12 Agustus 2025
13:55 WIB
CELIOS Beberkan Alternatif Pajak Tambah Penerimaan Negara Hingga Rp524 Triliun
Alternatif pajak untuk penerimaan negara diharapkan dapat merelaksasi kapasitas fiskal RI dan mengatasi hutang jatuh tempo Indonesia yang mengkhawatirkan.
Penulis: Siti Nur Arifa
Ilustrasi gedung kantor pajak di Tangerang Timur. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis riset yang memperhitungkan alternatif terhadap penerimaan negara dalam bentuk pajak. Tak tanggung-tanggung, nilai yang dapat diperoleh diproyeksi mencapai Rp524 triliun dari sekitar 11 instrumen yang dibeberkan.
Salah satu instrumen pertama yang memberikan alternatif penerimaan paling besar di antaranya peninjauan ulang insentif pajak yang mencapai Rp137,4 triliun. Spesifik, potensi penerimaan negara ini dapat diperoleh hanya dengan meninjau ulang pemotongan insentif pajak tak tepat sasaran.
“Prinsipnya sederhana, masyarakat hanya akan mau bayar kalau sistem pajaknya adil. Di sinilah problemnya hari ini… karena kalau kita lihat berdasarkan persentase pendapatan, masyarakat miskin itu membayar lebih banyak secara persentase untuk pajak ketimbang orang super kaya,” beber Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar, dalam Peluncuran Riset ‘Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang’, di Jakarta, Selasa (12/8).
Baca Juga: Kemenkeu: Penerimaan Pajak Mei 2025 Terkontraksi 10,1% Jadi Rp683,3 Triliun
Pernyataan Media tersebut, diikuti dengan pajak kekayaan yang diproyeksi dapat memberikan alternatif penerimaan negara terbesar kedua mencapai Rp81,6 triliun. Lebih spesifik lagi, nilai tersebut bahkan dapat diperoleh dengan hanya berasal dari 50 orang terkaya di Indonesia.
“Saya definisinya di sini super kaya ya, jadi bukan orang yang penghasilannya Rp40, 50, 100 juta per bulan, tapi mereka yang penghasilannya itu bisa puluhan miliar dalam satu bulan,” ujar Media.
Pajak Karbon hingga Kepemilikan Rumah Ketiga
Lebih lanjut, Celios membeberkan 9 instrumen alternatif lain terhadap penerimaan negara, salah satunya penerapan pajak karbon dengan proyeksi mencapai Rp76,4 triliun. Terkait objek ini, Media menilai berdasarkan logika sederhana, sangat mudah untuk memajaki sektor-sektor yang menyebabkan polusi akibat aktivitas ekstraktif yang merusak lingkungan ketimbang memajaki karyawan kecil.
Masih berkaitan, batu bara juga dijadikan objek selanjutnya yang dinilai dapat memberikan alternatif penerimaan cukup besar, yakni mencapai Rp66,49 triliun. Adapun pajak produksi batu bara dapat dikenakan atas aktivitas ekstraksi dalam bentuk pungutan khusus berbasis kelebihan volume atau nilai produksi.
“Saya kira juga kalau kita lihat orang-orang super kaya di Indonesia itu hampir sebagian besar mereka itu bergerak di industri ekstraktif dan salah satunya adalah batu bara. Jadi konsentrasi pendapatan di Indonesia juga tidak terlepas dari sektor-sektor ekstraktif ini,” tambah Media.
Tak ketinggalan, Media juga membeberkan masih adanya potensi penerimaan dari sektor serupa yakni melalui skema pajak windfall profit sektor ekstraktif, yaitu pajak berdasarkan kenaikan laba berturut-turut akibat booming harga komoditas yang diproyeksi dapat mencapai Rp50 triliun per tahun.
Bergeser dari sektor ekstraktif, alternatif penerimaan negara selanjutnya berasal dari pajak penghilangan keanekaragaman hayati, atau kerusakan keanekaragaman hayati yang dikompensasi melalui skema perpajakan dengan nilai mencapai Rp48,6 triliun per tahun.
Baca Juga: DJP Jamin Masyarakat Tak Kena Pajak Saat Beli Emas
Selanjutnya terdapat pajak digital yang berasal dari perusahaan digital besar dengan proyeksi mencapai Rp29,5 triliun per tahun. Terkait hal ini, peneliti Celios Jaya Darmawan mengatakan pemerintah dapat mengacu pada pendekatan OECD dan UN Convention Tax, dengan memajaki beberapa perusahaan raksasa teknologi yang beroperasi di Indonesia.
“Ini kita coba dorong daripada memajaki kawan-kawan UMKM, bahkan banyak juga yang mikro dan ultramikro di seller itu, lebih baik mendorong dengan keras pajak-pajak digital,” imbuhnya.
Celios juga membeberkan alternatif penerimaan negara lainnya yang terdiri dari pajak peningkatan tarif pajak warisan dengan proyeksi mencapai Rp20 triliun per tahun, pajak kepemilikan rumah ketiga mencapai Rp4,7 triliun per tahun, pajak capital gain atau keuntungan dari saham dan aset finansial mencapai Rp7 triliun per tahun, hingga cukai minuman berpemanis dalam kemasan dengan nilai Rp3,9 triliun per tahun.
Jaya menilai, komponen instrument alternatif yang telah dibeberkan perlu segera didorong mengingat kondisi hutang jatuh tempo Indonesia yang sudah sangat mengkhawatirkan.
“Tahun 2026 saja, hutang dan bunganya mencapai Rp1.300 triliun sekian, tahun ini, outstanding debt kita itu Rp9.000 lebih triliun. Saya kira instrumen pajak alternatif ini bisa merelaksasi kapasitas fiskal kita, bisa mendukung kapasitas fiskal kita agar tidak terlalu tergantung dengan hutang,” pungkasnya.