13 Maret 2024
09:54 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
MEDAN - Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Sadarestuwati mengemukakan kekhawatirannya terkait biaya peralatan medis yang tinggi di Indonesia. Menurutnya, upaya meningkatkan kualitas peralatan medis tentu berdampak pada kenaikan harga dan biaya di rumah sakit.
Kondisi tersebut dapat terjadi, mengingat adanya perbedaan harga peralatan medis antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang disebabkan oleh pajak yang tinggi di RI.
"Jadi, peralatan (rumah sakit) harus di-upgrade, ini tentunya akan berkaitan dengan kenaikan dari harga, biaya di rumah sakit. Maka, disini pemerintah yang harus hadir,” katanya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (13/3).
Berdasarkan kunjungan kerja BURT DPR RI ke RS Columbia Asia Medan, pajak yang sangat tinggi berdampak pada harga hingga biaya rumah sakit yang tinggi. Hal ini pun disuarakan General Manager (GM) RS Columbia Asia Medan.
Baca Juga: Kerja Sama dengan Prancis, Industri Alkes RI Bidik Transaksi Rp17 M
Sadarestuwati mencontohkan, harga satu unit peralatan di Malaysia dibanderol Rp250 juta, namun harganya di Indonesia bisa mencapai Rp450 juta, bahkan lebih. “Artinya apa, untuk menekan biaya ini tidak bisa. Di sinilah pemerintah harus hadir," ujarnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti perlunya kebijakan pajak yang lebih tepat, terutama untuk peralatan medis yang digunakan untuk melayani masyarakat. Sadarestuwati menekankan, pemerintah harus memastikan bahwa pajak diterapkan secara adil.
Misal, barang-barang mewah dapat dikenakan tarif pajak tinggi. Namun, peralatan medis yang digunakan untuk kepentingan publik harus diberi perlakuan pajak yang lebih ringan.
“Tarif pajak tinggi (untuk) barang mewah sangat wajar, tetapi untuk melayani masyarakat yang harus diturunkan pajaknya. Sehingga masyarakat bisa menikmati," tambahnya.
Sebagai konteks, sebagian alat kesehatan (alkes) masih didatangkan dari negara maju dan keberadaannya di Indonesia dikenai pajak. Akan tetapi, alkes di Indonesia digolongkan ke dalam beban pajak barang mewah.
Hal itu berdasarkan UU 42/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017, sebagaimana diubah dengan Permenkeu RI 17/PMK.0l0/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenkeu Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Mengacu Permenkes No 1190/Menkes/Per/V III/2010, sebanyak 123 alkes masuk ke dalam pos tarif pajak. Adapun pada PMK 06/2017, Besaran Tarif Bea Masuk Alat Kesehatan Impor (Most Favoured Nation/MFN) menetapkan sebanyak 6 tarif pajak untuk alkes.
Mencakup tarif pajak 0% untuk 15 Pos Tarif alkes, tarif pajak 5% untuk 78 Pos Tarif alkes, tarif pajak 10% untuk 19 Pos Tarif alkes, tarif pajak 15% untuk 5 Pos Tarif alkes, tarif pajak 20% untuk 4 Pos Tarif alkes, dan tarif pajak 25% untuk 2 Pos Tarif alkes
Lebih rinci, besaran tarif untuk bahan baku alkes impor ditentukan oleh jenis bahan baku tersebut. Misalnya, Bahan baku polimer/plastik (Bab 39), Bahan baku karet (Bab 40), Bahan baku tekstil (pada Bagian XI di Bab 50-60), dan Bahan baku logam (Bagian XV).
Baca Juga: Rugi, Laba Bangun Pabrik Kantong Darah
Soroti Pelayanan Kesehatan
Politisi PDI-P ini juga menyoroti pentingnya pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak menimbulkan ketakutan pada pasien. Sadarestuwati menegaskan, rumah sakit seharusnya memberikan pelayanan yang baik dan mengedepankan kepentingan masyarakat.
Bukan mengambil keuntungan dari ketakutan pasien. “Pelayanan harus bagus. Jangan dokter-dokter itu kemudian menakut-nakutin. Ini nanti umurnya tinggal sekian, harus berobatnya begini. Jangan kemudian rumah sakit justru akan mengambil keuntungan, ketika ada ketakutan dari pasien," ujarnya.
Legislator Dapil Jawa Timur VIII itu pun berharap adanya kebijakan yang progresif dan kepedulian pemerintah mendorong Indonesia meraih kemajuan dalam sektor kesehatan yang sejajar dengan negara-negara lain di kawasan.
DIrinya pun meyakini, jaminan kesehatan di Indonesia akan bisa berjalan dengan lebih baik lagi. “Kalau negara lain bisa membebaskan (pajak) kesehatan, untuk Indonesia sendiri saya yakin pasti bisa. Kalau pemerintah niat dan mau untuk membuat kebijakan yang pro dengan rakyat," pungkasnya.