c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

EKONOMI

24 Januari 2022

18:57 WIB

CIPS: Masih Banyak PR Pemerintah Soal Pangan Di 2022

Masyarakat Indonesia juga harus mengeluarkan proporsi pengeluaran yang lebih tinggi untuk bahan pangan, dibanding dengan masyarakat di negara lain.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

CIPS: Masih Banyak PR Pemerintah Soal Pangan Di 2022
CIPS: Masih Banyak PR Pemerintah Soal Pangan Di 2022
Pekerja memeriksa stok beras di gudang Bulog Sub divre Indramayu, Jawa Barat, Kamis (9/12/2021). ANTARAFOTO/Dedhez Anggara

JAKARTA – Indonesia dipercaya masih bakal menghadapi banyak tantangan sektor pangan di 2022. CIPS menyebutkan masih ada banyak hal yang perlu dievaluasi terkait kinerja pemerintah di sektor pangan dan pertanian di 2021. 

Kepala penelitian CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, pemerintah perlu memastikan ketahanan pangan melalui kebijakan pangan berbasis bukti, bukan kepentingan politik. Begitu juga kebijakan yang menggandeng petani maupun pihak swasta, bukan hanya mengandalkan BUMN atau aparatur negara. 

Nantinya, beragam kebijakan itu perlu menekankan pada aspek keterjangkauan, kualitas, hingga keragaman. 

"Bukan hanya ketersediaan swasembada beberapa bahan pokok. Melalui pendekatan modernisasi pertanian Indonesia dan pemanfaatan perdagangan internasional," katanya kepada Validnews, Jakarta, Senin (24/1).

Felippa juga menerangkan, masalah terbesar sektor pangan adalah bagaimana mewujudkan ketahanan pangan serta perbaikan nutrisi di Indonesia, dengan memastikan tercapainya keterjangkauan dan keberagaman. 

Ia mencontohkan, harga beras Indonesia dua kali lipat lebih mahal dibanding harga beras internasional. Alhasil, masyarakat Indonesia juga harus mengeluarkan proporsi pengeluaran yang lebih tinggi untuk makanan, dibanding dengan masyarakat di negara lain. 

Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 56% dari pengeluaran mereka untuk membeli makan. Persentase itu, lebih tinggi dari masyarakat Singapura (20%), Malaysia (21%) dan Thailand (26%). 

Selama ini, penilaiannya, mementingkan ketersediaan lewat swasembada komoditas dibanding keterjangkauan malah merugikan. Karenanya, pemerintah perlu mereformasi strategi pangan untuk memanfaatkan perdagangan internasional. 

"Sembari meningkatkan produktivitas pertanian domestik, melalui modernisasi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia," sebutnya. 

Adapun, pemanfaatan perdagangan internasional bisa dimulai dari penghapusan kuota dan monopoli impor pangan. Modernisasi pertanian juga, bisa dimulai dari menggandeng pihak swasta dan mengurangi dominasi BUMN yang tidak kompetitif di sektor pangan.

Belum usai, ia juga menyoroti, upaya pemerintah yang belum mampu memastikan keterjangkauan seluruh lapisan masyarakat atas pangan bergizi. Padahal, hal ini sangat berkaitan dengan aspek nutrisi yang bisa memunculkan masalah di masa mendatang. 

Ketercukupan nutrisi sangat mempengaruhi pertumbuhan manusia, baik secara fisik, mental dan intelektual. "Permasalahan kesehatan dapat mengancam potensi bonus demografi yang diprediksi dituai Indonesia pada 2030 mendatang," sebutnya. 

Ia menggarisbawahi, keterjangkauan harga pangan bakal membantu upaya pengentasan kemiskinan. Apalagi, korelasi harga pangan dan kemiskinan sudah lama dibuktikan. 

Harga pangan yang tinggi merugikan konsumen miskin. Karena proporsi pengeluaran rumah tangga mereka untuk pangan lebih besar dari rata-rata, bahkan mencapai 74%.

Indonesia, secara umum masih terproteksi dari tingginya harga pangan dunia. Karena Indonesia memiliki tingkat ketergantungan impor yang masih rendah dan masih banyak hambatan impor. 

"(Meski begitu), perlu diingat juga kalau harga beberapa komoditas di Indonesia, seperti beras, masih lebih tinggi dibanding harga pangan dunia," pungkasnya.

Secara keseluruhan, FAO mencatat, rata-rata Indeks Harga Pangan FAO selama 2021 mencapai 125,7 poin. Capaian ini mengalami kenaikan sebanyak 28,1% dibanding tahun sebelumnya.

Ekonom Senior FAO Abdolreza Abbassian memperkirakan, harga pangan yang tinggi akan memberi jalan bagi peningkatan produksi dan tingginya biaya input. 

Sementara itu, pandemi global yang sedang berlangsung ditambah kondisi iklim yang semakin tidak menentu, hanya menyisakan sedikit ruang optimisme kembalinya kondisi pasar yang lebih stabil pada 2022.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER