c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

07 Agustus 2025

20:57 WIB

Celios Beberkan Praktik Greenwashing Di Balik Investasi China Di RI

Spesifik, praktik greenwashing yang dilakukan China terjadi melalui investasi sejumlah proyek smelter di beberapa daerah.

Penulis: Siti Nur Arifa

<p id="isPasted">Celios Beberkan Praktik <em>Greenwashing</em> Di Balik Investasi China Di RI</p>
<p id="isPasted">Celios Beberkan Praktik <em>Greenwashing</em> Di Balik Investasi China Di RI</p>

Ilustrasi Greenwashing. Shutterstock/petrmalinak

JAKARTA - Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap, terdapat praktik greenwashing di balik investasi yang dilakukan China pada sejumlah proyek yang diklaim berbasis transisi energi dan berkelanjutan di Indonesia.

Praktik tersebut, disalurkan melalui program Belt and Road Initiative (BRI) China, yang telah menjadi salah satu inisiatif pembangunan terbesar di dunia dan melibatkan lebih dari 140 negara, termasuk Indonesia.

Melalui Green Silk Road, BRI dipromosikan China sebagai kerja sama yang “hijau, terbuka, dan bersih”, mendukung pembangunan berkelanjutan, transisi energi, dan perlindungan lingkungan global.

"Ironisnya, di lapangan, kesenjangan antara narasi hijau dan realitas sangat tajam. Ada deforestasi, pencemaran air, emisi PLTU batu bara, hingga dampak sosial bagi komunitas lokal yang terus berlanjut," ujar Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam diskusi publik bertajuk “Di Balik Tirai Hijau: Membongkar Greenwashing dalam Investasi China”, Kamis (7/8).

Baca Juga: Awal Kisah Munculnya Greenwashing

Indonesia, sebagai negara yang memiliki cadangan mineral kritis seperti nikel, kobalt, dan bauksit telah menjadi daya tarik tersendiri dan bertransformasi menjadi mitra kunci BRI di Asia Tenggara.

Investasi besar diketahui banyak mengalir ke proses pengolahan nikel, kawasan industri smelter, infrastruktur, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang secara resmi diklaim mendukung transisi energi bersih dan target iklim nasional.

Namun, praktik greenwashing yang terjadi kerap tertutup oleh narasi pembangunan hijau yang digaungkan sejumlah pihak atau kurangnya transparansi dari perusahaan.

"Kasus di Morowali, Konawe, dan Halmahera menjadi bukti nyata bagaimana branding hijau sering menutupi kerusakan ekologis dan risiko sosial-ekonomi yang serius," ungkap Bhima.

Kontradiktif Transisi Hijau
Dalam kesempatan sama, Direktur Meja China-Indonesia Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat mengungkap, beberapa smelter China seperti PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) justru sering menjadi penyebab banjir di kawasan sekitar smelter.

Selain itu, Zulfikar menyebut salah satu pelaku indistru yakni PT Obsidian Stainless Steel (OSS) sering mengeklaim berkontribusi terhadap isu keberlanjutan dan menerapkan praktik ESG. Padahal, menurutnya OSS justru menopang aktivitas pemurnian nikel dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang menyebabkan polusi.

Tak ketinggalan, ada juga praktik penimbunan ilegal yang dilakukan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

“Dari penimbunan ilegal, polusi udara debu hitam yang menyebabkan infeksi pernapasan dan juga deforestasi yang aslinya menyebabkan banjir di beberapa tempat,” kata Zulfikar.

Lebih lanjut, Peneliti Celios Yeta Purnama memaparkan pemanfaatan PLTU batu bara menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat di sekitar area perusahaan.

"Di Konawe, paparan debu batu bara dari pembangkit listrik captive milik smelter memicu lonjakan kasus ISPA dari 85 pada 2021 menjadi 549 pada 2023. Di Halmahera, deforestasi seluas 4.291 hektare akibat ekspansi industri nikel menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan empat desa pada 2024," urai Yeta.

Zulfikar menjelaskan, fenomena greenwashing bukan hanya praktik korporasi, tetapi bagian dari arsitektur narasi yang dibangun secara sistemik.

Branding hijau diperkuat melalui promosi teknologi, kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR), dan klaim Environmental, Social, and Governance (ESG) perusahaan yang disuarakan oleh berbagai aktor China dan domestik.

Menurutnya, narasi tersebut menciptakan ilusi keberlanjutan yang menutupi realitas kerusakan lingkungan dan lemahnya tata kelola.

Lebih lanjut, Zulfikar menyebut pihaknya mendapati seperti ada usaha yang disengaja untuk menutupi dampak negatif yang terjadi di proyek-proyek investasi ini.

Dirinya menyorot mantan Duta Besar Chinavuntuk Indonesia tahun 2022-2024 Lu Kang, yang sangat aktif membagikan postingan di media X bernuansa sangat positif seperti pujian untuk PT IMIP sebagai perusahaan yang berkelanjutan.

"Tidak hanya itu secara domestik media lokal seperti Kabar Selebes juga berperan sangat besar dalam meliput kegiatan CSR perusahaan, namun sebaliknya bungkam untuk memberitakan isu negatif yang disebabkan perusahaan,” tutur Zulfikar.

Pengawasan dan Keterlibatan Publik
Menyoroti sederet praktik greenwashing yang ada, Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali menyebut dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan tidak hanya disebabkan lemahnya komitmen negara tuan rumah investasi yaitu Indonesia, tetapi juga China sendiri lemah dalam pelaksanaan panduan-panduan lingkungan untuk investasi di luar negeri.

Zakki menekankan, Pemerintah China harus dapat bisa lebih keras menerapkan aturan lingkungan di luar negeri dan Indonesia harus berani dan mau untuk menegakkan aturan terhadap pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan dari investasi China.

Baca Juga: Analis: Ada Risiko Greenwashing Dari Pertumbuhan PLTU Captive

"Tanpa pengawasan independen dan keterlibatan publik yang memadai, dampak negatif investasi China akan terus terjadi dan berpotensi semakin tertutupi oleh narasi hijau yang berisiko merusak reputasi ESG Indonesia, dan menunda transformasi energi yang sesungguhnya," ujar Zakki.

Dia menambahkan, dalam jangka panjang, narasi yang berjalan dapat menyingkirkan suara komunitas lokal dan membuat dampak sosial seperti penggusuran, hilangnya mata pencaharian, dan kerentanan bencana di sekitar wilayah operasional perusahaan.

Karena itu, host country seperti Indonesia dirasa harus bersikap tegas dan ada kemauan untuk memperketat regulasi dan mengawasi implementasinya.

"Jika tidak, ambisi transisi energi di Indonesia hanya akan menjadi angan-angan yang buram,” tutup Yeta.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar