik dengan apa yang dialami oleh Indonesia dewasa ini.

"China itu saat itu lagi naik-naiknya. Jadi, isu ini mirip lah sama kayak kita sekarang gitu, kita kan juga lagi growing," kata dia.

Guna mengatasi masalah persampahan, China menggunakan insinerator, yakni teknologi untuk membakar sampah dan mengkonversikannya menjadi energi.

Teknologi tersebut bisa menjamin 90% emisi hilang menjadi bottom ash, serta 0% flying ash. Stefanus menegaskan teknologi itu pun bakal dimanfaatkan Indonesia yang sekarang tengah mempersiapkan proyek PLTSa.

"Ini almost clean, terus yang bottom ash-nya itu sebenarnya bisa diolah lagi, bisa jadi batu bata dan lain-lain," sambung Stefanus.

Tak sampai situ, dia menyebut pula China memiliki teknologi untuk mengolah air lindi yang kotor dan berwarna coklat, menjadi air bening yang bersih dan bahkan layak untuk diminum.

Air lindi sendiri merupakan tetesan air yang berasal dari tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Selama ini, air lindi punya implikasi merusak sumber daya air tanah karena tidak terkelola dengan baik.

"Saya sempat melihat sendiri di Jepang, Eropa, China, itu semua yang namanya lindi, warnanya coklat, itu kalau kita kena siram bisa seminggu tidak hilang baunya. Itu bisa diproses, jadi bening dan bisa diminum," jabarnya.

Lebih lanjut, Stefanus menyebut tempat pembuangan akhir (TPA) di China sudah sangat minim karena Negeri Tirai Bambu sudah memiliki 1.100 unit insinerator. Artinya, seluruh sampah yang ada di sana sudah diproses di PLTSa.

"Kadang-kadang di taman bermain ada perpustakaan, tapi orang tidak sadar di belakangnya dan di bawahnya ada mesin pembakaran yang canggih, membakar, lalu truk masuk dari belakang, dituang, keluar jadi energi, tidak ada sisa," tandas Stefanus.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar