c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

26 Juni 2023

20:30 WIB

CIPS: Perkecil Kesenjangan Literasi dan Inklusi Keuangan

CIPS menilai kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu terus diperkecil untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

CIPS: Perkecil Kesenjangan Literasi dan Inklusi Keuangan
CIPS: Perkecil Kesenjangan Literasi dan Inklusi Keuangan
Ilustrasi literasi keuangan. Shutterstock/dok

JAKARTA - Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Kartina Sury menilai kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu terus diperkecil untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.

“Kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan menyebabkan masyarakat berisiko membuat keputusan keuangan yang salah termasuk di antaranya adalah penggunaan produk jasa keuangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan finansial,” jelas Kartina dalam pernyataan tertulis, Senin (26/6).

Dalam jangka panjang, lanjutnya, dikhawatirkan terjadinya pemilihan produk jasa keuangan yang terbatas pada beberapa produk tertentu saja sehingga tujuan untuk mengarahkan masyarakat ke perencanaan keuangan, stabilitas keuangan, kesehatan keuangan dalam upaya mencapai financial wellness menjadi terbatas.

Ia menuturkan, literasi keuangan adalah aspek fundamental dari perlindungan konsumen yang dapat mengembangkan serta meningkatkan kepercayaan kepada industri jasa keuangan. 

Menurutnya, literasi keuangan akan mendukung pengguna produk jasa keuangan untuk melakukan pengambilan keputusan penting (informed decision) terkait pengelolaan keuangan pribadi yang dapat mendukung tercapainya financial wellness.  

Baca Juga: Mengenal Literasi Keuangan

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inklusi keuangan di wilayah perkotaan mencapai 86,7%. Sementara pencapaian di perdesaan baru mencapai 82,7%. Dengan demikian, terdapat kesenjangan 4,0% antara desa dan kota. Sementara itu, literasi keuangan di perkotaan mencapai 50,5% dan desa 48,4% dengan kesenjangan sebesar 2,1%.

Pada 2019, gap inklusi keuangan desa-kota mencapai 15,1% dan gap literasi keuangan menyentuh 6,9%. Survei terakhir di 2019 menunjukkan, inklusi keuangan yang mencapai 76% dan angka ini tidak sebanding dengan literasi keuangan yang masih di angka 38%.

Artinya, lanjut Kartina, masyarakat sudah banyak mengakses jasa dan produk keuangan tanpa adanya pemahaman yang memadai tentang jenis serta risiko dari masing-masing produk dan layanan keuangan.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu diatasi secara bersama-sama, tidak hanya oleh pemerintah dan pelaku industri jasa keuangan, tetapi juga oleh pelaku industri lainnya yang turut memasarkan produk jasa keuangan.

"Kesenjangan ini juga berdampak membuat masyarakat pengguna rentan terhadap keputusan keuangan yang berisiko, menanggung terlalu banyak hutang, atau bahkan menjadi korban produk investasi bodong. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap jasa keuangan dapat menghambat pertumbuhan sektor keuangan," tegasnya.

Tidak hanya literasi keuangan, masyarakat pun menurutnya perlu mendapatkan edukasi mengenai literasi digital. Pandemi Covid-19 tidak hanya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital tetapi juga telah memacu peningkatan kegiatan masyarakat pada ranah digital, termasuk layanan dan transaksi produk jasa keuangan.

"Adopsi layanan dan produk jasa keuangan melalui sarana digital tentunya perlu diikuti dengan peningkatan literasi keuangan digital masyarakat. Hal ini penting supaya mereka bisa menggunakan aplikasi digital untuk penggunaan produk jasa keuangan digital yang tepat sesuai kebutuhan perencanaan keuangan, bukan hanya berdasarkan permasalahan keuangan," ungkapnya.

Baca Juga: SNLIK 2022: Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan Kompak Naik 

Di satu sisi ia berpendapat terdapatnya integrasi antara literasi dan produk keuangan dapat mendukung tercapainya peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Program edukasi keuangan yang konsisten dan menjangkau berbagai lini segmen dan kelas ekonomi di masyarakat sangatlah dibutuhkan.

"Hal ini untuk memastikan agar masyarakat dapat menggunakan produk dan layanan jasa keuangan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan keuangannya," imbuhnya.

Sebagai informasi menurut Bank Indonesia (BI), dalam lima tahun terakhir terutama saat pandemi covid-19, prevalensi digitalisasi semakin menguat. Jumlah pelanggan digital baru meningkat sebesar 21 juta, penetrasi penggunaan internet meningkat hingga 74%, dan 98% merchant di Indonesia telah mengadopsi metode pembayaran digital, bahkan 59% di antaranya menggunakan pembiayaan digital.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar