13 Juni 2025
15:03 WIB
Cegah Dumping, APSyFI Usul RI Terapkan Tarif BMAD Industri Tekstil Minimal 20%
APSyFI mengusulkan penetapan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) minimal 20% terhadap produk benang filamen impor, terutama dari China. Kebijakan guna memperkuat daya saing industri tekstil nasional.
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja menyelesaikan pemintalan benang di pabrik pembuatan sarung di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (9/11/2020). Antara Foto/Raisan Al Farisi/hp/aa
JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengusulkan penetapan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) minimal 20% terhadap produk benang filamen impor, terutama dari China, guna memperkuat daya saing industri tekstil nasional.
"Hal ini guna mengatasi dampak serius dari praktik dumping yang telah menggerus daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir," kata Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta melansir Antara, Jakarta, Jumat (13/6).
Baca Juga: APSyFI Sebut BMAD Bukan Penghambat Pasar, Melainkan Bersaing Sehat
Menurut APSyFI, praktik dumping produsen luar telah menciptakan distorsi harga domestik, sehingga BMAD 20% dinilai ideal untuk memulihkan industri hulu tanpa membebani sektor hilir secara berlebihan.
"Harga normal itu ada di kisaran 20% di atas harga dumping. Kalau lebih tinggi dari itu, memang produsen hulu punya ruang untuk margin lebih besar, tapi berisiko membebani industri hilir. Kita perlu titik tengah yang sehat dan berkelanjutan," ujar Redma.
Dirinya turut menyampaikan rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) yang menyarankan tarif BMAD bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3%. Namun, APSyFI menilai, sebagian tarif tersebut perlu diturunkan demi menciptakan keseimbangan antara sektor hulu dan hilir.
"Setelah diskusi dan evaluasi dengan mempertimbangkan dampak ke hilir, kami usulkan rekomendasi APSyFI adalah BMAD rata-rata 20%," ungkap Redma.
Praktik dumping benang filamen, lanjutnya, telah memicu efek domino pada industri tekstil sehingga menurunkan permintaan benang pintal, akibat pasar domestik menyerap produk impor yang merugikan produsen dalam negeri.
"Benang filamen impor ini menyerap (mengambil pangsa) pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya," jelasnya.
Baca Juga: Investasi Dan Reaktivasi Industri, APSyFI Minta Pemerintah Bendung Impor
Dia mencontohkan, sejumlah perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF menutup lini produksi polimer akibat permintaan anjlok, menyisakan empat produsen aktif yang kini beroperasi dalam kondisi sangat terbatas.
Harapan Industri Kembali Bersinar
APSyFI berharap, penetapan BMAD 20% dapat membuat industri tekstil dari sektor hulu seperti produksi polimer, benang filamen, dan benang pintal, hingga sektor hilir seperti kain dan produk jadi, bisa kembali bangkit dan bersaing secara sehat di pasar domestik.
"Bukan hanya untuk menyelamatkan benang filamen, tapi juga pemintalan dan polimer. Ini soal keberlangsungan industri nasional," tegasnya.
Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan sektor hulu seperti Purified Terephthalic Acid (PTA), karena jika bahan baku utama serat sintetis terus masuk dengan harga dumping, maka seluruh rantai industri tekstil tetap terancam.
Baca Juga: 61 Pabrik Tekstil Kolaps, APSyFI: Pemerintah Tak Serius Cegah Banjir Impor
Senada, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut, penetapan tarif BMAD minimal 20% merupakan langkah logis dan relevan menghadapi kerusakan struktural industri akibat praktik dumping.
"Angka (BMAD) 20% itu secara kasar masih masuk akal dan itu pun batas minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury yang dialami industri kita," ujar Faisal.
Faisal menekankan, BMAD 20% belum cukup menutup disparitas harga, namun kebijakan antidumping tetap penting untuk menjaga industri nasional tetap hidup di tengah persaingan global yang semakin tidak sehat.
"Kalau harga impor dari China bisa setengahnya harga lokal, maka dengan BMAD 20% pun, produk dalam negeri tetap akan terlihat lebih mahal. Ini yang perlu dihitung serius oleh," urainya.