24 Januari 2023
14:50 WIB
JAKARTA – Pertumbuhan industri financial technology (fintech) membuat perbankan bersiap menyiapkan strategi khusus agar pasarnya tak tergerus. Apalagi, saat ini lelaku transaksi digital oleh masyarakat, makin jadi kelaziman .
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menyebutkan kompetisi dengan perusahaan teknologi finansial/financial technology (tekfin/fintech), menjadi salah satu faktor utama yang akan mempengaruhi tren industri perbankan di Indonesia KE DEPAN.
"Persaingan semakin ketat seiring dengan hadirnya pemain-pemain non-bank seperti fintech dengan berbagai dinamikanya," kata Direktur Utama BRI Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dipantau secara virtual di Jakarta, Selasa (24/1).
Hal tersebut, lanjutnya, tak terlepas dari perubahan perilaku nasabah saat ini yang cenderung mengarah ke digital.
Dengan demikian, perubahan perilaku tersebut menjadi faktor lainnya yang akan mempengaruhi tren industri perbankan di Tanah Air.
Sunarso mengungkapkan, transaksi digital payment atau pembayaran digital telah meningkat lebih dari 30%, sedangkan transaksi tunai sudah menurun 10% saat ini.
Faktor selanjutnya yang turut akan mempengaruhi tren industri perbankan di Indonesia adalah bonus demografi penduduk, di mana tren jumlah penduduk usia produktif domestik akan meningkat mencapai 64% pada tahun 2030.
Peningkatan jumlah penduduk produktif tersebut akan menjadi hal yang positif, terutama jika bisa dikelola dengan baik.
Implementasi prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola atau Environment, Social, and Government (LST/ESG) menjadi faktor lainnya. Kekhawatiran investor terhadap aspek ESG berpengaruh terhadap perubahan tata kelola dan bisnis perbankan.
Selain itu, dia menambahkan, tren suku bunga rendah alias low interest rate environment pun akan mempengaruhi industri perbankan ke depannya. Tren penurunan imbal hasil kredit berdampak pada margin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM) yang semakin tertekan.
"Kami lihat di 2020 itu NIM bisa lebih 10%, tetapi di 2022 hanya sekitar 6%, sehingga strategi bank tetap didorong untuk memperluas fungsi intermediasinya karena NIM-nya semakin kecil. Kalau mau laba besar, berarti harus mencari nasabah sebanyak-banyaknya, kira-kira begitu," tutur Sunarso.
Kemudian dia mengatakan, utilisasi data dan teknologi menjadi faktor yang tak kalah penting dan semakin dominan saat ini di industri perbankan. Penggunaan data analytics untuk mempercepat proses bisnis credit underwriting dan marketing.

Pembiayaan Fintech
Terkait dengan kompetisi dengan fintech, industri fintech lending mencatat penyaluran pinjaman periode Januari-September 2022 mencapai Rp168,32 triliun, atau tumbuh 45,40% secara year on year (yoy) dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp115,77 triliun.
Mengacu statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akumulasi pembiayaan sampai September 2022 itu juga telah melampaui realisasi sepanjang tahun 2021.
Fintech lending sendiri mencatat pertumbuhan sebesar 7,92% secara tahun berjalan atau year to date (ytd) dibandingkan pinjaman Januari-Desember 2021 sebesar Rp 155,97 triliun.
Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksi penyaluran pinjaman fintech P2P lending sepanjang tahun 2022 menjadi Rp 250 triliun, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp225 triliun.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengatakan, fintech lending menjadi industri yang spesial karena kontribusi positifnya terhadap perekonomian nasional, khususnya ketika pandemi Covid-19 masuk Indonesia.
Dalam ilustrasinya pada 2020 lalu, fintech lending masih mampu tumbuh sekitar 25%, jauh lebih tinggi dibandingkan industri perbankan yang cenderung melambat. Kemudian, ketika kredit nasional tumbuh sekitar 7% pada 2021, pinjaman fintech lending bahkan melesat sampai dengan 112%.
Pada tahun ini, saat kredit perbankan diproyeksi tumbuh sekitar 10%, maka setidaknya fintech lending, lanjutnya, bisa mencatatkan pertumbuhan lebih dari 50%.
Kuseryansyah menjelaskan, agresivitas fintech lending ini tidak terlepas dari gap kredit (credit gap) terhadap UMKM di Indonesia yang berdasarkan data Bank Dunia sebesar Rp 1.650 triliun.
Sementara itu, UMKM baru terlayani jasa keuangan konvensional sekitar Rp1.000 triliun dari kebutuhan mencapai Rp 2.600 triliun per tahun.
"Ada gap sebesar Rp 1.650 triliun. Inilah yang menyebabkan industri ini tumbuh subur karena demand-nya tinggi. Tahun lalu, kita baru mengisi sekitar Rp155 triliun atau kurang dari 10% dari credit gap," kata dia.
Di sisi lain, Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan mengatakan, selain menawarkan pinjaman, fintech lending juga menawarkan alternatif investasi dengan tingkat bunga yang cukup kompetitif, bahkan jauh lebih baik jika dibandingkan deposito.
Terlepas dari sisi komersial, peran masyarakat sebagai lender akan ikut mendukung akses pendanaan kepada UMKM.
"Ada sebanyak 87,29 juta rekening pengguna (Juli 2022), artinya yang bertransaksi atau meminjam uang termasuk usahanya atau kegiatan konsumtif sudah puluhan juta orang. Industri ini terus berkembang dan penggunanya semakin banyak," tuturnya.
Transformasi Digital
BRI sendiri sudah menyadari hal ini. Tak heran Bank Pelat merah ini sudah melakukan transformasi digital sejak tahun 2015.
“Kami di BRI memang melihat transformasi digital sebagai suatu hal yang akan membawa kami, melontarkan kami, untuk bisa lebih men-support bisnis, satu. Yang kedua, men-support utamanya juga untuk nasabah kami,” kata Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Arga M. Nugraha.
Arga mencontohkan keberhasilan pendekatan digitalisasi BRI, terlihat dalam dua produk utama yang digunakan di tataran eksternal atau nasabah, juga di tataran internal bagi tenaga pemasar. Dia menjelaskan flagship produk digital BRI seperti layanan utama untuk digital banking yaitu BRImo.
BRImo merupakan produk andalan untuk melayani nasabah-nasabah yang lebih digital literate. Keberhasilan produk BRImo terlihat dari nilai transaksinya yang sudah sudah sekitar Rp2.669 triliun hingga akhir Desember 2022.
Produk lainnya yang menurut Arga membanggakan adalah BRIspot, karena sebagai buah dari transformasi menjadi proses perbaikan secara digital di tataran internal.
BRIspot menjadi aplikasi yang di kalangan industri perbankan disebut dengan loan origination system atau alat bantu secara internal untuk bisa memproses permintaan-permintaan nasabah dalam mengajukan pinjaman dan kredit.
“Dalam satu hari itu, kawan-kawan kami di unit-unit kerja operasional bisa men-disbursed dari nasabah mikro sekitar Rp1 triliun. Itu tidak akan terjadi kalau tidak menggunakan BRIspot,” serunya.
Dia melanjutkan, dulu tanpa adanya BRIspot memproses kredit itu rata-rata worst case-nya dua minggu.
“Dengan BRIspot kami bisa mempercepat proses kredit menjadi sekitar cuma dua hari saja. Bahkan pada banyak kasus dua jam selesai bila dokumennya lengkap,” tandasnya.