c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

13 Januari 2023

19:43 WIB

CIPS: Kebijakan Pertanian Belum Dukung Target Penurunan Emisi

Peneliti CIPS menyebutkan kebijakan saat ini belum cukup mendukung target penurunan emisi serta memberikan dampak besar pada krisis iklim. Untuk itu dibutuhkan pertanian yang berkelanjutan.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

Editor: Rheza Alfian

CIPS: Kebijakan Pertanian Belum Dukung Target Penurunan Emisi
CIPS: Kebijakan Pertanian Belum Dukung Target Penurunan Emisi
Ilustrasi. Foto udara petakan persawahan ekstentifikasi lahan di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimanta n Tengah, Sabtu (8/10/2022). Antara Foto/Makna Zaezar

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir mengatakan Indonesia membutuhkan perombakan kebijakan untuk menghasilkan strategi jangka panjang yang mendukung keberlanjutan dan daya dukung lingkungan bagi manusia.

"Kebijakan pertanian Indonesia saat ini belum mendukung target penurunan emisi. Misalnya, Program Food Estate yang dikembangkan di kawasan hutan dan lahan gambut yang memperburuk krisis iklim dan menyebabkan hilangnya 427,2 ton karbon per hektar lahan gambut yang dikonversi," katanya dalam pernyataan resminya, Jumat (13/01).

Ia menyebutkan anggaran yang tidak kecil untuk food estate, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor pertanian dan lingkungan, dapat dialihkan untuk program pertanian yang lebih berkelanjutan.

Faisol menambahkan, dengan kontribusi sektor industri pertanian, kehutanan dan perikanan Indonesia sebesar 1,29 juta ton setara karbon dioksida (Mt CO2eq), Indonesia menghadapi tantangan berat dalam mencapai target netral karbonnya.

"Strategi nol emisi karbon pemerintah perlu fokus pada beberapa hal, seperti meningkatkan produktivitas dan intensitas tanaman, pertanian terpadu, serta mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan," imbuhnya.

Baca Juga: Negara Hanya Penuhi 11% Dana EBT, Blended Finance Jadi Solusi

Selain itu, menurutnya kebijakan pertanian juga perlu diarahkan untuk menghasilkan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjamin keamanan gizi, namun tanpa merusak lingkungan dan memperburuk perubahan iklim.

Target nol emisi karbon, sambungnya, juga menunjukkan urgensi adopsi pertanian berkelanjutan secara luas dan memungkinkan sektor pertanian menjadi lebih tangguh sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dalam jangka panjang.

"Transisi pada praktik pertanian berkelanjutan juga akan membuka peluang untuk transfer pengetahuan dan investasi kerja sama internasional dalam teknologi pertanian dan pangan. Akses ke informasi, teknologi, pelatihan dan jaring pengaman sosial yang dirancang dengan baik diperlukan untuk mendorong ketahanan yang lebih besar di daerah pedesaan, tempat tinggal sebagian besar petani Indonesia," terangnya.

Kaji Ulang Aturan
Selain akses informasi dan teknologi, Faisol menegaskan akses yang sama ke sumber daya air untuk irigasi pertanian, disertai dengan pengelolaan air yang tepat melalui pendekatan lanskap akan memungkinkan petani untuk mengintensifkan produktivitas lahan mereka.

"Pemerintah perlu mengkaji ulang undang-undang, peraturan dan kebijakannya di sektor pertanian maupun di sektor terkait lainnya seperti perdagangan, perindustrian, dan pertanahan, untuk menyingkirkan hal-hal yang menghambat pencapaian target nol emisi karbonnya, seperti pada pengembangan food estate," imbuhnya.

Untuk diketahui, pemerintah mengeluarkan komitmen pertamanya untuk pengurangan emisi karbon dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau National Determined Contribution (NDC) pada 2016 dan memperbaruinya pada bulan September 2022.

NDC terbaru menetapkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor pertanian masing-masing sebesar 10 Mt CO2eq dan 12 Mt CO2eq untuk skenario mitigasi tanpa syarat dan skenario mitigasi bersyarat, dengan harapan dapat mengurangi emisi sebesar 0,3% dan 0,4% dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa.

Indonesia pun berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar