c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

27 Agustus 2025

20:38 WIB

Code of Conduct Sudah Tak Berlaku, AFPI Tolak Tuduhan Kesepakatan Harga

AFPI kembali menegaskan bahwa platform pinjaman daring (pindar) tidak pernah melakukan kesepakatan harga pada 2018. Hal itu merespons dugaan yang dilayangkan KPPU.

Penulis: Fitriana Monica Sari

<p id="isPasted"><em>Code of Conduct</em> Sudah Tak Berlaku, AFPI Tolak Tuduhan Kesepakatan Harga</p>
<p id="isPasted"><em>Code of Conduct</em> Sudah Tak Berlaku, AFPI Tolak Tuduhan Kesepakatan Harga</p>

Seorang jurnalis menunjukkan pesan penawaran pinjaman online yang ada di gawainya saat rilis kasus di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (15/10/2021). Antara Foto/Sigid Kurniawan

JAKARTA – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kembali menegaskan bahwa platform pinjaman daring (pindar) tidak pernah melakukan kesepakatan harga pada 2018. Hal itu merespons dugaan yang dilayangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Lebih lanjut, AFPI turut menyampaikan bahwa Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi yang disebut sebagai alat bukti kesepakatan antarplatform oleh KPPU juga telah dicabut pada 8 November 2023, sesuai tanggal mulai berlakunya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antar platform di 2018-2023,” ujar Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah di Jakarta, Rabu (27/8).

Menurutnya, pasca ditetapkannya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang berlaku di akhir 2023, AFPI telah mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi.

Baca Juga: Pakar: Sidang Dugaan Kartel Pinjol KPPU Bisa Hambat Investasi Asing

“Kembali saya sampaikan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) merupakan arahan OJK pada saat itu untuk melindungi konsumen dari predatory lending dan pinjol ilegal yang memasang bunga sangat tinggi. Hal ini juga sudah kami sampaikan ke KPPU,” imbuhnya.

Sebelumnya, studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang mengutip data OJK menyebutkan, sepanjang 2024, jumlah entitas pinjol ilegal mencapai 3.240, atau sekitar 30 kali lipat lebih banyak dibandingkan platform pinjaman daring resmi yang hanya berjumlah 97.

Data ini menegaskan bahwa masih besarnya tantangan dalam melindungi masyarakat dari praktik pinjol ilegal.

“Masifnya penyebaran pinjol ilegal menuntut pelaku usaha berizin untuk menetapkan mekanisme perlindungan konsumen, salah satunya membatasi suku bunga supaya terjangkau dan tidak membebani,” kata Kuseryansyah.

Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra juga memberikan perspektif hukum mengenai tuduhan kartel yang dilayangkan KPPU kepada pelaku pindar.

Dia mengaku tidak menemukan indikasi kesepakatan harga dalam dugaan yang dilayangkan KPPU.

Salah satu tujuan perusahaan-perusahaan membuat perjanjian penetapan harga adalah agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara membuat kesepakatan. Skenario yang dilakukan umumnya adalah menaikkan harga jadi tinggi.

Baca Juga: AFPI: Jumlah Pinjol Ilegal 30 Kali Lebih Besar Dari Pinjol Legal

“Dalam konteks industri Pindar, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pindar?" ujar Ditha

Lebih lanjut, dia menambahkan, dugaan yang dituduhkan KPPU pun tidak bisa disebut sebagai kartel.

Pasal yang dikenakan kepada para platform Pindar adalah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengenai kesepakatan harga atau price fixing. Ia menilai tuduhan kartel merupakan kesalahan persepsi.

“Jika kita mengatakan kartel, seolah-olah pelaku melakukan pelanggaran Pasal 11, padahal yang dituduhkan Pasal 5. Undang-undang kita memberikan pengaturan yang berbeda untuk dua pasal tersebut," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar