22 September 2025
08:37 WIB
CIPS Minta Program MBG Dihentikan Dan Dievaluasi
Penambahan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tanpa diiringi kesiapan tata kelola sejak awal, berpotensi meningkatkan risiko dan kasus yang ada secara signifikan, seperti kasus keracunan.
Penulis: Fin Harini
Editor: Fin Harini
Para siswa sekolah rakyat menikmati makan siang dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) bersama di ruang kantin sekolah. ValidNewsID/Hasta Adhistra Ramadhan
JAKARTA – Pemerintah berencana meningkatkan target penerima dan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu menghentikan dan mengevaluasi jalannya MBG.
Penghentian dan evaluasi ini dibutuhkan supaya pemerintah fokus pada evaluasi dan pengembangan tata kelola serta desain program yang lebih jelas dan berbasis bukti.
“Penting bagi pemerintah untuk menghentikan sementara dan mengevaluasi jalannya Program MBG. Setelah lebih dari 6 bulan berjalan tanpa tata kelola yang jelas, ambisi untuk terus meningkatkan penerima secara drastis sampai 82,9 juta orang berisiko memperparah skala kasus yang sudah terjadi, seperti keracunan dan konsumsi pangan ultraolahan,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan CIPS Jimmy Daniel Berlianto melalui siaran pers, dikutip Senin (22/9).
Dalam penelitiannya, CIPS mengidentifikasi adanya permasalahan yang menghambat tercapainya efektivitas dari program ini. Pertama adalah belum adanya kerangka regulasi yang jelas yang menjadi payung hukum program andalan Presiden Prabowo Subianto ini.
MBG belum diatur secara jelas dalam kerangka peraturan tertentu, seperti Undang-Undang (UU) dan Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini menyebabkan belum jelasnya pembagian peran antar lembaga.
Kemudian, tanpa evaluasi yang mendalam, pemerintah mempercepat target jangkauan penerima manfaat MBG yang berjumlah 82,9 juta dari 2029 menjadi 2025.
Menurut Jimmy, target jumlah penerima berubah jika dibandingkan dokumen perencanaan teknokratis, seperti RPJMN 2025-2029. Yakni, dari 17,8 - 19,47 juta orang untuk dicapai akhir 2025, menjadi 82,9 juta orang untuk dicapai akhir 2025.
Dalam Rapat RAPBN 2026 yang berlangsung pekan lalu, Presiden mengumumkan Program MBG akan mendapatkan tambahan anggaran yang diambil dari anggaran pendidikan yang berjumlah Rp 757,8 triliun. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan komponen anggaran pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya jika tanpa program MBG.
“Penambahan anggaran untuk Program MBG ini belum tentu berhasil mencapai dampak yang diinginkan,” tegasnya.
Baca Juga: CISDI Desak Presiden Hentikan Program MBG
Tanpa diiringi kesiapan tata kelola sejak awal, Program MBG berpotensi meningkatkan risiko dan kasus yang ada secara signifikan, seperti kasus keracunan, terlambatnya kebermanfaatan di daerah tertentu seperti 3T, hingga semakin risiko gizi karena potensi peningkatan penggunaan pangan ultraolahan.
Jimmy menambahkan, peningkatan anggaran perlu diikuti adanya efektivitas. Sementara hal itu adalah hal yang belum terbukti sejak berjalannya program ini di awal 2025. Penyerapan anggaran untuk pelaksanaan MBG berkisar Rp8 triliun per awal Agustus. Hal ini menandakan penyerapan rata-rata sekitar Rp1,14 triliun per bulan sejak resmi dimulai pada 6 Januari 2025.
Mengurangi anggaran pendidikan untuk MBG berisiko terhadap konsistensi kebijakan dan pengembangan program di sektor ini, apalagi jika yang dikurangi adalah Transfer ke Daerah (TKD) untuk pendidikan.
Hal ini tentu akan berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan. Padahal, pemerintah masih menghadapi tantangan serius dalam memperbaiki ketimpangan pendidikan di Indonesia.
“Kompleksitas masalah sumber daya manusia tidak bisa hanya diselesaikan dengan program MBG,” urainya.
Pemerintah belum memiliki perencanaan yang matang mengenai apa yang ingin dicapai lewat program MBG. Tanpa perencanaan dan tata kelola yang jelas, program MBG justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru, seperti memperlebar ketimpangan antar daerah karena ketidaksiapan pengembangan program.
Rekomendasi CIPS
CIPS merekomendasikan tiga hal sebagai acuan evaluasi dan pengembangan Program MBG. Yang pertama adalah pemerintah perlu mengatur pelaksanaan MBG dalam sebuah kerangka regulasi untuk memastikan adanya pembagian dan penerjemahan peran antar lembaga yang jelas.
Selanjutnya, pelaksanaan Program MBG perlu melibatkan pemangku kepentingan daerah sebagai aktor inti pelaksanaan program untuk mengoptimalkan penyediaan makanan bergizi, penargetan yang efektif, dan penganggaran yang efisien. Pelibatan para pemangku kepentingan itu akan mendorong adanya inovasi supaya program menjadi lebih relevan dengan kondisi daerahnya.
Ketiga, sekolah perlu diarahkan menjadi aktor utama dalam memimpin perancangan dan pelaksanaan program ini. Hal ini selaras dengan kebutuhan sekolah dan konteks lokal. Selama ini, peran sekolah lebih banyak pada mendata dan mengelola distribusi dalam sekolah. Padahal, manajemen dan komunitas sekolah lebih bisa berperan untuk mengelola program secara keseluruhan dan turut mengawasi.
Baca Juga: Prabowo Restui Menteri Keuangan Realokasi Anggaran MBG Yang Mandek
Selain ketiga rekomendasi tadi, Jimmy kembali menegaskan, pemerintah perlu menghentikan dan mengevaluasi jalannya Program MBG sebelum menggunakan anggaran yang besar untuk program ini karena risiko yang timbul bisa berdampak secara jangka panjang, terutama terhadap proses pendidikan anak-anak.
“Anggaran pendidikan sebaiknya dipakai seefektif mungkin. Jika program MBG dijalankan tanpa tata kelola yang kuat, maka bukan hanya tujuan baiknya yang tidak tercapai, tapi juga turut mengorbankan perbaikan dan pengembangan sektor pendidikan pada aspek-aspek lainnya,” ungkapnya.